Jumat, 14 Januari 2011

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFEKTIFITAS PERADILAN PIDANA ATAU PENEGAKAN HUKUM

Yang dimaksud mewujudkan penegakan hukum yaitu untuk memperoleh kepastian hukum, keadilan, dan manfaat dari penegakan hukum tersebut. Proses penegakan hukum dapat berjalan dengan efektif apabila terbentuk suatu mata rantai beberapa proses yang tidak boleh di pisahkan antara lain : penyidikan, tuntutan jaksa, vonis hakim,dan pembuatan peraturan perudang-undangan.
Namun pada kenyataanya penegakan hukum mengalami beberapa kendala atau hambatan yang dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor. Dengan demikian terdapat masalah dalam penegakan hukum, menurut Drs. Momo Kelana M.Si masalah penegakan hukum dipengaruhi oleh beberapa hal :
1. substansi hukum yang akan ditegakan;
2. struktur para penegak hukum; dan
3. kultur masyarakat.
Kemudian faktor-faktor tersebut dijabarkan menurut Prof. Dr. Soerjono Soekamto, SH.,MA antara lain :
1. faktor hukumnya sendiri;
2. faktor penegak hukum;
3. faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
4. faktor masyarakat; dan,
5. faktor kebudayaan.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dngan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok ukur dari pada efktfitas hukum.
Dengan melihat beberapa faktor di atas penulis mencoba mendiskrepsikan sebagai berikut :


A. Faktor hukumnya sendiri / Substansi hukum yang akan Ditegakkan.
Setiap masyarakat memiliki hukum sebagai penata normative dalam hubungan antar warga masyarakat, hal ini bertujuan agar hubungan masyarakat berlangsung lestari dan mencapai tujuan bersama. Sedangkan hukum bersifat mengatur dan memaksa melalui sanksi-sanksi yang dijatuhkan terhadap para pelanggar hukum antara lain berupa hukuman pidana.
Hukum pidana sendiri adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
1. Menentukan perbuatan – perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi yang berupa pidana tertentu bagi bagi siapa yang melarang larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagai mana yang diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Fungsi utama hukum pidana adalah kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat. Sedangkan tujuan hukum pidana ada dua macam : pertama, untuk menakut-nakuti setiap orang agar mereka tidak melakukan perbuatan pidana (fungsi preventif); dan kedua, untuk mendidik orang yang telah melakukan perbuatan yang tergolong perbuatan pidana agar mereka menjadi orang yang baik dan dapat diterima kembali dalam masyarakat (fungsi reprensif).
Sumber-sumber hukum pidana di Indonesia antara lain :
1. Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) dan penjelasannya yang terdiri dari buku satu tentang aturan umum, buku dua tentang kejahatan, dan buku ketiga tentang pelanggaran.
2. Undang-Undang di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang meliputi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme, dan tindak pidana khusus lainnya.
3. Hukum Adat, ini berdasarkan Pasal 5 ayat 3 (b) Undang-Undang Darurat Nomor 1 tahun 1951 yaitu “Hukum Materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materiil pidana sipil yang sampai ini berlaku untuk kaula- kaula daerah Swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu dengan pengertian………………”.
Penerapan hukum pidana atau undang-undang oleh penegak hukum pada kenyataannya tidak berjalan seperti fungsi dan tujuan hukum pidana yang dimaksud, hal ini merupakan gangguan penegakan hukum yang berasal dari hukum pidana dan atau undang-undang yang mungkin disebabka, karena :
1. Tidak dikutinya asas-asas berlakunya undang-undang;
2. belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang; dan
3. ketidak jelasan arti kata-kata didalam undang-undang yang mengakibatkan kesimpang siuran di dalam penafsiran dan penerapanya.
Untuk menghindari atau mencegah permasalahan penegakan hukum yang berasal dari hukum pidana dan atau undang-undang seperti tersebut di atas, maka perlu diperhatikan dasar kostruksi hukum pembuatan hukum pidana. Dasar konstruksi ini dapat dilihat dengan mempertimbangkan teori-teori pemidanaan yang berlaku. Secara garis besar teori-teori pemidanaan tersebut meliputi :
1. Teori Absolut (Retributive/Vergeldings Theorieen)
Dalam teori ini pidana / hukuman dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). Sedangkan pengertian pidana dalam aliran ini adalah akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yg melakukan kejahatan. Dasar pembenaran pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.
Pengikut teori ini antara lain Johannes Andenaes, Immanuel Kant, Hegel, Nigel Walker, John Kaplan, Prof Sudarto, Van Bemmelen, Pompe.
2. Teori Relatif atau Tujuan (Utilitarian)
Dalam aliran ini pidana bukan untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan, dan pembalasan tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Teori ini disebut juga Teori Perlindungan Masyarakat (The Theory of Spcial Defence) atau Teori Reduktif (untuk mengurangi jaringan kejahatan) atau teori tujuan (Utillitarian Theory) yait pengimbalan mempunyai tertentu yang bermanfaat. Kemudian pidana yang dijatuhkan bukan quia peccatum est (orang berbuat kejahatan) nelsinksn nepeccetur (agar orang tidak melakukan kejahatan).
Pengikut teori ini antara lain J. Adenaes, Nigel Walker, Van Bemmelen, Van Veen,
3. Teori Gabungan
Dalam teori ini pidana meupakan pembalasan sebagai pidana dan beratnya pidana tersebut tidak boleh melampui suatu pembalasan yang adil, namun pidana mempunyai berbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general. Penganut teori gabungan yaitu Pellegrino Rossi.
Salah satu masalah pokok hukum pidana adalah mengenai konsep tujuan pemidanaan dan untuk mengetahui secara komprehensif mengenai tujuan pemidanaan ini harus dikaitkan dengan aliran-aliran hukum pidana, selain itu dengan melihat atau mengacu pada aliran-aliran hukum pidana dapat menentukan suatu sistem hukum pidana yang praktis dan bermanfaat dapat dipelajari.
Secara garis besar aliran-aliran ini terbagi atas 2 (dua) aliran yaitu :
1. Aliran Klasik
Aliran klasik berpedoman pada tiga asas antara lain asas legalitas, asas kesalahan, dan asas pengimbalan. Pelopor aliran ini mempunyai dua tokoh utama yaitu Cesare Beccaria (1738-1794) yang mengatakan bahwa pidana harus cocok dgn kejahatan (punishment should fit the crime) yang dipengaruhi filsafat “kebebasan kehendak”, kemudian Jeremy Bentham (1784 – 1832) yangmengemukakan pendapat yakin pada doktrin “kebebasan kehendak” dan hukum pidana hanya untuk tujuan “cegah kejahatan”.
2. Aliran Modern
Aliran ini bertititolak ada pusat perhatiannya pada siapa pembuat undang-undang atau hukum pidana, kemudian disebut aliran positif karena pendekatan ilmu alam dan langsung pengaruhi penjahat secara positif sejauh dia masih dapat diperbaiki. Aliran ini bertitik tolak pada filsafat “determinisme”. sehingga manusia dipandang tidak mempunyai kebebasan kehendak tetapi dipengaruhi oleh watak dan lingkungannya.
Pelopor aliran ini yaitu Lombroso , Lacasagne dan Enrico Ferri kemudian dilanjutkan oleh : Von Liszt (Jerman); A.Prins (Belgia); Van Hamel (Belanda) yang pada tahuun 1888 mendirikan “ union internationale de droit penal/internationale kriminalistische vereinigung(ikv) atau internationale.

