Jumat, 14 Januari 2011

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFEKTIFITAS PERADILAN PIDANA ATAU PENEGAKAN HUKUM

Yang dimaksud mewujudkan penegakan hukum yaitu untuk memperoleh kepastian hukum, keadilan, dan manfaat dari penegakan hukum tersebut. Proses penegakan hukum dapat berjalan dengan efektif apabila terbentuk suatu mata rantai beberapa proses yang tidak boleh di pisahkan antara lain : penyidikan, tuntutan jaksa, vonis hakim,dan pembuatan peraturan perudang-undangan.
Namun pada kenyataanya penegakan hukum mengalami beberapa kendala atau hambatan yang dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor. Dengan demikian terdapat masalah dalam penegakan hukum, menurut Drs. Momo Kelana M.Si masalah penegakan hukum dipengaruhi oleh beberapa hal :
1. substansi hukum yang akan ditegakan;
2. struktur para penegak hukum; dan
3. kultur masyarakat.
Kemudian faktor-faktor tersebut dijabarkan menurut Prof. Dr. Soerjono Soekamto, SH.,MA antara lain :
1. faktor hukumnya sendiri;
2. faktor penegak hukum;
3. faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
4. faktor masyarakat; dan,
5. faktor kebudayaan.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dngan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok ukur dari pada efktfitas hukum.
Dengan melihat beberapa faktor di atas penulis mencoba mendiskrepsikan sebagai berikut :