B. Faktor Penegak Hukum
Faktor ini meliputi pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum atau law enforcement. Bagian-bagian itu law enforcement adalah aparatur penegak hukum yang mampu memberikan kepastian, keadilan, dan kemanfaat hukum secara proporsional. Aparatur penegak hukum menyangkup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum, sedangkan aparat penegak hukum dalam arti sempit dimulai dari kepolisian, kejaksaan, kehakiman, penasehat hukum dan petugas sipir lembaga pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur diberikan kewenangan dalam melaksanakan tugasnya masing-masing, yang meliputi kegiatan penerimaan laporan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, penbuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pembinaan kembali terpidana.
Sistem peradilan pidana harus merupakan kesatuan terpadu dari usaha-usaha untuk menangulangi kejahatan yang sesungguhnya terjadi dalam masyarakat. Apabila kita hanya memakai sebagian ukuran statistik kriminalitas, maka keberhasilan sistem peradilan pidana akan dinilai berdasarkan jumlah kejahatan yang sampai alat penegak hukum. Beberapa banyak yang dapat diselesakan kepolisian, kemudian diajukan oleh kejaksaan ke pengadilan dn dalam pemeriksaan di pengadilan dinyatakan bersalah dan dihukum. Sebenarnya apa yang diketahui dan diselesakan melalui sistem peradilan pidana hanya puncaknya saja dari suatu gunung es. Masih banyak yang tidak terlihat, tidak dilaporkan (mungkin pula tidak diketahui, misalnya dalam hal “kejahatan dimana korbanya tidak dapat ditentukan”atau “crimes without victims”) dan karena itu tidak dapat di selesaikan. Keadaan seperti ini tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya kepada sistem peradilan pidana. Karena tugas sistem ini adalah terutama menyelesekan kasus-kasus yang sampai padanya.
Secara sosiologis, setiap aparat penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan (sosial) merupakan posisi tertentu di daloam struktur kemasyarakatan. Kedudukan tersebut merupakan peranan atau role, oleh karena itu seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya mempunyai peranan. Suatu hak merupakan wewenang untuk berbuat dan tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. Suatu peranan tertentu dapat di jabarkan dalam unsur- unsur sebagai berikut : (1) peranan yang ideal / ideal role ; (2) peranan yang seharusnya / expected role; (3) peranan yang dianggap oleh diri sendiri / perceived role; dan (4) perana yang sebenarnya dilakukan / actual role.
Penegak hukum dalam menjalankan perannya tidak dapat berbuat sesuka hati mereka juga harus memperhatikan etika yang berlaku dalam lingkup profesinya, etika memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral. Dalam profesi penegak hukum sendiri mereka telah memiliki kode etik yang diatur tersendiri, tapi dalam prakteknya kode etik yang telah ditetapkan dan di sepakati itu masih banyak di langgar oleh para penegak hukum. Akibat perbuatan-perbuatan para penegak hukum yang tidak memiliki integritas bahkan dapat dikatakan tidak beretika dalam menjalankan profesinya, sehingga mengakibatkan lambatnya pembangunan hukum yang diharapkan oleh bangsa ini, bahkan menimbulkan pikiran-pikiran negative dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap kinerja penegak hukum.
Aturan para aparat dan aparatur penegak hukum dijabarkan sebagai berikut :
1. Kepolisian, kekuasaan polisi/polri adalah merupakan sebagai perwujudan istilah yang mengambarkan penjelmaan tugas, status, organisasi,wewenang dan tanggung jawab polisi. Secara umum kedudukan, fungsi dan tugas kepolisian diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI.
2. Kejaksaan, secara umum kedudukan, fungsi dan tugas kepolisian diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI
3. Kehakiman, Secara umum kedudukan, fungsi dan tugas kepolisian diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
4. Lembaga Permasyarakatan, Secara umum kedudukan, fungsi dan tugas kepolisian diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2005 tentang Permasyarakatan.
Ada tiga elemen penting yang mempengaruhi mekanisme bekerjanya aparat dan aparatur penegak hukum, menurut Jimmly Asshidiqie elemen tersebut antara lain : (1) istitusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; (2) budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya; dan (3) perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaanya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materilnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistematik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan secara internal dapat diwujudkan secara nyata.
Dalam pelaksanaannya penegakan hukum oleh penegak hukum di atas dijumpai beberapa halangan yang disebabkan oleh penegak hukum itu sendiri, halagan-halangan tersebut antara lain :
1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia beriteraksi.
2. Tingkat aspirasi yang relative belum tinggi.
3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi.
4. Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan materiel.
5. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.
Menurut Soerjono Soekanto hambatan maupun halangan penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum tersebut dapat diatasi dengan cara mendidik, membiasakan diri untuk mempunyai sikap-sikap antara lain : sikap terbuka, senantiasa siap menerima perubahan, peka terhadap masalah yang terjadi, senantiasa mempunyai informasi yang lengkap, oreentasi ke masa kini dan masa depa, menyadari potensi yang dapat di kembangkan, berpegang pada suatu perencanaan, percaya pada kemampuan iptek, menyadari dan menghormati hak dan kewajiban, berpegang teguh pada keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan perhitungan yang mantab.