A. Faktor hukumnya sendiri / Substansi hukum yang akan Ditegakkan.
Setiap masyarakat memiliki hukum sebagai penata normative dalam hubungan antar warga masyarakat, hal ini bertujuan agar hubungan masyarakat berlangsung lestari dan mencapai tujuan bersama. Sedangkan hukum bersifat mengatur dan memaksa melalui sanksi-sanksi yang dijatuhkan terhadap para pelanggar hukum antara lain berupa hukuman pidana.
Hukum pidana sendiri adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
1. Menentukan perbuatan – perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi yang berupa pidana tertentu bagi bagi siapa yang melarang larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagai mana yang diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Fungsi utama hukum pidana adalah kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat. Sedangkan tujuan hukum pidana ada dua macam : pertama, untuk menakut-nakuti setiap orang agar mereka tidak melakukan perbuatan pidana (fungsi preventif); dan kedua, untuk mendidik orang yang telah melakukan perbuatan yang tergolong perbuatan pidana agar mereka menjadi orang yang baik dan dapat diterima kembali dalam masyarakat (fungsi reprensif).
Sumber-sumber hukum pidana di Indonesia antara lain :
1. Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) dan penjelasannya yang terdiri dari buku satu tentang aturan umum, buku dua tentang kejahatan, dan buku ketiga tentang pelanggaran.
2. Undang-Undang di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang meliputi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme, dan tindak pidana khusus lainnya.
3. Hukum Adat, ini berdasarkan Pasal 5 ayat 3 (b) Undang-Undang Darurat Nomor 1 tahun 1951 yaitu “Hukum Materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materiil pidana sipil yang sampai ini berlaku untuk kaula- kaula daerah Swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu dengan pengertian………………”.
Penerapan hukum pidana atau undang-undang oleh penegak hukum pada kenyataannya tidak berjalan seperti fungsi dan tujuan hukum pidana yang dimaksud, hal ini merupakan gangguan penegakan hukum yang berasal dari hukum pidana dan atau undang-undang yang mungkin disebabka, karena :
1. Tidak dikutinya asas-asas berlakunya undang-undang;
2. belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang; dan
3. ketidak jelasan arti kata-kata didalam undang-undang yang mengakibatkan kesimpang siuran di dalam penafsiran dan penerapanya.
Untuk menghindari atau mencegah permasalahan penegakan hukum yang berasal dari hukum pidana dan atau undang-undang seperti tersebut di atas, maka perlu diperhatikan dasar kostruksi hukum pembuatan hukum pidana. Dasar konstruksi ini dapat dilihat dengan mempertimbangkan teori-teori pemidanaan yang berlaku. Secara garis besar teori-teori pemidanaan tersebut meliputi :
1. Teori Absolut (Retributive/Vergeldings Theorieen)
Dalam teori ini pidana / hukuman dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). Sedangkan pengertian pidana dalam aliran ini adalah akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yg melakukan kejahatan. Dasar pembenaran pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.
Pengikut teori ini antara lain Johannes Andenaes, Immanuel Kant, Hegel, Nigel Walker, John Kaplan, Prof Sudarto, Van Bemmelen, Pompe.
2. Teori Relatif atau Tujuan (Utilitarian)
Dalam aliran ini pidana bukan untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan, dan pembalasan tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Teori ini disebut juga Teori Perlindungan Masyarakat (The Theory of Spcial Defence) atau Teori Reduktif (untuk mengurangi jaringan kejahatan) atau teori tujuan (Utillitarian Theory) yait pengimbalan mempunyai tertentu yang bermanfaat. Kemudian pidana yang dijatuhkan bukan quia peccatum est (orang berbuat kejahatan) nelsinksn nepeccetur (agar orang tidak melakukan kejahatan).
Pengikut teori ini antara lain J. Adenaes, Nigel Walker, Van Bemmelen, Van Veen,
3. Teori Gabungan
Dalam teori ini pidana meupakan pembalasan sebagai pidana dan beratnya pidana tersebut tidak boleh melampui suatu pembalasan yang adil, namun pidana mempunyai berbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general. Penganut teori gabungan yaitu Pellegrino Rossi.
Salah satu masalah pokok hukum pidana adalah mengenai konsep tujuan pemidanaan dan untuk mengetahui secara komprehensif mengenai tujuan pemidanaan ini harus dikaitkan dengan aliran-aliran hukum pidana, selain itu dengan melihat atau mengacu pada aliran-aliran hukum pidana dapat menentukan suatu sistem hukum pidana yang praktis dan bermanfaat dapat dipelajari.
Secara garis besar aliran-aliran ini terbagi atas 2 (dua) aliran yaitu :
1. Aliran Klasik
Aliran klasik berpedoman pada tiga asas antara lain asas legalitas, asas kesalahan, dan asas pengimbalan. Pelopor aliran ini mempunyai dua tokoh utama yaitu Cesare Beccaria (1738-1794) yang mengatakan bahwa pidana harus cocok dgn kejahatan (punishment should fit the crime) yang dipengaruhi filsafat “kebebasan kehendak”, kemudian Jeremy Bentham (1784 – 1832) yangmengemukakan pendapat yakin pada doktrin “kebebasan kehendak” dan hukum pidana hanya untuk tujuan “cegah kejahatan”.
2. Aliran Modern
Aliran ini bertititolak ada pusat perhatiannya pada siapa pembuat undang-undang atau hukum pidana, kemudian disebut aliran positif karena pendekatan ilmu alam dan langsung pengaruhi penjahat secara positif sejauh dia masih dapat diperbaiki. Aliran ini bertitik tolak pada filsafat “determinisme”. sehingga manusia dipandang tidak mempunyai kebebasan kehendak tetapi dipengaruhi oleh watak dan lingkungannya.
Pelopor aliran ini yaitu Lombroso , Lacasagne dan Enrico Ferri kemudian dilanjutkan oleh : Von Liszt (Jerman); A.Prins (Belgia); Van Hamel (Belanda) yang pada tahuun 1888 mendirikan “ union internationale de droit penal/internationale kriminalistische vereinigung(ikv) atau internationale.