C. Faktor Sarana atau Fasilitas
Fasilitas pendukung secara sederhana dapat dirumuskan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Ruang lingkupnya terutama adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Fasilitas pendukung mencangkup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan sebagainya.
Jika fasilitas pendukung tidak terpenuhi maka mustahil penegakan hukum akan nencapai tujuannya. Kepastian dan kecepatan penyelesaian perkara tergantung pada fasilitas pendukung yang ada dalam bidang-bidang pencegahan dan pemberantasan kejahatan.
Peningkatan tehnologi deteksi kriminalitas, mempunyai peranan yang sangat penting bagi kepastian dan penanganan perkara-perkara pidana, sehingga tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual, maka untuk sarana atau fasilitas tersebut sebaiknya dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Yang tidak ada maka diadakan yang baru betul;
2. yang rusak atau salah maka diperbaiki atau di betulkan;
3. yang kurang seharusnya di tambah;
4. yang macet harus di lancarkan;
5. yang mundur atau merosot harus di majukan atau di tingkatkan.
Faktor ketiga yaitu faktor sarana atau fasilitas yang membantu penegakan hukum, menurut Soerjono Soekanto sendiri menyatakan bahwa tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar tanpa adanya sarana atau fasilitas yang memadai. Fasilitas atau sarana yang memadai tersebut, antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal itu tidak terpenuhi maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya. Kita bisa bayangkan bagaimana penegakan peraturan akan berjalan sementara aparat penegaknya memiliki pendidikan yang tidak memadai, memiliki tata kelola organisasi yang buruk, di tambah dengan keuangan yang minim. Akan tetapi hal itu bukanlah segala-galanya kalau aparatnya sendiri masih buruk, karena sebaik apapun sarana atau fasilitas yang membantu penegakkan hukum tanpa adanya aparat penegak hukum yang baik hal itu hanya akan terasa sia-sia. Hal itu dapat kita lihat misalnya pada insatasi kepolisian, di mana saat ini hampir bisa dikatakan dalam hal fasilitas pihak kepolisian sudah dapat dikatakan mapan, tapi berdasarkan survey yang dilakukan oleh Lembaga Transparency International Indonesia menyatakan bahwa instasi terkorup saat ini ada di tubuh kepolisian dengan indeks suap sebesar 48 %, bentuk korupsi yang terjadi di tubuh kepolisian, itu contohnya saja seperti korupsi kecil-kecilan oleh Polisi Lantas yang mungkin sering dialami oleh pengendara, sampai ke tingkat yang lebih tinggi semisal tersangka kasus korupsi Susno. Begitu juga Dalam ligkup pengadilan dan kejaksaan pun tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di institusi kepolisian.