B. Faktor Penegak Hukum
Faktor ini meliputi pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum atau law enforcement. Bagian-bagian itu law enforcement adalah aparatur penegak hukum yang mampu memberikan kepastian, keadilan, dan kemanfaat hukum secara proporsional. Aparatur penegak hukum menyangkup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum, sedangkan aparat penegak hukum dalam arti sempit dimulai dari kepolisian, kejaksaan, kehakiman, penasehat hukum dan petugas sipir lembaga pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur diberikan kewenangan dalam melaksanakan tugasnya masing-masing, yang meliputi kegiatan penerimaan laporan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, penbuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pembinaan kembali terpidana.
Sistem peradilan pidana harus merupakan kesatuan terpadu dari usaha-usaha untuk menangulangi kejahatan yang sesungguhnya terjadi dalam masyarakat. Apabila kita hanya memakai sebagian ukuran statistik kriminalitas, maka keberhasilan sistem peradilan pidana akan dinilai berdasarkan jumlah kejahatan yang sampai alat penegak hukum. Beberapa banyak yang dapat diselesakan kepolisian, kemudian diajukan oleh kejaksaan ke pengadilan dn dalam pemeriksaan di pengadilan dinyatakan bersalah dan dihukum. Sebenarnya apa yang diketahui dan diselesakan melalui sistem peradilan pidana hanya puncaknya saja dari suatu gunung es. Masih banyak yang tidak terlihat, tidak dilaporkan (mungkin pula tidak diketahui, misalnya dalam hal “kejahatan dimana korbanya tidak dapat ditentukan”atau “crimes without victims”) dan karena itu tidak dapat di selesaikan. Keadaan seperti ini tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya kepada sistem peradilan pidana. Karena tugas sistem ini adalah terutama menyelesekan kasus-kasus yang sampai padanya.
Secara sosiologis, setiap aparat penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan (sosial) merupakan posisi tertentu di daloam struktur kemasyarakatan. Kedudukan tersebut merupakan peranan atau role, oleh karena itu seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya mempunyai peranan. Suatu hak merupakan wewenang untuk berbuat dan tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. Suatu peranan tertentu dapat di jabarkan dalam unsur- unsur sebagai berikut : (1) peranan yang ideal / ideal role ; (2) peranan yang seharusnya / expected role; (3) peranan yang dianggap oleh diri sendiri / perceived role; dan (4) perana yang sebenarnya dilakukan / actual role.
Penegak hukum dalam menjalankan perannya tidak dapat berbuat sesuka hati mereka juga harus memperhatikan etika yang berlaku dalam lingkup profesinya, etika memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral. Dalam profesi penegak hukum sendiri mereka telah memiliki kode etik yang diatur tersendiri, tapi dalam prakteknya kode etik yang telah ditetapkan dan di sepakati itu masih banyak di langgar oleh para penegak hukum. Akibat perbuatan-perbuatan para penegak hukum yang tidak memiliki integritas bahkan dapat dikatakan tidak beretika dalam menjalankan profesinya, sehingga mengakibatkan lambatnya pembangunan hukum yang diharapkan oleh bangsa ini, bahkan menimbulkan pikiran-pikiran negative dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap kinerja penegak hukum.
Aturan para aparat dan aparatur penegak hukum dijabarkan sebagai berikut :
1. Kepolisian, kekuasaan polisi/polri adalah merupakan sebagai perwujudan istilah yang mengambarkan penjelmaan tugas, status, organisasi,wewenang dan tanggung jawab polisi. Secara umum kedudukan, fungsi dan tugas kepolisian diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI.
2. Kejaksaan, secara umum kedudukan, fungsi dan tugas kepolisian diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI
3. Kehakiman, Secara umum kedudukan, fungsi dan tugas kepolisian diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
4. Lembaga Permasyarakatan, Secara umum kedudukan, fungsi dan tugas kepolisian diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2005 tentang Permasyarakatan.
Ada tiga elemen penting yang mempengaruhi mekanisme bekerjanya aparat dan aparatur penegak hukum, menurut Jimmly Asshidiqie elemen tersebut antara lain : (1) istitusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; (2) budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya; dan (3) perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaanya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materilnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistematik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan secara internal dapat diwujudkan secara nyata.
Dalam pelaksanaannya penegakan hukum oleh penegak hukum di atas dijumpai beberapa halangan yang disebabkan oleh penegak hukum itu sendiri, halagan-halangan tersebut antara lain :
1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia beriteraksi.
2. Tingkat aspirasi yang relative belum tinggi.
3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi.
4. Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan materiel.
5. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.
Menurut Soerjono Soekanto hambatan maupun halangan penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum tersebut dapat diatasi dengan cara mendidik, membiasakan diri untuk mempunyai sikap-sikap antara lain : sikap terbuka, senantiasa siap menerima perubahan, peka terhadap masalah yang terjadi, senantiasa mempunyai informasi yang lengkap, oreentasi ke masa kini dan masa depa, menyadari potensi yang dapat di kembangkan, berpegang pada suatu perencanaan, percaya pada kemampuan iptek, menyadari dan menghormati hak dan kewajiban, berpegang teguh pada keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan perhitungan yang mantab.