D. Faktor Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian didalam masyarakat. Masyarakat mempunyai pendapat-pendapat tertentu mengenai hukum. Masyarakat Indonesia mempunyai pendapat mengenai hukum sangat berfareasi antara lain :
1. Hukum diartikan sebagai ilmu pengetahuan;
2. hukum diartikan sebagai disiplin, yakni sistem ajaran tentang kenyataan;
3. hukum diartikan sebagai norma atau kaidah, yakni patokan perilaku pantas yang diharapkan;
4. hukum diartikan sebagai tata hukum (yakni hukum positif tertulis) ;
5. hukum diartikan sebagai petugas atau pejabat;
6. hukum diartikan sebagai keputusan pejabat atau penguasa;
7. hukum diartikan sebagai proses pemerintahan;
8. hukum diartikan sebagai perilaku teratur dan unik;
9. hukum diartikan sebagai jalinan nilai;
10. hukum diartikan sebagai seni.
Berbagai pengertian tersebut di atas timbul karena masyarakat hidup dalam konteks yang berbeda, sehingga yang seharusnya dikedepankan adalah keserasiannya, hal inin brttujuan supaya ada titik tolak yang sama. Masyarakat juga mempunyai kecenderungan yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan mengindentifikasi dengan petugas (dalam hal ini adalah penegak hukum adalah sebagai pribadi).
Salah satu akibatnya adalah bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola perilaku penegak hukum itu sendiri yang merupakan pendapatnya sebagai cermina dari hukum sebagai struktur dan proses. Keadaan tersebut juga dapat memberikan pengaruh baik, yakni bahwapenegak hukum akan merasa bahwa perilakunya senantiasa mendapat perhatian dari masyarakat.
Permasalahan lain yang timbul sebagai akibat anggapan masyarakat adalah megenai penerapan undang-undangan yang ada / berlaku. Jika penegak hukum menyadari dirinya dianggap hukum oleh masyarakat, maka kemungkinan penafsiran mengenai pengertian perundang-undangan bisa terlalu luas atau bahkan tewrlalu sempit. Selain itu mungkin timbul kebiasaan untuk kurang menelaaah bahwa perundang-undangan kadangkala tertinggal dengan perkembagan di dalam masyarakat. Anggapan-anggapan masyarakat tersebut harus mengalami perubahan dalam kadar tertentu. Perubahan tersebut dapat dilakukan memlalui penerangan atau penyuluhan hukum yang bersinambungan dan senan tiasa diefaluasi hasil-hasinya, untuk kemudian dkembangkan lagi. Kegiatan-kegiatan tersebut nantinya kan dapat menempatkan hukum pada kedudukan dan peranan yang semestinya.


E. Faktor Kebudayaan
Faktor kebudayaan sebernarnya bersatu padu dengan faktor masyarakat sengaja dibedakan, karena didalam pembahasannya diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non material. Hal ini dibedakan sebab menurut Lawrence M. Friedman yang dikutip Soerdjono Soekamto , bahwa sebagai suatu sistem (atau subsistem dari sistem kemasyarakatan), maka hukum menyangkup, struktur, subtansi dan kebudayaan. Struktur menyangkup wadah atau bentuk dari sistem tersebut yang, umpamanya, menyangkup tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hukum antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajibanya, dan seterusnya. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencangkup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yangmerupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (hingga dianuti) dan apa yang diangap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan estrim yang harus diserasikan.
Pasangan nilai yang berperan dalam hukum menurut Soerdjono Soekamto adalah sebagai berikut :
1. Nilai ketertiban dan nilai ketenteraman.
2. Nilai jasmaniah/kebendaan dan nilai rohaniah/keakhlakan.
3. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.
Dengan adanya keserasian nilai dengan kebudayaan masyarakat setempat diharapkan terjalin hubungan timbal balik antara hukum adap dan hukum positif di Indonesia, dengan demikian ketentuan dalam pasal-pasal hukum tertulis dapat mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum adat supaya hukum perundang-undangan tersebut dapat berlaku secara efektif. Kemudian diharapkan juga adanya keserasian antar kedua nilai tersebut akan menempatkan hukum pada tempatnya.






DAFTAR PUSTAKA

Asshidiqie, Jimmly. Penegakan Hukum, diakses dari www.solusihukum.com, pada tanggal 12 Desember 2010.
Kelana, Momo. 1994. Hukum Kepolisian, PT. Grasindo, Jakarta .
-------------------. 2010, Disampaikan dalam Perkuliahan Mahasiswa KIK UI Angkt. XIV tahun 2010, tidak diterbitkan.
Moeljatno. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana,Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Reksodiputro, Mardjono. 2007. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, Jakarta.
Soekamto, Soerjono. 2005. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta.