C. Faktor Sarana atau Fasilitas
Fasilitas pendukung secara sederhana dapat dirumuskan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Ruang lingkupnya terutama adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Fasilitas pendukung mencangkup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan sebagainya.
Jika fasilitas pendukung tidak terpenuhi maka mustahil penegakan hukum akan nencapai tujuannya. Kepastian dan kecepatan penyelesaian perkara tergantung pada fasilitas pendukung yang ada dalam bidang-bidang pencegahan dan pemberantasan kejahatan.
Peningkatan tehnologi deteksi kriminalitas, mempunyai peranan yang sangat penting bagi kepastian dan penanganan perkara-perkara pidana, sehingga tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual, maka untuk sarana atau fasilitas tersebut sebaiknya dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Yang tidak ada maka diadakan yang baru betul;
2. yang rusak atau salah maka diperbaiki atau di betulkan;
3. yang kurang seharusnya di tambah;
4. yang macet harus di lancarkan;
5. yang mundur atau merosot harus di majukan atau di tingkatkan.
Faktor ketiga yaitu faktor sarana atau fasilitas yang membantu penegakan hukum, menurut Soerjono Soekanto sendiri menyatakan bahwa tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar tanpa adanya sarana atau fasilitas yang memadai. Fasilitas atau sarana yang memadai tersebut, antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal itu tidak terpenuhi maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya. Kita bisa bayangkan bagaimana penegakan peraturan akan berjalan sementara aparat penegaknya memiliki pendidikan yang tidak memadai, memiliki tata kelola organisasi yang buruk, di tambah dengan keuangan yang minim. Akan tetapi hal itu bukanlah segala-galanya kalau aparatnya sendiri masih buruk, karena sebaik apapun sarana atau fasilitas yang membantu penegakkan hukum tanpa adanya aparat penegak hukum yang baik hal itu hanya akan terasa sia-sia. Hal itu dapat kita lihat misalnya pada insatasi kepolisian, di mana saat ini hampir bisa dikatakan dalam hal fasilitas pihak kepolisian sudah dapat dikatakan mapan, tapi berdasarkan survey yang dilakukan oleh Lembaga Transparency International Indonesia menyatakan bahwa instasi terkorup saat ini ada di tubuh kepolisian dengan indeks suap sebesar 48 %, bentuk korupsi yang terjadi di tubuh kepolisian, itu contohnya saja seperti korupsi kecil-kecilan oleh Polisi Lantas yang mungkin sering dialami oleh pengendara, sampai ke tingkat yang lebih tinggi semisal tersangka kasus korupsi Susno. Begitu juga Dalam ligkup pengadilan dan kejaksaan pun tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di institusi kepolisian.