Kamis, 06 Januari 2011

STUDI KOMPREHENSIF HUKUM ACARA PIDANA AMERIKA DAN INDONESIA

Penegakan hukum yang ideal harus bisa memenuhi tiga nilai dasar dari hukum yaitu nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Baik dalam tataran teoretis maupun praktis, ketiga nilai dasar tersebut tidak mudah untuk diwujudkan secara serasi. Pemenuhan nilai kepastian hukum, terkadang harus mengorbankan nilai keadilan dan kemanfaatan, demikian pula pemenuhan nilai keadilan dan kemanfaatan di satu sisi, pada sisi yang lain akan bisa berakibat pada dikorbankannya nilai kepastian hukum.
Secara umum sistem peradilan pidana dapat diartikan sebagai suatu proses bekerjanya beberapa lembaga penegak hukum melalui sebuah mekanisme yang meliputi kegiatan bertahap yang dimulai dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pelaksanaan putusan hakim yang dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan. Proses tersebut bekerja secara berurutan artinya tahap yang satu tidak boleh melompati tahap lainnya. Keseluruhan proses itu bekerja di dalam suatu sistem, sehingga masing-masing lembaga itu merupakan subsistem yang saling berhubungan dan pengaruh mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Dalam sistem peradilan pidana tersebut bekerja komponen-komponen fungsi yang masing-masing harus berhubungan dan bekerja sama. Sebagaimana dikatakan oleh Alan Coffey berkaitan dengan hal ini yaitu bahwa :
“Criminal justice can function systematically only to the degrees that each segment of the system takes into account all other segments. In order words, the system is no more systematic than the relationships between Police and prosecution, Police and Court Prosecution and Corrections, Corrections and law, and so forth. In the absence of functional relationships between segments, the criminal justice system is vulnerable to fragmentation and ineffectiveness” (M. Faal, 1991 : 25 ).
Dengan demikian diperlukan suatu sistem peradilan yang berkaitan dengan acara peradilan yang tepat dalam rangka penegakkan hukum ditengah-tengah masyarakat.
A. Model Hukum Acara Pidana di Amerika
Dalam literatur dikenal beberapa model peradilan pidana. Menurut Herbert L. Packer di Amerika Serikat berkembang beberapa model dalam rangka penyelenggaraan peradilan pidana. Perlu dijelaskan di sini bahwa penggunaan model di sini bukanlah sesuatu hal yang nampak secara nyata dalam suatu sistem yang dianut oleh suatu negara, akan tetapi merupakan suatu sistem nilai yang dibangun atas dasar pengamatan terhadap praktek peradilan pidana di berbagai negara. Berdasarkan pengamatannya dikatakan bahwa dalam penyelenggaraan peradilan pidana di Amerika Serikat dikenal dua model dalam proses pemeriksaan perkara pidana ( two models of the criminal process ) yaitu Due Process Model dan Crime Control Model.
Kedua model di atas, dilandasi oleh Adversary Model (Model perlawanan ) yang memiliki ciri-ciri :
1. Prosedur peradilan harus merupakan suatu disputes atau combating proceeding antara terdakwa dan penuntut umum dalam kedudukan yang sama di muka pengadilan;
2. b.Judge as umpire dengan konsekuensi bahwa hakim tidak ikut ambil bagian dalam “pertempuran” ( fight ) dalam proses pemeriksaan di pengadilan. Ia hanya berfungsi sebagai wasit yang menjaga agar permainan tidak dilanggar, baik oleh terdakwa maupun oleh penuntut umum;
3. Tujuan utama prosedur peradilan pidana adalah menyelesaikan sengketa yang timbul disebabkan terjadinya kejahatan;
4. Para pihak atau kontestan memiliki fungsi yang otonom dan jelas. Peranan penuntut umum adalah melakukan penuntutan, peranan terdakwa adalah menolak atau menyanggah dakwaan. Penuntut umum bertujuan menetapkan fakta mana saja yang akan dibuktikannya disertai bukti yang menunjang fakta tersebut. Terdakwa bertugas menentukan fakta-fakta mana saja yang akan diajukan di persidangan yang akan dapat menguntungkan kedudukannya dengan menyampaikan bukti-bukti lain sebagai penunjang fakta tersebut.
Pada Crime Control Model didasarkan pada anggapan bahwa penyelenggaraan peradilan pidana adalah semata-mata untuk menindas perilaku kriminal ( criminal conduct ), dan ini merupakan tujuan utama proses peradilan, karena yang diutamakan adalah ketertiban umum ( public order ) dan efisiensi (Ansorie Sabuan dkk, 1990 : 6 ). Proses kriminal pada dasarnya merupakan suatu perjuangan atau bahkan semacam perang antara dua kepentingan yang tidak dapat dipertemukan kembali yaitu kepentingan negara dan kepentingan individu (terdakwa ). Di sini berlakulah apa yang disebut sebagai “presumption of guilt” (praduga bersalah) dan “sarana cepat” dalam pemberantasan kejahatan demi efisiensi. Dalam praktek model ini mengandung kelemahan yaitu seringnya terjadi pelanggaran hak asasi manusia demi efisiensi. Akibat seringnya terjadi pelanggaran hak asasi manusia maka munculah model yang kedua yang disebut Due Process Model. Di dalam Due Process Model ini muncul nilai-nilai baru yang sebelumnya kurang diperhatikan, yaitu konsep perlindungan hak-hak individual dan pembatasan kekuasaan dalam penyelengaraan peradilan pidana. Proses kriminal harus dapat dikendalikan untuk dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan sifat otoriter dalam rangka mencapai maksimum efisiensi. Di dalam model ini berlaku asas yang sangat penting yaitu asas praduga tidak bersalah ( presumption of innocent ).
Kedua model yang diperkenalkan oleh Packer di atas, didasarkan pada pemikiran mengenai hubungan antara negara dan individu dalam proses kriminal yang menempatkan pelaku tindak pidana sebagai musuh masyarakat ( enemy of the society ), sedangkan tujuan utama dari pemidanaan adalah mengasingkan pelaku tindak pidana dari masyarakat ( exile function of punishment ). Menurut John Griffiths kedua model tersebut secara filosofis berlandaskan pada model peperangan ( Battle Model ) serta pertentangan antara negara dengan individu yang tidak dapat dipertemukan kembali ( irreconciliable disharmony of interest ) sehingga jika terjadi kejahatan, maka terhadap si pelaku harus segera diproses dengan menempatkannya sebagai obyek di dalam sistem peradilan pidana.
Berdasarkan uarian diatas, menurut penulis bahwa crime control model maupun due process model, keduanya tetap berjalan diatas koridor hukum acara, karena keduanya hanyalah kecenderungan model yang ada dalam praktek. Dalam amandemen ke-lima (The Fifth Amendment) konstitusi Amerika, yang merupakan bagian dari Bill of Rights, dinyatakan:
No person shall be held to answer for a capital, or otherwise infamous crime, unless on a presentment or indictment of a Grand Jury, except in cases arising in the land or naval forces, or in the Militia, when in actual service in time of War or public danger; nor shall any person be subject for the same offence to be twice put in jeopardy of life or limb; nor shall be compelled in any criminal case to be a witness against himself, nor be deprived of life, liberty, or property, without due process of law; nor shall private property be taken for public use, without just compensation.

B. Perbandingan Model Hukum Acara Di Indonesia
1. Pengaruh Crime Control Model dan Model Due Process Model
Pada konsep awalnya perubahan hukum acara dari HIR menjadi KUHAP dilatarbelakangi oleh pemikiran tentang pentingnya perlindungan hak-hak terdakwa dalam proses peradilan pidana, karena tersangka cukup lama tidak memperoleh perlindungan hukum yang layak dan manusiawi. Konsekuensi logis dari perlindungan terhadap hak-hak tersangka atau terdakwa adalah adanya hukum acara yang ketat, sebagai jaminan tidak dilanggarnya hak tersangka maupun terdakwa.
Maka, hukum acara pidana juga merupakan suatu undang-undang yang membatasi tindakan para penguasa dan atau penegak hukum. Perihal batasan ini, sama diakui baik dalam model crime control model maupun oleh model due process model, dimana terhadap kewenangan penguasa dalam melakukan penyidikan maupun kewenangan penanganan terhadap mereka yang dituduh melakukan tindak pidana, diberikan batasan-batasan tertentu. Hanya saja, batasan yang tampak dalam model crime control model relatif lebih longgar dibandingkan due process model.
Dilihat dari segi asas yang dipakai, KUHAP mengikuti asas ‘praduga tak bersalah’ (presumption of innocent) – yang biasa dipakai dalam model due process model, bukan asas ‘praduga bersalah’ (presumption of guilty) – yang biasa dipakai dalam model crime control model. Hal ini tampak dalam Penjelasan KUHAP, Bagian I Umum ke-tiga, yang menyatakan: setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Selain menunjukkan asas apa yang dipakai oleh KUHAP, penjelasan tersebut juga mengisyaratkan bahwa putusan pengadilan (yang berkekuatan hukum tetap) adalah ‘inti’ dari proses peradilan, karena penentuan salah atau tidaknya terdakwa sangat tergantung padanya. Asas presumption of innocent adalah asas yang adanya adalah dalam model due process model, dan salah satu ciri khas dari due process model lainnya adalah pentingnya peran pengadilan sebagai tujuan akhir proses dan sebagai tempat untuk menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa.
Sehingga, bila dilihat dari segi asas yang dipakai dan peran dari pengadilan dalam rangkaian proses peradilan, secara normatif KUHAP cenderung pada model due process model. Hal tersebut adalah bila dilihat dari hukum acara secara umum.

2. Proses Peradilan Pidana dan Praperadilan
Berikut ini adalah analisis dari tahap pemeriksaan pendahuluan sampai tahap persidangan di pengadilan pra adjudication. Salah satu hal terpenting yang perlu dicermati untuk menentukan prosedural atau tidaknya KUHAP adalah eksistensi dari lembaga pra-peradilan. Sebelum memasuki pengadilan biasa, KUHAP memungkinkan adanya suatu lembaga yang bernama pra-peradilan. Sedangkan di Amerika, sebelum masuk ke sidang di pengadilan biasa, ada tiga proses yang dilalui terlebih dahulu, yaitu Arraignment, Preliminary Heearing, dan Pre-Trial Conference.
Sepanjang mengenai peran aktif hakim sebelum sidang, menurut Loebby Loqman, ketiga proses yang terdapat dalam hukum acara peradilan Amerika tersebut dapat disamakan dengan pra peradilan yang ada dalam hukum acara di Indonesia. Akan tetapi, bila melihat fungsinya, maka apa yang dilakukan hakim dalam proses Arraigenment, Preliminary Heearing, dan Pre-Trial Conference, jauh berbeda dengan fungsi hakim pra-peradilan di Indonesia.
Arraignment adalah sidang di depan hakim atau wakilnya yang terjadi beberapa hari setelah seorang ditahan, dimana tuduhan terhadap tersangka dibacakan dan tersangka ditanyai sikapnya, apakah bersalah atau tidak. Barulah apabila tersangka menyatakan tidak bersalah, maka akan dilanjutkan ke depan sidang jury. Mulai saat araignment ini tanggung jawab pengawasan pelaksanaan proses pidana atas tersangka berada di tangan pengadilan.
Preliminary hearing adalah proses dimana penyidik akan menghadap pengadilan untuk memperoleh penilaian hakim apakah telah terdapat alasan kuat (probable cause) untuk percaya bahwa tersangka tertentu merupakan pelaku dari suatu tindak pidana dan oleh karena itu telah mempunyai cukup alasan untuk dapat ditahan dan diadili.
Sedangkan tahap pre trial conference, lebih ditujukan untuk perencanaan sidang pengadilan, terutama mengenai pembuktian dan hak-hak pihak yang berperkara untuk memperoleh pembuktian dari pihak lain.
Sedangkan wewenang pra-peradilan untuk menguji keabsahan suatu penangkapan dan penahanan, menurut Loqman, dapat diperbandingkan dengan lembaga yang bernama Habeas Corpus. Habeas Corpus berasal dari bahasa Romawi yang berarti ‘menguasai diri sesorang’, dan dalam hukum Anglo Saxon, lembaga ini merupakan suatu lembaga kontrol terhadap terjadinya suatu penahanan. Bunyi dari perintah Habeas Corpus adalah: “Si tahanan berada dalam pemguasaan saudara. Saudara wajib membawa orang itu di depan pengadilan serta wajib menunjukkan alasan yang menyebabkan penahanannya.”
Pra-peradilan dalam KUHAP diatur dalam Bab ke-X mengenai wewenang untuk mengadili, bagian kesatu yang memuat pasal-pasal tentang pra-peradilan, yakni dimulai dari pasal 77 sampai 83. Wewenang dari hakim pra-peradilan adalah: melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya suatu penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, dan memutuskan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Adanya lembaga pra-peradilan dalam KUHAP ini menunjukkan betapa proseduralnya hukum acara yang ada di dalamnya, sehingga perlu dibuatkan lembaga khusus yang akan menguji mengenai ditaati atau tidaknya prosedur. Dengan melihat kenyataan yang seperti ini, maka jelaslah bahwa dalam proses pra-adjudication, KUHAP sudah menampakkan kecenderungannya pada model due process model karena bersifat sangat prosedural dan menghendaki agar prosedur tersebut benar-benar ditaati.
Keadaan yang demikian itu diperkuat dengan adanya monopoli kewenangan penyidikan pada polisi di satu pihak, dan kewenangan penuntutan pada JPU di pihak yang lain, yang pada prakteknya semakin membuat prosedur yang ditentukan KUHAP sangat tidak efisien. Dipisahkannya kewenangan penyidikan dan kewenangan penuntutan pada dua lembaga yang berbeda adalah untuk “checks and balances”, sehingga bila penyidik merasa keberatan dengan SP-3 dari JPU, maka dia bisa mem-praperadilan-kan JPU. Dengan adanya pemisahan kewenangan ini, maka efisiensi yang menjadi ciri khas dari model crime control model sama sekali tidak tampak dalam proses penyidikan sampai penuntutan. Karena, pada prakteknya seringkali terjadi bolak-balik berkas antara penyidik dan JPU, yang jumlahnya tidak pernah dibatasi oleh KUHAP. Hal ini tentu menjadi alasan yang bisa memperkuat statement bahwa pada tahap pemeriksaan pendahuluan/pra adjudication, cenderung pada model due process model.
Apabila penyidik akan menangkap tersangka, maka harus dengan surat-surat resmi – tidak seperti yang terjadi dalam model crime control model. Pasal 18 ayat (1) KUHAP menentukan: pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
Pada tahap pemeriksaan di pengadilan, di Indonesia ada tiga model acara pemeriksaan, yaitu Acara Pemeriksaan Biasa (Pasal 152-202 KUHAP), Acara Pemeriksaan Singkat (Pasal 203-204 KUHAP), dan Acara Pemeriksaan Cepat (Pasal 205-216 KUHAP). Yang paling sering digunakan adalah Acara Pemeriksaan Biasa.
Dalam acara pemeriksaan biasa, tahapan dari sidang pidana pertama kali akan dimulai dengan pembukaan sidang oleh majelis hakim yang kata-katanya sudah diatur sedemikian rupa, dimana apabila sampai terjadi pelanggaran, maka sidang dapat dianggap batal demi hukum. Sidang kemudian dilanjutkan dengan pembacaan dakwaan oleh JPU. Dakwaan tersebut biasanya akan dieksepsi oleh Penasehat Hukum terdakwa, dan untuk proses tersebut, biasanya hakim akan menunda sidang untuk waktu seminggu. Setelah mengajukan eksepsi, maka JPU diberi kesempatan untuk menanggapi eksepsi, dan untuknya juga diberi waktu dengan penundaan sidang. Setelah itu, kalau memang harus ada putusan sela, maka hakim akan meminta waktu untuk memberikan putusan sela, yang itu berarti terjadi penundaan sidang lagi.
Bila memang diputuskan bahwa sidang bisa dilanjutkan, maka akan diteruskan dengan pemeriksaan saksi-saksi, yang mana ini belum tentu bisa selesai dalam waktu sekali sidang. Setelah pemeriksaan saksi dan terdakwa selesai, maka JPU akan mengajukan Requsitoir-nya. Requsitoir tersebut akan ditanggapi dengan Pleidooi dari Penasehat Hukum. Tahap berikutnya adalah replik duplik yang bisa terjadi sampai berkali-kali. Setelah semuanya selesai, barulah majelis hakim akan meminta waktu – biasanya satu atau dua minggu – untuk membuat putusan. Setelah dibacakannya putusan, terdakwa diberi kesempatan untuk banding, dimana kalau kesempatan ini tidak dimanfaatkan, maka dengan sendirinya putusan akan dianggap ‘inkracht van gewijsde zack’.
Praktek dari proses persidangan yang sangat prosedural dan formalistis tersebut semuanya mendapat jaminan dari ketentuan mengenai ‘pemeriksaan di persidangan’ yang ada dalam KUHAP. Maka tidak heran, bila kemudian banyak advokat yang sengaja memanfaatkan setiap celah pada hukum acara untuk kepentingan klien. Mereka begitu sibuk bermain di wilayah hukum acara, karena merasa mendapat jaminan dari KUHAP. Penulisan nama yang salah sedikit saja bisa dijadikan masalah. Bahkan pernah ada putusan pengadilan yang pada akhirnya harus dinyatakan batal karena salah identitas terdakwa. Padahal, secara faktual terdakwa nyata-nyata hadir dan diperiksa dalam persidangan. Berdasarkan kenyataan ini, maka jelaslah bahwa dari segi praktek maupun normatifnya, tahap adjudication yang ada dalam hukum acara di Indonesia cenderung pada model due process model.
Sebagai bukti akhir bahwa hukum acara di Indonesia sangat formalistis dan prosedural, Pasal 75 ayat (1) mengharuskan berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang:
a. pemeriksaan tersangka,
b. penangkapan,
c. penahanan,
d. penggeledahan,
e. pemasukan rumah,
f. penyitaan benda,
g. pemeriksaan surat,
h. pemeriksaan saksi,
i. pemeriksaan di tempat kejadian,
j. pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan,
k. pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini.
Pasal 21 ayat (2) menyatakan: penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau surat penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan.

C. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
Dengan melihat penjelasan diatas mengenai tahap pra-adjudikasi maupun adjudikasi, proses peradilan yang ada di Indonesia cenderung kepada model due process model. Ciri-ciri yang menjadi dasar untuk mengatakan kecenderungan ini adalah
a. Terdapat asas “presumption of innocent”, tersangka atau terdakwa tidak boleh dianggap bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,
b. adanya lembaga pra-peradilan sebagai penguji ditaati atau tidaknya prosedur acara yang ada, sehingga menunjukkan betapa pentingnya formalitas,
c. inti dari proses peradilan ada pada pengadilan yang menjadi tempat utama penentuan salah atau tidaknya terdakwa,
d. mengesampingkan atau kurang mementingkan efisiensi, akan tetapi dipatuhinya prosedur yang telah ditentukan, hal ini terlihat dari berbelit-belitnya prosedur yang ada, karena semua proses harus ada berita acaranya.

2. Saran
a. Dengan melihat kecenderungan Indonesia pada due process model yang memiliki banyak kekurangan terutama prosedur yang berbelit-belit, maka perlu dipikirkan mengenai acara pidana di Indonesia juga menitikberatkan pada crime control model. Sehingga hukum acara yang ada (dalam hal ini adalah KUHAP) dalam tataran normatifnya memberikan prosedur beracara yang lebih menitikberatkan pada efisiensi dalam segala bidang antara lain waktu, material (pembiayaan peradilan) dan lain sebagainya.
b. Alasan penulis berpendapat sistem peradilan pidana Indonesia lebih menitikberatkan pada crime control model, karena pada dasarnya terlepas dari pendekatan baik dari crime control model maupun due process model untuk melihat sejauh mana KUHAP memperhatikan HAM, maka dengan telah dicantumkannya hak dari tersangka dan terdakwa, berarti kita telah memperhatikan dan menghormati harkat manusia yang dalam hal ini mempunyai sifat universal, seperti yang termuat dalam ‘The Universal Declaration of Human Rights’ serta ‘International Covenant on Civil and Political Rights’ beserta Opyional Protocolnya, yang terutama termuat dalam Pasal 9 serta Pasal 14 I.C.C.P.R tersebut.” Oleh karena itu, crime control model bukan berarti melanggar HAM, karena masih tetap pada Due Process of Law sebagaimana ditentukan oleh konstitusi.


Jakarta, Desember 2010

ttd

Bambang Yugo Pamungkas