D. Faktor Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian didalam masyarakat. Masyarakat mempunyai pendapat-pendapat tertentu mengenai hukum. Masyarakat Indonesia mempunyai pendapat mengenai hukum sangat berfareasi antara lain :
1. Hukum diartikan sebagai ilmu pengetahuan;
2. hukum diartikan sebagai disiplin, yakni sistem ajaran tentang kenyataan;
3. hukum diartikan sebagai norma atau kaidah, yakni patokan perilaku pantas yang diharapkan;
4. hukum diartikan sebagai tata hukum (yakni hukum positif tertulis) ;
5. hukum diartikan sebagai petugas atau pejabat;
6. hukum diartikan sebagai keputusan pejabat atau penguasa;
7. hukum diartikan sebagai proses pemerintahan;
8. hukum diartikan sebagai perilaku teratur dan unik;
9. hukum diartikan sebagai jalinan nilai;
10. hukum diartikan sebagai seni.
Berbagai pengertian tersebut di atas timbul karena masyarakat hidup dalam konteks yang berbeda, sehingga yang seharusnya dikedepankan adalah keserasiannya, hal inin brttujuan supaya ada titik tolak yang sama. Masyarakat juga mempunyai kecenderungan yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan mengindentifikasi dengan petugas (dalam hal ini adalah penegak hukum adalah sebagai pribadi).
Salah satu akibatnya adalah bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola perilaku penegak hukum itu sendiri yang merupakan pendapatnya sebagai cermina dari hukum sebagai struktur dan proses. Keadaan tersebut juga dapat memberikan pengaruh baik, yakni bahwapenegak hukum akan merasa bahwa perilakunya senantiasa mendapat perhatian dari masyarakat.
Permasalahan lain yang timbul sebagai akibat anggapan masyarakat adalah megenai penerapan undang-undangan yang ada / berlaku. Jika penegak hukum menyadari dirinya dianggap hukum oleh masyarakat, maka kemungkinan penafsiran mengenai pengertian perundang-undangan bisa terlalu luas atau bahkan tewrlalu sempit. Selain itu mungkin timbul kebiasaan untuk kurang menelaaah bahwa perundang-undangan kadangkala tertinggal dengan perkembagan di dalam masyarakat. Anggapan-anggapan masyarakat tersebut harus mengalami perubahan dalam kadar tertentu. Perubahan tersebut dapat dilakukan memlalui penerangan atau penyuluhan hukum yang bersinambungan dan senan tiasa diefaluasi hasil-hasinya, untuk kemudian dkembangkan lagi. Kegiatan-kegiatan tersebut nantinya kan dapat menempatkan hukum pada kedudukan dan peranan yang semestinya.


E. Faktor Kebudayaan
Faktor kebudayaan sebernarnya bersatu padu dengan faktor masyarakat sengaja dibedakan, karena didalam pembahasannya diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non material. Hal ini dibedakan sebab menurut Lawrence M. Friedman yang dikutip Soerdjono Soekamto , bahwa sebagai suatu sistem (atau subsistem dari sistem kemasyarakatan), maka hukum menyangkup, struktur, subtansi dan kebudayaan. Struktur menyangkup wadah atau bentuk dari sistem tersebut yang, umpamanya, menyangkup tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hukum antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajibanya, dan seterusnya. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencangkup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yangmerupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (hingga dianuti) dan apa yang diangap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan estrim yang harus diserasikan.
Pasangan nilai yang berperan dalam hukum menurut Soerdjono Soekamto adalah sebagai berikut :
1. Nilai ketertiban dan nilai ketenteraman.
2. Nilai jasmaniah/kebendaan dan nilai rohaniah/keakhlakan.
3. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.
Dengan adanya keserasian nilai dengan kebudayaan masyarakat setempat diharapkan terjalin hubungan timbal balik antara hukum adap dan hukum positif di Indonesia, dengan demikian ketentuan dalam pasal-pasal hukum tertulis dapat mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum adat supaya hukum perundang-undangan tersebut dapat berlaku secara efektif. Kemudian diharapkan juga adanya keserasian antar kedua nilai tersebut akan menempatkan hukum pada tempatnya.






DAFTAR PUSTAKA

Asshidiqie, Jimmly. Penegakan Hukum, diakses dari www.solusihukum.com, pada tanggal 12 Desember 2010.
Kelana, Momo. 1994. Hukum Kepolisian, PT. Grasindo, Jakarta .
-------------------. 2010, Disampaikan dalam Perkuliahan Mahasiswa KIK UI Angkt. XIV tahun 2010, tidak diterbitkan.
Moeljatno. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana,Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Reksodiputro, Mardjono. 2007. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, Jakarta.
Soekamto, Soerjono. 2005. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta.