tag:blogger.com,1999:blog-48744028458595005742024-03-13T08:33:22.658-07:00HUKUM dan KEPOLISIANby BAMBANG YUGO PAMUNGKASBambangYugoPamungkashttp://www.blogger.com/profile/09022892672850503888noreply@blogger.comBlogger5125tag:blogger.com,1999:blog-4874402845859500574.post-2968947134971753082011-01-14T08:35:00.001-08:002011-01-14T08:35:53.204-08:00FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFEKTIFITAS PERADILAN PIDANA ATAU PENEGAKAN HUKUMYang dimaksud mewujudkan penegakan hukum yaitu untuk memperoleh kepastian hukum, keadilan, dan manfaat dari penegakan hukum tersebut. Proses penegakan hukum dapat berjalan dengan efektif apabila terbentuk suatu mata rantai beberapa proses yang tidak boleh di pisahkan antara lain : penyidikan, tuntutan jaksa, vonis hakim,dan pembuatan peraturan perudang-undangan. <br />
Namun pada kenyataanya penegakan hukum mengalami beberapa kendala atau hambatan yang dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor. Dengan demikian terdapat masalah dalam penegakan hukum, menurut Drs. Momo Kelana M.Si masalah penegakan hukum dipengaruhi oleh beberapa hal : <br />
1. substansi hukum yang akan ditegakan;<br />
2. struktur para penegak hukum; dan<br />
3. kultur masyarakat.<br />
Kemudian faktor-faktor tersebut dijabarkan menurut Prof. Dr. Soerjono Soekamto, SH.,MA antara lain :<br />
1. faktor hukumnya sendiri; <br />
2. faktor penegak hukum; <br />
3. faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;<br />
4. faktor masyarakat; dan, <br />
5. faktor kebudayaan.<br />
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dngan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok ukur dari pada efktfitas hukum.<br />
Dengan melihat beberapa faktor di atas penulis mencoba mendiskrepsikan sebagai berikut :<br />
<br />
<br />
A. Faktor hukumnya sendiri / Substansi hukum yang akan Ditegakkan.<br />
Setiap masyarakat memiliki hukum sebagai penata normative dalam hubungan antar warga masyarakat, hal ini bertujuan agar hubungan masyarakat berlangsung lestari dan mencapai tujuan bersama. Sedangkan hukum bersifat mengatur dan memaksa melalui sanksi-sanksi yang dijatuhkan terhadap para pelanggar hukum antara lain berupa hukuman pidana. <br />
Hukum pidana sendiri adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk : <br />
1. Menentukan perbuatan – perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi yang berupa pidana tertentu bagi bagi siapa yang melarang larangan tersebut.<br />
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagai mana yang diancamkan.<br />
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.<br />
Fungsi utama hukum pidana adalah kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat. Sedangkan tujuan hukum pidana ada dua macam : pertama, untuk menakut-nakuti setiap orang agar mereka tidak melakukan perbuatan pidana (fungsi preventif); dan kedua, untuk mendidik orang yang telah melakukan perbuatan yang tergolong perbuatan pidana agar mereka menjadi orang yang baik dan dapat diterima kembali dalam masyarakat (fungsi reprensif). <br />
Sumber-sumber hukum pidana di Indonesia antara lain :<br />
1. Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) dan penjelasannya yang terdiri dari buku satu tentang aturan umum, buku dua tentang kejahatan, dan buku ketiga tentang pelanggaran.<br />
2. Undang-Undang di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang meliputi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme, dan tindak pidana khusus lainnya. <br />
3. Hukum Adat, ini berdasarkan Pasal 5 ayat 3 (b) Undang-Undang Darurat Nomor 1 tahun 1951 yaitu “Hukum Materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materiil pidana sipil yang sampai ini berlaku untuk kaula- kaula daerah Swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu dengan pengertian………………”.<br />
Penerapan hukum pidana atau undang-undang oleh penegak hukum pada kenyataannya tidak berjalan seperti fungsi dan tujuan hukum pidana yang dimaksud, hal ini merupakan gangguan penegakan hukum yang berasal dari hukum pidana dan atau undang-undang yang mungkin disebabka, karena :<br />
1. Tidak dikutinya asas-asas berlakunya undang-undang;<br />
2. belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang; dan<br />
3. ketidak jelasan arti kata-kata didalam undang-undang yang mengakibatkan kesimpang siuran di dalam penafsiran dan penerapanya.<br />
Untuk menghindari atau mencegah permasalahan penegakan hukum yang berasal dari hukum pidana dan atau undang-undang seperti tersebut di atas, maka perlu diperhatikan dasar kostruksi hukum pembuatan hukum pidana. Dasar konstruksi ini dapat dilihat dengan mempertimbangkan teori-teori pemidanaan yang berlaku. Secara garis besar teori-teori pemidanaan tersebut meliputi : <br />
1. Teori Absolut (Retributive/Vergeldings Theorieen)<br />
Dalam teori ini pidana / hukuman dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). Sedangkan pengertian pidana dalam aliran ini adalah akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yg melakukan kejahatan. Dasar pembenaran pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.<br />
Pengikut teori ini antara lain Johannes Andenaes, Immanuel Kant, Hegel, Nigel Walker, John Kaplan, Prof Sudarto, Van Bemmelen, Pompe.<br />
2. Teori Relatif atau Tujuan (Utilitarian)<br />
Dalam aliran ini pidana bukan untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan, dan pembalasan tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Teori ini disebut juga Teori Perlindungan Masyarakat (The Theory of Spcial Defence) atau Teori Reduktif (untuk mengurangi jaringan kejahatan) atau teori tujuan (Utillitarian Theory) yait pengimbalan mempunyai tertentu yang bermanfaat. Kemudian pidana yang dijatuhkan bukan quia peccatum est (orang berbuat kejahatan) nelsinksn nepeccetur (agar orang tidak melakukan kejahatan).<br />
Pengikut teori ini antara lain J. Adenaes, Nigel Walker, Van Bemmelen, Van Veen, <br />
3. Teori Gabungan<br />
Dalam teori ini pidana meupakan pembalasan sebagai pidana dan beratnya pidana tersebut tidak boleh melampui suatu pembalasan yang adil, namun pidana mempunyai berbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general. Penganut teori gabungan yaitu Pellegrino Rossi. <br />
Salah satu masalah pokok hukum pidana adalah mengenai konsep tujuan pemidanaan dan untuk mengetahui secara komprehensif mengenai tujuan pemidanaan ini harus dikaitkan dengan aliran-aliran hukum pidana, selain itu dengan melihat atau mengacu pada aliran-aliran hukum pidana dapat menentukan suatu sistem hukum pidana yang praktis dan bermanfaat dapat dipelajari. <br />
Secara garis besar aliran-aliran ini terbagi atas 2 (dua) aliran yaitu : <br />
1. Aliran Klasik<br />
Aliran klasik berpedoman pada tiga asas antara lain asas legalitas, asas kesalahan, dan asas pengimbalan. Pelopor aliran ini mempunyai dua tokoh utama yaitu Cesare Beccaria (1738-1794) yang mengatakan bahwa pidana harus cocok dgn kejahatan (punishment should fit the crime) yang dipengaruhi filsafat “kebebasan kehendak”, kemudian Jeremy Bentham (1784 – 1832) yangmengemukakan pendapat yakin pada doktrin “kebebasan kehendak” dan hukum pidana hanya untuk tujuan “cegah kejahatan”. <br />
2. Aliran Modern<br />
Aliran ini bertititolak ada pusat perhatiannya pada siapa pembuat undang-undang atau hukum pidana, kemudian disebut aliran positif karena pendekatan ilmu alam dan langsung pengaruhi penjahat secara positif sejauh dia masih dapat diperbaiki. Aliran ini bertitik tolak pada filsafat “determinisme”. sehingga manusia dipandang tidak mempunyai kebebasan kehendak tetapi dipengaruhi oleh watak dan lingkungannya.<br />
Pelopor aliran ini yaitu Lombroso , Lacasagne dan Enrico Ferri kemudian dilanjutkan oleh : Von Liszt (Jerman); A.Prins (Belgia); Van Hamel (Belanda) yang pada tahuun 1888 mendirikan “ union internationale de droit penal/internationale kriminalistische vereinigung(ikv) atau internationale. <br />
<br />
B. Faktor Penegak Hukum<br />
Faktor ini meliputi pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum atau law enforcement. Bagian-bagian itu law enforcement adalah aparatur penegak hukum yang mampu memberikan kepastian, keadilan, dan kemanfaat hukum secara proporsional. Aparatur penegak hukum menyangkup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum, sedangkan aparat penegak hukum dalam arti sempit dimulai dari kepolisian, kejaksaan, kehakiman, penasehat hukum dan petugas sipir lembaga pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur diberikan kewenangan dalam melaksanakan tugasnya masing-masing, yang meliputi kegiatan penerimaan laporan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, penbuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pembinaan kembali terpidana. <br />
Sistem peradilan pidana harus merupakan kesatuan terpadu dari usaha-usaha untuk menangulangi kejahatan yang sesungguhnya terjadi dalam masyarakat. Apabila kita hanya memakai sebagian ukuran statistik kriminalitas, maka keberhasilan sistem peradilan pidana akan dinilai berdasarkan jumlah kejahatan yang sampai alat penegak hukum. Beberapa banyak yang dapat diselesakan kepolisian, kemudian diajukan oleh kejaksaan ke pengadilan dn dalam pemeriksaan di pengadilan dinyatakan bersalah dan dihukum. Sebenarnya apa yang diketahui dan diselesakan melalui sistem peradilan pidana hanya puncaknya saja dari suatu gunung es. Masih banyak yang tidak terlihat, tidak dilaporkan (mungkin pula tidak diketahui, misalnya dalam hal “kejahatan dimana korbanya tidak dapat ditentukan”atau “crimes without victims”) dan karena itu tidak dapat di selesaikan. Keadaan seperti ini tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya kepada sistem peradilan pidana. Karena tugas sistem ini adalah terutama menyelesekan kasus-kasus yang sampai padanya. <br />
Secara sosiologis, setiap aparat penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan (sosial) merupakan posisi tertentu di daloam struktur kemasyarakatan. Kedudukan tersebut merupakan peranan atau role, oleh karena itu seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya mempunyai peranan. Suatu hak merupakan wewenang untuk berbuat dan tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. Suatu peranan tertentu dapat di jabarkan dalam unsur- unsur sebagai berikut : (1) peranan yang ideal / ideal role ; (2) peranan yang seharusnya / expected role; (3) peranan yang dianggap oleh diri sendiri / perceived role; dan (4) perana yang sebenarnya dilakukan / actual role. <br />
Penegak hukum dalam menjalankan perannya tidak dapat berbuat sesuka hati mereka juga harus memperhatikan etika yang berlaku dalam lingkup profesinya, etika memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral. Dalam profesi penegak hukum sendiri mereka telah memiliki kode etik yang diatur tersendiri, tapi dalam prakteknya kode etik yang telah ditetapkan dan di sepakati itu masih banyak di langgar oleh para penegak hukum. Akibat perbuatan-perbuatan para penegak hukum yang tidak memiliki integritas bahkan dapat dikatakan tidak beretika dalam menjalankan profesinya, sehingga mengakibatkan lambatnya pembangunan hukum yang diharapkan oleh bangsa ini, bahkan menimbulkan pikiran-pikiran negative dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap kinerja penegak hukum.<br />
Aturan para aparat dan aparatur penegak hukum dijabarkan sebagai berikut :<br />
1. Kepolisian, kekuasaan polisi/polri adalah merupakan sebagai perwujudan istilah yang mengambarkan penjelmaan tugas, status, organisasi,wewenang dan tanggung jawab polisi. Secara umum kedudukan, fungsi dan tugas kepolisian diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI.<br />
2. Kejaksaan, secara umum kedudukan, fungsi dan tugas kepolisian diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI<br />
3. Kehakiman, Secara umum kedudukan, fungsi dan tugas kepolisian diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.<br />
4. Lembaga Permasyarakatan, Secara umum kedudukan, fungsi dan tugas kepolisian diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2005 tentang Permasyarakatan.<br />
Ada tiga elemen penting yang mempengaruhi mekanisme bekerjanya aparat dan aparatur penegak hukum, menurut Jimmly Asshidiqie elemen tersebut antara lain : (1) istitusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; (2) budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya; dan (3) perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaanya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materilnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistematik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan secara internal dapat diwujudkan secara nyata. <br />
Dalam pelaksanaannya penegakan hukum oleh penegak hukum di atas dijumpai beberapa halangan yang disebabkan oleh penegak hukum itu sendiri, halagan-halangan tersebut antara lain : <br />
1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia beriteraksi.<br />
2. Tingkat aspirasi yang relative belum tinggi.<br />
3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi.<br />
4. Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan materiel.<br />
5. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.<br />
Menurut Soerjono Soekanto hambatan maupun halangan penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum tersebut dapat diatasi dengan cara mendidik, membiasakan diri untuk mempunyai sikap-sikap antara lain : sikap terbuka, senantiasa siap menerima perubahan, peka terhadap masalah yang terjadi, senantiasa mempunyai informasi yang lengkap, oreentasi ke masa kini dan masa depa, menyadari potensi yang dapat di kembangkan, berpegang pada suatu perencanaan, percaya pada kemampuan iptek, menyadari dan menghormati hak dan kewajiban, berpegang teguh pada keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan perhitungan yang mantab. <br />
<br />
C. Faktor Sarana atau Fasilitas<br />
Fasilitas pendukung secara sederhana dapat dirumuskan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Ruang lingkupnya terutama adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Fasilitas pendukung mencangkup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan sebagainya.<br />
Jika fasilitas pendukung tidak terpenuhi maka mustahil penegakan hukum akan nencapai tujuannya. Kepastian dan kecepatan penyelesaian perkara tergantung pada fasilitas pendukung yang ada dalam bidang-bidang pencegahan dan pemberantasan kejahatan.<br />
Peningkatan tehnologi deteksi kriminalitas, mempunyai peranan yang sangat penting bagi kepastian dan penanganan perkara-perkara pidana, sehingga tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual, maka untuk sarana atau fasilitas tersebut sebaiknya dilakukan dengan cara sebagai berikut : <br />
1. Yang tidak ada maka diadakan yang baru betul; <br />
2. yang rusak atau salah maka diperbaiki atau di betulkan; <br />
3. yang kurang seharusnya di tambah;<br />
4. yang macet harus di lancarkan;<br />
5. yang mundur atau merosot harus di majukan atau di tingkatkan. <br />
Faktor ketiga yaitu faktor sarana atau fasilitas yang membantu penegakan hukum, menurut Soerjono Soekanto sendiri menyatakan bahwa tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar tanpa adanya sarana atau fasilitas yang memadai. Fasilitas atau sarana yang memadai tersebut, antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal itu tidak terpenuhi maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya. Kita bisa bayangkan bagaimana penegakan peraturan akan berjalan sementara aparat penegaknya memiliki pendidikan yang tidak memadai, memiliki tata kelola organisasi yang buruk, di tambah dengan keuangan yang minim. Akan tetapi hal itu bukanlah segala-galanya kalau aparatnya sendiri masih buruk, karena sebaik apapun sarana atau fasilitas yang membantu penegakkan hukum tanpa adanya aparat penegak hukum yang baik hal itu hanya akan terasa sia-sia. Hal itu dapat kita lihat misalnya pada insatasi kepolisian, di mana saat ini hampir bisa dikatakan dalam hal fasilitas pihak kepolisian sudah dapat dikatakan mapan, tapi berdasarkan survey yang dilakukan oleh Lembaga Transparency International Indonesia menyatakan bahwa instasi terkorup saat ini ada di tubuh kepolisian dengan indeks suap sebesar 48 %, bentuk korupsi yang terjadi di tubuh kepolisian, itu contohnya saja seperti korupsi kecil-kecilan oleh Polisi Lantas yang mungkin sering dialami oleh pengendara, sampai ke tingkat yang lebih tinggi semisal tersangka kasus korupsi Susno. Begitu juga Dalam ligkup pengadilan dan kejaksaan pun tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di institusi kepolisian.<br />
<br />
D. Faktor Masyarakat <br />
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian didalam masyarakat. Masyarakat mempunyai pendapat-pendapat tertentu mengenai hukum. Masyarakat Indonesia mempunyai pendapat mengenai hukum sangat berfareasi antara lain : <br />
1. Hukum diartikan sebagai ilmu pengetahuan;<br />
2. hukum diartikan sebagai disiplin, yakni sistem ajaran tentang kenyataan;<br />
3. hukum diartikan sebagai norma atau kaidah, yakni patokan perilaku pantas yang diharapkan;<br />
4. hukum diartikan sebagai tata hukum (yakni hukum positif tertulis) ;<br />
5. hukum diartikan sebagai petugas atau pejabat;<br />
6. hukum diartikan sebagai keputusan pejabat atau penguasa;<br />
7. hukum diartikan sebagai proses pemerintahan;<br />
8. hukum diartikan sebagai perilaku teratur dan unik;<br />
9. hukum diartikan sebagai jalinan nilai;<br />
10. hukum diartikan sebagai seni.<br />
Berbagai pengertian tersebut di atas timbul karena masyarakat hidup dalam konteks yang berbeda, sehingga yang seharusnya dikedepankan adalah keserasiannya, hal inin brttujuan supaya ada titik tolak yang sama. Masyarakat juga mempunyai kecenderungan yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan mengindentifikasi dengan petugas (dalam hal ini adalah penegak hukum adalah sebagai pribadi). <br />
Salah satu akibatnya adalah bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola perilaku penegak hukum itu sendiri yang merupakan pendapatnya sebagai cermina dari hukum sebagai struktur dan proses. Keadaan tersebut juga dapat memberikan pengaruh baik, yakni bahwapenegak hukum akan merasa bahwa perilakunya senantiasa mendapat perhatian dari masyarakat. <br />
Permasalahan lain yang timbul sebagai akibat anggapan masyarakat adalah megenai penerapan undang-undangan yang ada / berlaku. Jika penegak hukum menyadari dirinya dianggap hukum oleh masyarakat, maka kemungkinan penafsiran mengenai pengertian perundang-undangan bisa terlalu luas atau bahkan tewrlalu sempit. Selain itu mungkin timbul kebiasaan untuk kurang menelaaah bahwa perundang-undangan kadangkala tertinggal dengan perkembagan di dalam masyarakat. Anggapan-anggapan masyarakat tersebut harus mengalami perubahan dalam kadar tertentu. Perubahan tersebut dapat dilakukan memlalui penerangan atau penyuluhan hukum yang bersinambungan dan senan tiasa diefaluasi hasil-hasinya, untuk kemudian dkembangkan lagi. Kegiatan-kegiatan tersebut nantinya kan dapat menempatkan hukum pada kedudukan dan peranan yang semestinya. <br />
<br />
<br />
E. Faktor Kebudayaan<br />
Faktor kebudayaan sebernarnya bersatu padu dengan faktor masyarakat sengaja dibedakan, karena didalam pembahasannya diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non material. Hal ini dibedakan sebab menurut Lawrence M. Friedman yang dikutip Soerdjono Soekamto , bahwa sebagai suatu sistem (atau subsistem dari sistem kemasyarakatan), maka hukum menyangkup, struktur, subtansi dan kebudayaan. Struktur menyangkup wadah atau bentuk dari sistem tersebut yang, umpamanya, menyangkup tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hukum antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajibanya, dan seterusnya. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencangkup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yangmerupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (hingga dianuti) dan apa yang diangap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan estrim yang harus diserasikan.<br />
Pasangan nilai yang berperan dalam hukum menurut Soerdjono Soekamto adalah sebagai berikut : <br />
1. Nilai ketertiban dan nilai ketenteraman.<br />
2. Nilai jasmaniah/kebendaan dan nilai rohaniah/keakhlakan.<br />
3. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.<br />
Dengan adanya keserasian nilai dengan kebudayaan masyarakat setempat diharapkan terjalin hubungan timbal balik antara hukum adap dan hukum positif di Indonesia, dengan demikian ketentuan dalam pasal-pasal hukum tertulis dapat mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum adat supaya hukum perundang-undangan tersebut dapat berlaku secara efektif. Kemudian diharapkan juga adanya keserasian antar kedua nilai tersebut akan menempatkan hukum pada tempatnya.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
<br />
Asshidiqie, Jimmly. Penegakan Hukum, diakses dari www.solusihukum.com, pada tanggal 12 Desember 2010.<br />
Kelana, Momo. 1994. Hukum Kepolisian, PT. Grasindo, Jakarta .<br />
-------------------. 2010, Disampaikan dalam Perkuliahan Mahasiswa KIK UI Angkt. XIV tahun 2010, tidak diterbitkan.<br />
Moeljatno. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana,Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.<br />
Reksodiputro, Mardjono. 2007. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, Jakarta.<br />
Soekamto, Soerjono. 2005. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta.BambangYugoPamungkashttp://www.blogger.com/profile/09022892672850503888noreply@blogger.com8tag:blogger.com,1999:blog-4874402845859500574.post-16856232309231648802011-01-06T11:35:00.000-08:002011-01-06T11:35:17.510-08:00STUDI KOMPREHENSIF HUKUM ACARA PIDANA AMERIKA DAN INDONESIAPenegakan hukum yang ideal harus bisa memenuhi tiga nilai dasar dari hukum yaitu nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Baik dalam tataran teoretis maupun praktis, ketiga nilai dasar tersebut tidak mudah untuk diwujudkan secara serasi. Pemenuhan nilai kepastian hukum, terkadang harus mengorbankan nilai keadilan dan kemanfaatan, demikian pula pemenuhan nilai keadilan dan kemanfaatan di satu sisi, pada sisi yang lain akan bisa berakibat pada dikorbankannya nilai kepastian hukum.<br />
Secara umum sistem peradilan pidana dapat diartikan sebagai suatu proses bekerjanya beberapa lembaga penegak hukum melalui sebuah mekanisme yang meliputi kegiatan bertahap yang dimulai dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pelaksanaan putusan hakim yang dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan. Proses tersebut bekerja secara berurutan artinya tahap yang satu tidak boleh melompati tahap lainnya. Keseluruhan proses itu bekerja di dalam suatu sistem, sehingga masing-masing lembaga itu merupakan subsistem yang saling berhubungan dan pengaruh mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Dalam sistem peradilan pidana tersebut bekerja komponen-komponen fungsi yang masing-masing harus berhubungan dan bekerja sama. Sebagaimana dikatakan oleh Alan Coffey berkaitan dengan hal ini yaitu bahwa :<br />
“Criminal justice can function systematically only to the degrees that each segment of the system takes into account all other segments. In order words, the system is no more systematic than the relationships between Police and prosecution, Police and Court Prosecution and Corrections, Corrections and law, and so forth. In the absence of functional relationships between segments, the criminal justice system is vulnerable to fragmentation and ineffectiveness” (M. Faal, 1991 : 25 ). <br />
Dengan demikian diperlukan suatu sistem peradilan yang berkaitan dengan acara peradilan yang tepat dalam rangka penegakkan hukum ditengah-tengah masyarakat. <br />
A. Model Hukum Acara Pidana di Amerika <br />
Dalam literatur dikenal beberapa model peradilan pidana. Menurut Herbert L. Packer di Amerika Serikat berkembang beberapa model dalam rangka penyelenggaraan peradilan pidana. Perlu dijelaskan di sini bahwa penggunaan model di sini bukanlah sesuatu hal yang nampak secara nyata dalam suatu sistem yang dianut oleh suatu negara, akan tetapi merupakan suatu sistem nilai yang dibangun atas dasar pengamatan terhadap praktek peradilan pidana di berbagai negara. Berdasarkan pengamatannya dikatakan bahwa dalam penyelenggaraan peradilan pidana di Amerika Serikat dikenal dua model dalam proses pemeriksaan perkara pidana ( two models of the criminal process ) yaitu Due Process Model dan Crime Control Model. <br />
Kedua model di atas, dilandasi oleh Adversary Model (Model perlawanan ) yang memiliki ciri-ciri :<br />
1. Prosedur peradilan harus merupakan suatu disputes atau combating proceeding antara terdakwa dan penuntut umum dalam kedudukan yang sama di muka pengadilan;<br />
2. b.Judge as umpire dengan konsekuensi bahwa hakim tidak ikut ambil bagian dalam “pertempuran” ( fight ) dalam proses pemeriksaan di pengadilan. Ia hanya berfungsi sebagai wasit yang menjaga agar permainan tidak dilanggar, baik oleh terdakwa maupun oleh penuntut umum;<br />
3. Tujuan utama prosedur peradilan pidana adalah menyelesaikan sengketa yang timbul disebabkan terjadinya kejahatan;<br />
4. Para pihak atau kontestan memiliki fungsi yang otonom dan jelas. Peranan penuntut umum adalah melakukan penuntutan, peranan terdakwa adalah menolak atau menyanggah dakwaan. Penuntut umum bertujuan menetapkan fakta mana saja yang akan dibuktikannya disertai bukti yang menunjang fakta tersebut. Terdakwa bertugas menentukan fakta-fakta mana saja yang akan diajukan di persidangan yang akan dapat menguntungkan kedudukannya dengan menyampaikan bukti-bukti lain sebagai penunjang fakta tersebut.<br />
Pada Crime Control Model didasarkan pada anggapan bahwa penyelenggaraan peradilan pidana adalah semata-mata untuk menindas perilaku kriminal ( criminal conduct ), dan ini merupakan tujuan utama proses peradilan, karena yang diutamakan adalah ketertiban umum ( public order ) dan efisiensi (Ansorie Sabuan dkk, 1990 : 6 ). Proses kriminal pada dasarnya merupakan suatu perjuangan atau bahkan semacam perang antara dua kepentingan yang tidak dapat dipertemukan kembali yaitu kepentingan negara dan kepentingan individu (terdakwa ). Di sini berlakulah apa yang disebut sebagai “presumption of guilt” (praduga bersalah) dan “sarana cepat” dalam pemberantasan kejahatan demi efisiensi. Dalam praktek model ini mengandung kelemahan yaitu seringnya terjadi pelanggaran hak asasi manusia demi efisiensi. Akibat seringnya terjadi pelanggaran hak asasi manusia maka munculah model yang kedua yang disebut Due Process Model. Di dalam Due Process Model ini muncul nilai-nilai baru yang sebelumnya kurang diperhatikan, yaitu konsep perlindungan hak-hak individual dan pembatasan kekuasaan dalam penyelengaraan peradilan pidana. Proses kriminal harus dapat dikendalikan untuk dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan sifat otoriter dalam rangka mencapai maksimum efisiensi. Di dalam model ini berlaku asas yang sangat penting yaitu asas praduga tidak bersalah ( presumption of innocent ).<br />
Kedua model yang diperkenalkan oleh Packer di atas, didasarkan pada pemikiran mengenai hubungan antara negara dan individu dalam proses kriminal yang menempatkan pelaku tindak pidana sebagai musuh masyarakat ( enemy of the society ), sedangkan tujuan utama dari pemidanaan adalah mengasingkan pelaku tindak pidana dari masyarakat ( exile function of punishment ). Menurut John Griffiths kedua model tersebut secara filosofis berlandaskan pada model peperangan ( Battle Model ) serta pertentangan antara negara dengan individu yang tidak dapat dipertemukan kembali ( irreconciliable disharmony of interest ) sehingga jika terjadi kejahatan, maka terhadap si pelaku harus segera diproses dengan menempatkannya sebagai obyek di dalam sistem peradilan pidana.<br />
Berdasarkan uarian diatas, menurut penulis bahwa crime control model maupun due process model, keduanya tetap berjalan diatas koridor hukum acara, karena keduanya hanyalah kecenderungan model yang ada dalam praktek. Dalam amandemen ke-lima (The Fifth Amendment) konstitusi Amerika, yang merupakan bagian dari Bill of Rights, dinyatakan:<br />
No person shall be held to answer for a capital, or otherwise infamous crime, unless on a presentment or indictment of a Grand Jury, except in cases arising in the land or naval forces, or in the Militia, when in actual service in time of War or public danger; nor shall any person be subject for the same offence to be twice put in jeopardy of life or limb; nor shall be compelled in any criminal case to be a witness against himself, nor be deprived of life, liberty, or property, without due process of law; nor shall private property be taken for public use, without just compensation.<br />
<br />
B. Perbandingan Model Hukum Acara Di Indonesia <br />
1. Pengaruh Crime Control Model dan Model Due Process Model<br />
Pada konsep awalnya perubahan hukum acara dari HIR menjadi KUHAP dilatarbelakangi oleh pemikiran tentang pentingnya perlindungan hak-hak terdakwa dalam proses peradilan pidana, karena tersangka cukup lama tidak memperoleh perlindungan hukum yang layak dan manusiawi. Konsekuensi logis dari perlindungan terhadap hak-hak tersangka atau terdakwa adalah adanya hukum acara yang ketat, sebagai jaminan tidak dilanggarnya hak tersangka maupun terdakwa.<br />
Maka, hukum acara pidana juga merupakan suatu undang-undang yang membatasi tindakan para penguasa dan atau penegak hukum. Perihal batasan ini, sama diakui baik dalam model crime control model maupun oleh model due process model, dimana terhadap kewenangan penguasa dalam melakukan penyidikan maupun kewenangan penanganan terhadap mereka yang dituduh melakukan tindak pidana, diberikan batasan-batasan tertentu. Hanya saja, batasan yang tampak dalam model crime control model relatif lebih longgar dibandingkan due process model.<br />
Dilihat dari segi asas yang dipakai, KUHAP mengikuti asas ‘praduga tak bersalah’ (presumption of innocent) – yang biasa dipakai dalam model due process model, bukan asas ‘praduga bersalah’ (presumption of guilty) – yang biasa dipakai dalam model crime control model. Hal ini tampak dalam Penjelasan KUHAP, Bagian I Umum ke-tiga, yang menyatakan: setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Selain menunjukkan asas apa yang dipakai oleh KUHAP, penjelasan tersebut juga mengisyaratkan bahwa putusan pengadilan (yang berkekuatan hukum tetap) adalah ‘inti’ dari proses peradilan, karena penentuan salah atau tidaknya terdakwa sangat tergantung padanya. Asas presumption of innocent adalah asas yang adanya adalah dalam model due process model, dan salah satu ciri khas dari due process model lainnya adalah pentingnya peran pengadilan sebagai tujuan akhir proses dan sebagai tempat untuk menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa. <br />
Sehingga, bila dilihat dari segi asas yang dipakai dan peran dari pengadilan dalam rangkaian proses peradilan, secara normatif KUHAP cenderung pada model due process model. Hal tersebut adalah bila dilihat dari hukum acara secara umum. <br />
<br />
2. Proses Peradilan Pidana dan Praperadilan<br />
Berikut ini adalah analisis dari tahap pemeriksaan pendahuluan sampai tahap persidangan di pengadilan pra adjudication. Salah satu hal terpenting yang perlu dicermati untuk menentukan prosedural atau tidaknya KUHAP adalah eksistensi dari lembaga pra-peradilan. Sebelum memasuki pengadilan biasa, KUHAP memungkinkan adanya suatu lembaga yang bernama pra-peradilan. Sedangkan di Amerika, sebelum masuk ke sidang di pengadilan biasa, ada tiga proses yang dilalui terlebih dahulu, yaitu Arraignment, Preliminary Heearing, dan Pre-Trial Conference.<br />
Sepanjang mengenai peran aktif hakim sebelum sidang, menurut Loebby Loqman, ketiga proses yang terdapat dalam hukum acara peradilan Amerika tersebut dapat disamakan dengan pra peradilan yang ada dalam hukum acara di Indonesia. Akan tetapi, bila melihat fungsinya, maka apa yang dilakukan hakim dalam proses Arraigenment, Preliminary Heearing, dan Pre-Trial Conference, jauh berbeda dengan fungsi hakim pra-peradilan di Indonesia.<br />
Arraignment adalah sidang di depan hakim atau wakilnya yang terjadi beberapa hari setelah seorang ditahan, dimana tuduhan terhadap tersangka dibacakan dan tersangka ditanyai sikapnya, apakah bersalah atau tidak. Barulah apabila tersangka menyatakan tidak bersalah, maka akan dilanjutkan ke depan sidang jury. Mulai saat araignment ini tanggung jawab pengawasan pelaksanaan proses pidana atas tersangka berada di tangan pengadilan.<br />
Preliminary hearing adalah proses dimana penyidik akan menghadap pengadilan untuk memperoleh penilaian hakim apakah telah terdapat alasan kuat (probable cause) untuk percaya bahwa tersangka tertentu merupakan pelaku dari suatu tindak pidana dan oleh karena itu telah mempunyai cukup alasan untuk dapat ditahan dan diadili. <br />
Sedangkan tahap pre trial conference, lebih ditujukan untuk perencanaan sidang pengadilan, terutama mengenai pembuktian dan hak-hak pihak yang berperkara untuk memperoleh pembuktian dari pihak lain.<br />
Sedangkan wewenang pra-peradilan untuk menguji keabsahan suatu penangkapan dan penahanan, menurut Loqman, dapat diperbandingkan dengan lembaga yang bernama Habeas Corpus. Habeas Corpus berasal dari bahasa Romawi yang berarti ‘menguasai diri sesorang’, dan dalam hukum Anglo Saxon, lembaga ini merupakan suatu lembaga kontrol terhadap terjadinya suatu penahanan. Bunyi dari perintah Habeas Corpus adalah: “Si tahanan berada dalam pemguasaan saudara. Saudara wajib membawa orang itu di depan pengadilan serta wajib menunjukkan alasan yang menyebabkan penahanannya.”<br />
Pra-peradilan dalam KUHAP diatur dalam Bab ke-X mengenai wewenang untuk mengadili, bagian kesatu yang memuat pasal-pasal tentang pra-peradilan, yakni dimulai dari pasal 77 sampai 83. Wewenang dari hakim pra-peradilan adalah: melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya suatu penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, dan memutuskan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Adanya lembaga pra-peradilan dalam KUHAP ini menunjukkan betapa proseduralnya hukum acara yang ada di dalamnya, sehingga perlu dibuatkan lembaga khusus yang akan menguji mengenai ditaati atau tidaknya prosedur. Dengan melihat kenyataan yang seperti ini, maka jelaslah bahwa dalam proses pra-adjudication, KUHAP sudah menampakkan kecenderungannya pada model due process model karena bersifat sangat prosedural dan menghendaki agar prosedur tersebut benar-benar ditaati.<br />
Keadaan yang demikian itu diperkuat dengan adanya monopoli kewenangan penyidikan pada polisi di satu pihak, dan kewenangan penuntutan pada JPU di pihak yang lain, yang pada prakteknya semakin membuat prosedur yang ditentukan KUHAP sangat tidak efisien. Dipisahkannya kewenangan penyidikan dan kewenangan penuntutan pada dua lembaga yang berbeda adalah untuk “checks and balances”, sehingga bila penyidik merasa keberatan dengan SP-3 dari JPU, maka dia bisa mem-praperadilan-kan JPU. Dengan adanya pemisahan kewenangan ini, maka efisiensi yang menjadi ciri khas dari model crime control model sama sekali tidak tampak dalam proses penyidikan sampai penuntutan. Karena, pada prakteknya seringkali terjadi bolak-balik berkas antara penyidik dan JPU, yang jumlahnya tidak pernah dibatasi oleh KUHAP. Hal ini tentu menjadi alasan yang bisa memperkuat statement bahwa pada tahap pemeriksaan pendahuluan/pra adjudication, cenderung pada model due process model.<br />
Apabila penyidik akan menangkap tersangka, maka harus dengan surat-surat resmi – tidak seperti yang terjadi dalam model crime control model. Pasal 18 ayat (1) KUHAP menentukan: pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.<br />
Pada tahap pemeriksaan di pengadilan, di Indonesia ada tiga model acara pemeriksaan, yaitu Acara Pemeriksaan Biasa (Pasal 152-202 KUHAP), Acara Pemeriksaan Singkat (Pasal 203-204 KUHAP), dan Acara Pemeriksaan Cepat (Pasal 205-216 KUHAP). Yang paling sering digunakan adalah Acara Pemeriksaan Biasa.<br />
Dalam acara pemeriksaan biasa, tahapan dari sidang pidana pertama kali akan dimulai dengan pembukaan sidang oleh majelis hakim yang kata-katanya sudah diatur sedemikian rupa, dimana apabila sampai terjadi pelanggaran, maka sidang dapat dianggap batal demi hukum. Sidang kemudian dilanjutkan dengan pembacaan dakwaan oleh JPU. Dakwaan tersebut biasanya akan dieksepsi oleh Penasehat Hukum terdakwa, dan untuk proses tersebut, biasanya hakim akan menunda sidang untuk waktu seminggu. Setelah mengajukan eksepsi, maka JPU diberi kesempatan untuk menanggapi eksepsi, dan untuknya juga diberi waktu dengan penundaan sidang. Setelah itu, kalau memang harus ada putusan sela, maka hakim akan meminta waktu untuk memberikan putusan sela, yang itu berarti terjadi penundaan sidang lagi.<br />
Bila memang diputuskan bahwa sidang bisa dilanjutkan, maka akan diteruskan dengan pemeriksaan saksi-saksi, yang mana ini belum tentu bisa selesai dalam waktu sekali sidang. Setelah pemeriksaan saksi dan terdakwa selesai, maka JPU akan mengajukan Requsitoir-nya. Requsitoir tersebut akan ditanggapi dengan Pleidooi dari Penasehat Hukum. Tahap berikutnya adalah replik duplik yang bisa terjadi sampai berkali-kali. Setelah semuanya selesai, barulah majelis hakim akan meminta waktu – biasanya satu atau dua minggu – untuk membuat putusan. Setelah dibacakannya putusan, terdakwa diberi kesempatan untuk banding, dimana kalau kesempatan ini tidak dimanfaatkan, maka dengan sendirinya putusan akan dianggap ‘inkracht van gewijsde zack’.<br />
Praktek dari proses persidangan yang sangat prosedural dan formalistis tersebut semuanya mendapat jaminan dari ketentuan mengenai ‘pemeriksaan di persidangan’ yang ada dalam KUHAP. Maka tidak heran, bila kemudian banyak advokat yang sengaja memanfaatkan setiap celah pada hukum acara untuk kepentingan klien. Mereka begitu sibuk bermain di wilayah hukum acara, karena merasa mendapat jaminan dari KUHAP. Penulisan nama yang salah sedikit saja bisa dijadikan masalah. Bahkan pernah ada putusan pengadilan yang pada akhirnya harus dinyatakan batal karena salah identitas terdakwa. Padahal, secara faktual terdakwa nyata-nyata hadir dan diperiksa dalam persidangan. Berdasarkan kenyataan ini, maka jelaslah bahwa dari segi praktek maupun normatifnya, tahap adjudication yang ada dalam hukum acara di Indonesia cenderung pada model due process model.<br />
Sebagai bukti akhir bahwa hukum acara di Indonesia sangat formalistis dan prosedural, Pasal 75 ayat (1) mengharuskan berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang:<br />
a. pemeriksaan tersangka, <br />
b. penangkapan,<br />
c. penahanan,<br />
d. penggeledahan,<br />
e. pemasukan rumah,<br />
f. penyitaan benda,<br />
g. pemeriksaan surat,<br />
h. pemeriksaan saksi,<br />
i. pemeriksaan di tempat kejadian,<br />
j. pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan,<br />
k. pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini.<br />
Pasal 21 ayat (2) menyatakan: penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau surat penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan.<br />
<br />
C. Kesimpulan dan Saran<br />
1. Kesimpulan <br />
Dengan melihat penjelasan diatas mengenai tahap pra-adjudikasi maupun adjudikasi, proses peradilan yang ada di Indonesia cenderung kepada model due process model. Ciri-ciri yang menjadi dasar untuk mengatakan kecenderungan ini adalah <br />
a. Terdapat asas “presumption of innocent”, tersangka atau terdakwa tidak boleh dianggap bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,<br />
b. adanya lembaga pra-peradilan sebagai penguji ditaati atau tidaknya prosedur acara yang ada, sehingga menunjukkan betapa pentingnya formalitas,<br />
c. inti dari proses peradilan ada pada pengadilan yang menjadi tempat utama penentuan salah atau tidaknya terdakwa,<br />
d. mengesampingkan atau kurang mementingkan efisiensi, akan tetapi dipatuhinya prosedur yang telah ditentukan, hal ini terlihat dari berbelit-belitnya prosedur yang ada, karena semua proses harus ada berita acaranya.<br />
<br />
2. Saran <br />
a. Dengan melihat kecenderungan Indonesia pada due process model yang memiliki banyak kekurangan terutama prosedur yang berbelit-belit, maka perlu dipikirkan mengenai acara pidana di Indonesia juga menitikberatkan pada crime control model. Sehingga hukum acara yang ada (dalam hal ini adalah KUHAP) dalam tataran normatifnya memberikan prosedur beracara yang lebih menitikberatkan pada efisiensi dalam segala bidang antara lain waktu, material (pembiayaan peradilan) dan lain sebagainya.<br />
b. Alasan penulis berpendapat sistem peradilan pidana Indonesia lebih menitikberatkan pada crime control model, karena pada dasarnya terlepas dari pendekatan baik dari crime control model maupun due process model untuk melihat sejauh mana KUHAP memperhatikan HAM, maka dengan telah dicantumkannya hak dari tersangka dan terdakwa, berarti kita telah memperhatikan dan menghormati harkat manusia yang dalam hal ini mempunyai sifat universal, seperti yang termuat dalam ‘The Universal Declaration of Human Rights’ serta ‘International Covenant on Civil and Political Rights’ beserta Opyional Protocolnya, yang terutama termuat dalam Pasal 9 serta Pasal 14 I.C.C.P.R tersebut.” Oleh karena itu, crime control model bukan berarti melanggar HAM, karena masih tetap pada Due Process of Law sebagaimana ditentukan oleh konstitusi.<br />
<br />
<br />
Jakarta, Desember 2010<br />
<br />
ttd<br />
<br />
Bambang Yugo PamungkasBambangYugoPamungkashttp://www.blogger.com/profile/09022892672850503888noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4874402845859500574.post-12390078654124982432010-12-12T08:53:00.000-08:002010-12-12T08:53:58.300-08:00KEJAHATAN KORPORASI (STUDI KAJIAN KASUS KECELAKAAN MASKAPAI ADAM AIR)<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/_RFnP1tkPZSc/TQT9wczfBDI/AAAAAAAAACM/rkTHPoXr8QQ/s1600/adamairPK-KKNedit.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="242" src="http://4.bp.blogspot.com/_RFnP1tkPZSc/TQT9wczfBDI/AAAAAAAAACM/rkTHPoXr8QQ/s320/adamairPK-KKNedit.jpg" width="320" /></a></div><br />
BAB I PENDAHULUAN <br />
<br />
1.1 Latar belakang<br />
Dalam kurun tiga tahun terakhir pada sektor penerbangan Indonesia telah mengalami beberapa kejadian kecelakaan baik yang mengakibatkan kerugian jiwa dan materiil yang berskala kecil sampai dengan skala besar. Salah satu contohnya adalah kejadian kecelakaan yang menimpa maskapai Adam air tanggal 1 januari 2007. Kecelakaan pada tanggal 7 januari 2007 oleh maskapai Adam Air dengan nomor penerbangan 574 dari Jakarta - Manado via Surabaya jatuh di Selat Makassar di kedalaman lebih dari 2.000 meter. Kecelakaan tersebut menelan korban 102 orang penumpang dan awak pesawat tewas, dengan jasad seluruh penumpang dan bangkai pesawat tetap terkubur di dasar laut.<br />
Berdasarkan hal tersebut diatas penulis akan mencoba mengkaji kasus kecelakaan pesawat udara oleh maskapai Adam Air. Sebelumnya penulis mencoba menggambarkan secara singkat kronologis kejadian tersebut.<br />
Kronologis singkat.<br />
Kronologis jatuhnya pesawat terbang Adam Air Penerbangan 574 rute Jakarta-Surabaya-Manado, pada 1 Januari 2007, yang menewaskan 96 penumpang dan 6 awak pesawat. Pesawat lepas landas pada pukul 12.55 WIB dari Bandara Juanda (SUB), Surabaya, Indonesia pada tanggal 1 Januari 2007. Seharusnya pesawat tiba di Bandara Sam Ratulangi (MDC), Manado pukul 16.14 WITA. Pesawat kemudian dilaporkan putus kontak dengan Pengatur lalu-lintas udara (ATC) Bandara Hasanuddin Makasar setelah kontak terakhir pada 14:53 WITA. Pada saat putus kontak, posisi pesawat berada pada jarak 85 mil laut barat laut Kota Makassar pada ketinggian 35.000 kaki. Pada 25 Maret 2008, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengumumkan bahwa pilot terlibat dan menghadapi problem navigasi yakni sistem panduan navigasi yang bermula dari kerusakan Inertial Reference System (IRS). Kerusakan IRS terjadi 13 menit sebelum kecelakaan. Ketika di ketinggian 35.000 kaki dan kru memutuskan IRS Mode selector unit No-2 (kanan) ke posisi mode ATT (attitude), auto pilot jadi mati. Akibatnya pesawat secara perlahan berbelok (roll) ke kanan hingga terdengar peringatan sistim arah pesawat (bank angle) karena miring ke kanan hingga melewati 35 derajat. Menurut Dirjen Perhubungan Udara, Departemen Perhubungan, Budhi Muliawan Suyitno, situasi pesawat bergetar hebat sehingga struktur kendali pesawat rusak.<br />
Beberapa saat kemudian AdamAir telah memberikan ganti rugi kepada para korban jatuhnya pesawat AdamAir di perairan Majene,Sulawesi Barat, pada 1 Januari 2007. ganti rugi tersebut ada yang menerima Rp 825 juta dan adapula yang mendapat 400.000 dolar AS atau sekitar Rp 3,8 miliar (Harian Kompas, Rabu tanggal 2 April 2008).<br />
Dengan melihat kronologis diatas penulis akan mencoba mengkaji penanganan kasus kecelakaan Adam Air tanggal 1 Januari 2007 adanya unsur-unsur pidana selain permasalahan perdata yang sudah dilakukan melalui ganti rugi (sesuai kronologis diatas).<br />
<br />
1.2 Rumusan masalah <br />
Dengan melihat latar belakang yang meliputi kronologis diatas penulis merumuskan permasalahan, yaitu Apakah ada indikasi pidana dalam penanganan kasus kecelekaan Adam Air yang berkaitan dengan korporasi ¿<br />
<br />
1.3 Sistematika<br />
Sistematika yang digunakan penulis dalam menulis makalah, sebagai berikut :<br />
Bab I Pendahuluan<br />
Bab II Pembahasan <br />
Bab III Penutup<br />
<br />
<br />
BAB II PEMBAHASAN<br />
Sebelum melanjutkan Bab ini penulis mencoba mengkaji pengertian kejahatan korporasi. Istilah “korporasi” itu sendiri berasal bahasa Inggris disebut corporation, dalam bahasa Belanda disebut corporatic, dan dalam bahasa Jerman disebut korporation, secara etimologi berasal dari kata corporatio dalam bahasa latin. Dalam hal konteks korporasi apabila dilihat dari segi hukum menurut pendapat Koesparmono Irsan (2007; 38), bahwa korporasi mempunyai arti sempit dan arti yang luas. Menurut arti yang sempit, korporasi adalah badan hukum. Dalam arti luas, korporasi dapat badan hukum maupun bukan badan hukum. <br />
Dalam RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) 2004, memberikan pengertian korporasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 166, yaitu :<br />
Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan /atau kekayaan, baik merupakan badab hukum maupun bukan badan hukum.<br />
Definisi mengenai apa yang dimaksud dengan korporasi adalah sehubungan dengan ketentuan pasal sebelumnya, yaitu pasal 165, yang menentukan bahwa yang dimaksud dengan “setiap orang” adalah “termasuk korporasi” (Sutan Remy Sjahdeini, 2006 ; 326)<br />
Maka definisi dari “kejahatan korporasi” itu sendiri, Clinard dan Yeager (Koesparmono Irsan, 2007; 5) memberikan definisi corporate crime, sebagai berikut :<br />
A corporate crime is any act committed by corpo-ration that punished by the state, regards of wheather is pubished under administrative, civil,, or criminal law. This broadens the definision of crime beyond the criminal law, which is the only govermental action for ordinary offender.<br />
Sehingga makna dari kejahatan korporasi inilah sangat luas mencakupi seluruh jenis pidana yang dilakukan oleh korporasi itu sendiri. Kejahatan korporasi sebagai pelanggaran hukum yang dilakukan oleh corpotare executive atau para pelakunya tergolong kaya, dan kejahatan korporasi memberi indikasi adanya pembagian kekuasaan. Bentuk korporasi yang besar atau multi-national mengakibatkan dampak yang negatif pada sektor politik, sosial, ekonomi dan pertahanan keamanan (Koesparmono Irsan, 2007; 6-7)<br />
<br />
2.1 Landasan Yuridis Indikasi Unsur Pidana<br />
Atas kejadian yang menimpa maskapai Adam Air menimbulkan permasalahan khususnya dari korban penumpang dan awak pesawat. Pada dasarnya hak-hak pengguna jasa penerbangan dilindungi hak-haknya dalam sistem hukum udara internasional. Konvensi Warsawa 1929 mengatur pertanggungjawaban pengangkut (jasa penerbangan) terhadap pihak kedua (penumpang). Aturan ini sudah di transform ke dalam ordonansi pengangkutan udara Indonesia (Staatsblad 1939: 100, dan UU Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan yang diperbaharui UU Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan).<br />
Sebenarnya menurut penulis law enforcement belum dilakukan secara mutlak oleh para penegak hukum. Karena, aplikasi penerapan UU nomor 15 tahun 1992 tentang Penerbangan belum dijalankan secara maksimal (untuk penggunaan UU masih menggunakan UU nomor 15 tahun 1992 belum menggunakan UU nomor 1 tahun 2009, diasumsikan kejadian pada waktu itu tahun 2007 sehingga masih menggunakan UU nomor 15 tahun 1992). Dengan melihat asas kepastian hukum (Koesparmono Irsan, 2007; 119), maka pihak maskapai Adam Air sesuai prinsip absolute liability atau tanggung jawab (konvensi Warsawa 1929) harus juga menaati UU nomor 15 tahun 1992 terkait unsur-unsur pidananya. Dalam hal ini membuktikan secara ilmiah berdasarkan ketentuan keamanan dan keselamatan penerbangan terkait penyebabnya, pertama, terkait kondisi pesawat disebabkan kerusakan pada sistem navigasi yang disebabkan rusaknya Inertial Reference System (IRS), dan atau kedua, apakah benar terjadi human error sesuai pendapat Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) disebabkan pilot tidak menguasai Quick Reference Hand Book.<br />
Pertama, terkait kondisi pesawat disebabkan kerusakan pada sistem navigasi yang disebabkan rusaknya Inertial Reference System (IRS). Perlu pembuktian lebih mendalam terkait pasal 60 UU nomor 15 tahun 1992, sebagai berikut :<br />
Barangsiapa menerbangkan pesawat udara yang dapat membahayakan keselamatan pesawat udara, penumpang dan barang, dan/atau penduduk, atau mengganggu keamanan dan ketertiban umum atau merugikan harta benda milik orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).<br />
Pasal ini terkait dengan ketentuan pesawat udara diperbolehkan untuk dioperasionalkan setelah lolos pemeriksaan dan pengujian kelaikan udara, hal ini terkait pasal 19 ayat 1 UU nomor 15 tahun 1992, sebagai berikut : <br />
Setiap pesawat udara yang dipergunakan untuk terbang wajib memiliki sertifikat kelaikan udara. <br />
Unsur pidana mengenai kelaikan udara diatur dlm pasal 63 UU nomor 15 tahun 1992, sebagai berikut :<br />
Barangsiapa mengoperasikan pesawat udara yang tidak memiliki sertifikat kelaikan udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah). <br />
Dengan demikian maka dapat dibuktikan secara law enforcement mengenai kerusakan alat terkait navigasi merupakan kesengajaan atau kelalian, dan atau justru kondisi pesawat yang tidak layak beroperasi sesau standart kelaikan udara.<br />
Kedua, berkaitan dengan terjadi human error sesuai pendapat KNKT disebabkan pilot tidak menguasai Quick Reference Hand Book. Hal ini berkaitan dengan kemampuan seorang pilot itu sendiri sesuai dengan standart yang telah ditentukan dalam mengoperasionalkan pesawat jenis Boeing 737 seri 400. Hal tersebut dapat dibuktikan berdasarkan pasal 18 ayat 1 dan 2 UU nomor 15 tahun 1992, yaitu :<br />
(1) Setiap personil penerbangan wajib memiliki sertifikat kecakapan.<br />
(2) Sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan.<br />
Kemudian pasal yang dilanggar, yaitu sesuai ketentuan pasal 62 UU nomor 15 tahun 1992 :<br />
Barangsiapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah).<br />
Maka dengan pembuktian diatas maka dapat diketahui bagaimana proses perekrutan pilot pada perusahaan maskapai Adam Air dan atau proses pada pendidikan dan pelatihan sudah sesuai prosedur standarisasi yang ditetapkan.<br />
Kemudian beberapa saat setelah kejadian, para ahli waris penumpang Adam Air melakukan gugatan kepada maskapai Adam Air di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Dan secara perdata dimenangkan oleh ahli waris penumpang, sehingga maskapai ini membayar semua kerugian yang timbul akibat jatuhnya pesawat Adam Air yang menewaskan seluruh penumpangnnya. Namun pada pelaksanaan penggantian kerugian justru menimbulkan beberapa permasalahan baru, pasalnya penggantian bervariasi antara ada yang menerima Rp 825 juta dan adapula yang mendapat 400.000 dolar AS atau sekitar Rp 3,8 miliar. Yang menerima Rp 825 juta yang mengurus di Jakarta, namun yang menerima 400.000 dolar AS atau sekitar Rp 3,8 miliar mereka langsung mengurus sendiri ke ke Kanada (Harian Kompas, Rabu tanggal 2 April 2008). Berkaitan hal tersebut menurut penulis tidak sesuai dengan azas keseimbangan, di mana tidak terwujudnya kesempatan kepada para ahli waris (selaku konsumen) dan pihak maskapai Adam Air (selaku pelaku usaha) untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil (Koesparmono Irsan, 2007; 118). Dan hal ini juga bertentangan dengan prinsip pasal 28H dan 28I UUD 1945, bahwa setiap orang mendapatkan kesempatan dan perlakuan yang sama, dengan demikian seharusnya para ahli waris mendapat perlakuan yang sama ganti rugi. Sehingga diperlukan penyelidikan maupun pendalaman oleh penegak hukum mengenai aliran dana tersebut, untuk mengetahui adanya unsur-unsur pidana penggelapan atau unsur perdata lainnya oleh pihak Adam air dan atau pihak perusahaan asuransi yang terkait dengan maskapai Adam Air.<br />
<br />
2.2 Pertanggungjawaban Pihak Korporasi<br />
Maskapai Adam Air merupakan suatu bentuk perusahaan jadi merupakan korporasi. Berkaitan dengan pembebanan pertanggung jawaban pidana kepada korporasi, menurut Prof. Mardjono Reksodiputro (1989;9) terdapat tiga sistem, sebagai berikut :<br />
a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab;<br />
b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab;<br />
c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertangggung jawab.<br />
Korporasi mempunyai anggota-anggota sebagai pendiri dan pengurus, tetapi para pendiri pengurus tersebut terpisah-pisah. Manakala korporasi melakukan tindak pidana, maka sebenarnya yang bertanggung jawab hanya mengikat korporasinya, bukan pengurus dan pendirinya / pemegang saham (Koesparmono Irsan, 2007;40).<br />
Dengan demikian pertanggung jawaban atas law enforcement yang terkait unsur-unsur pidana pada kejadian maskapai Adam Air tersebut adalah para korporasi maupun pengurus bagian yang berkompentensi atas terjadinya kecelakaan tersebut saja. Aplikasi hubungan antara pasal yang dilanggar dan siapa yang bertanggung jawab, dijelaskan sebagai berikut :<br />
2.2.1 Terkait dengan kondisi pesawat sebelum lepas landas. Sesuai pasal 16 jo pasal 60 UU nomor 15 tahun 1992, bahwa yang bertanggung jawab adalah bagian operasional lapangan pesawat sebelum lepas landas di Bandara yang melakukan pengecekan terakhir mengenai kondisi pesawat. Di mana tim yang menyatakan kepada pilot bahwa pesawat kondisi siap (plane on fit condition and ready) untuk diberangkatkan, karena ini memang murni kelalian atau sengaja membiarkan kerusakan pada navigasi khususnya IRS untuk tetap melanjutkan penerbangan. Dan apabila terjadi kesalahan ini merupakan tindak pidana yang tergolong kejahatan. <br />
2.2.2 Terkait kelaikan pesawat udara, sesuai pasal 19 (1) jo pasal 63 UU nomor 15 tahun 1992 tentang penerbangan, maka seharusnya yang bertanggung jawab adalah pihak dishub udara yang mengeluarkan sertifikat kelaikan udara, dan maskapai Adam Air bagian operasinal pesawat apabila belum memiliki sertifikat kelaikan udara. Apabila terbukti ada tindak pidana ini, maka merupakan pelanggaran.<br />
2.2.3 Terkait dengan human error seperti apa yang disampaikan KNKT pada hasil investigasi, di mana pilot tidak menguasai Quick Reference Hand Book karena terindikasi hanya membaca judulnya saja tanpa melakukan prosedur tertuang. Hal ini terkait dengan SDM yang direkrut oleh maskapai Adam Air dan pola pendidikan dan pelatihan yang belum memenuhi standart yang ditentukan pemerintah. Sesuai pasal 18 (1) jo pasal 62 UU nomor 15 tahun 1992 tentang penerbangan, maka yang seharusnya bertanggung jawab adalah bagian personalia sub bidang perekrutan pilot, sebab tidak melakukan penyaringan dengan cukup baik dan sesuai standart, sehingga diketahui apakah merupakan kelalian atau justru terjadi kolusi pada saat rekrutmen, dan apabila terbukti maka tindak pidana ini tergolong dalam pelanggaran. Kemudian sesuai pasal 18 (2) UU nomor 15 tahun 1992 tentang penerbangan, bahwa dengan melihat tindakan pilot dan co-pilot tidak menguasai Quick Reference Hand Book boing 737 seri 400 maka perlu di tanyakan kualitas dari pendidikan dan pelatihan pilot berasal, apakah sudah memenuhi standart pendidikan dan pelatihan pilot sesuai dengan peraturan pemerintah yang diatur dalam pasal 18 (3).<br />
2.2.4 Kemudian untuk bagian ini terkait distribusi ganti rugi kepada ahli waris yang bervariasi antara Rp 825 juta dan 400.000 dolar AS atau sekitar Rp 3,8 miliar. Maka seharusnya yang bertanggung jawab adalah pihak yang menyalurkan dana ganti rugi dari maskapai Adam Air, dan atau pihak assuransi yang memberi santunan kepada ahli waris yang tidak proposiaonal, apabila terbukti maka keduanya merupakan tindak pidana kejahatan.<br />
<br />
BAB III PENUTUP<br />
Bahwa penangan kasus kecelakaan maskapai Adam air di Mejene, belum dilakukan law enforcement berdasarkan asas keadilan dan kepastian hukum. Sebab aplikasi dalam penerapan UU nomor 15 tahun 1992 tentang penerbangan saat itu (sekarang diperbaharui UU nomor 1 tahun 2009) yang hanya berorientasi pada permasalahan perdata yaitu ganti rugi, sebenarnya apabila dikaji terdapat unsur-unsur pidana terkait korporasi yang dapat membuktikan kebenaran secara ilmiah guna mengetahui faktor-faktor terjadinya kecelakaan lebih tepat.<br />
Dengan diterapkannya law enforcement yang mutlak, diharapkan kejadian ini dapat menjadi antisipasi dari kejahatan korporasi yang dilakukan oleh perusahaan maskapai lainnya dan atau pemerintah dalam hal ini dishub udara untuk lebih profesional dalam kinerja pengawasan, pengontrolan, dan pengendalian terhadap maskapai udara lainnya.<br />
<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
<br />
Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan. 2004. Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia No….Tahun….tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. <br />
Direktorat Jendral Perhubungan Udara. 1992. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. <br />
-------2009. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. <br />
Irsan, Koesparmono. 2007. Kejahatan Korporasi dan Korupsi, Universitas Pembangunan Veteran, Jakarta.<br />
Reksodiputro, B. Mardjono. 1989. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Korporasi, Semarang.<br />
Sjahdeini, Sutan Remy. Ajaran Pertanggungjawaban Pidana Korporasi didalam Kapita Selekta Penegakan Hukum di Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta.BambangYugoPamungkashttp://www.blogger.com/profile/09022892672850503888noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4874402845859500574.post-59979270573045445382010-11-28T04:57:00.000-08:002010-11-28T04:57:11.913-08:00KAJIAN ILMU KEPOLISIAN DAN PEMBAHARUAN PENDIDIKAN TINGGI ILMU KEPOLISIANA. Latar Belakang.<br />
Kepolisian, seperti juga kemiliteran, terdapat di setiap negara, baik negara modern, seperti Inggris, Amerika Serikat ataupun Jepang, manapun negara kuno seperti kerajaan Roma, Cina dan Majapait, meskipun dalam bentuk yang berbeda-beda dan dengan nama yang belum tentu sama. Sedangkan tugas dan fungsi kepolisian pada awalnya adalah merupakan seni (craft), akan tetapi, dalam perkembangan suatu masyarakat menjadi masyarakat yang modern, bertambah banyak jenis-jenis pekerjaan yang semula dianggap seni berubah menjadi profesi . <br />
Sama seperti halnya kepolisian di Indonesia, apabila kita melihat sejarah kepolisian Indonesia yang mempunyai sendiri baik berupa bentuk, fungsi, tugas maupun kedudukan kepolisian yang berubah paradigma kepolisian sesuai tuntutan masyarakat pada jaman itu. Pada akhirnya dengan adanya globalisasi dan reformasi tahun 1998, maka tuntutan masyarakat atas kinerja profesi kepolisian di Indonesia diharapkan lebih profesional. Hal tersebut tersirat pada Ketetapan (Tap) MPR Nomor VI/MPR/ 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri serta Tap MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Dengan harapan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia dahulu mempunyai paradigma yang berfungsi sebagai alat kekuasaan, beralih kepada paradigma baru yang fungsinya sebagai pelindung, pengayom, pelayan dan penegak hukum, hal tersebut sesuai dengan UU No. 2 tahun 2002 pasal 13.<br />
Arah perubahan Polri sangat terlihat pada dua tahun terakhir ini (antara tahun 2004 dan 2006) telah terjadi perubahan paradigma (kerangka berfikir) kepolisian (sebagai organisasi) yang signifikan. Proses perubahan tersebut bertujuan merubah profesi kepolisian yang lebih profesional. Makna polisi yang profesional yang dimaksud , adalah anggota yang mempunyai kemahiran (skill) dan pengetahuan (knowledge) secara khusus yang diperoleh melalui persiapan akademik ilmu pengetahuan tertentu (ilmu kepolisian), dapat diartikan bahwa profesional mengandung makna keterkaitan pada suatu profesi akademik (learned profession). <br />
Untuk membentuk sumber daya manusia yang profesional merupakan salah satu faktor penting, hal tersebut hanya dapat dibentuk melalui seleksi rekrutmen dan pendidikan kepolisian yang benar. Sehingga diharapkan polisi yang profesional nantinya dapat menguasai pengetahuan keahlian terkait pada cabang ilmu yang bersangkutan, dan mempunyai kemampuan menganalisis dan mengatasi masalah-masalah sosial, meliputi ketertiban dan keamanan umum dalam masyarakat yang mengalami perubahan secara cepat, maka diperlukanlah suatu wadah perguruan tinggi yang dapat menampungnya (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian atau PTIK). <br />
<br />
<br />
B. Kajian Ilmu Kepolisian <br />
Istilah ilmu kepolisian di Indonesia merupakan suatu satu cabang ilmu pengetahuan yang baru. Ilmu kepolisian atau police science dapat juga dinamakan kajian ilmu kepolisian atau police studies. Kalau dinamakan kajian ilmu kepolisian, maka yang dimaksudkan kegiatan-kegiatan ilmiah ilmu kepolisian. Di mana dalam ilmu kepolisian terdapat dua satuan permasalahan yang berdiri sendiri tetapi saling berkaitan dan mempengaruhi; yaitu, (1) masalah sosial dan penanganannya. <br />
Sehingga ilmu kepolisian dapat didefinisikan, yaitu sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah-masalah sosial dan isu-isu penting serta pengelolaan keteraturan sosialdan moral dan masyarakat, mempelajari upaya-upayapenegakkan hukum dan keadilan, dan memepelajari tehnik-tehnik penyidikan dan penyelidikan berbagai tindak kejahatan serta cara-cara pencegahannya. <br />
Berkembangannya ilmu kepolisian di Indonesia yang positif membuahkan perdebatan pendapat, menurut Prof. Harsja W. Bachtiar bahwa ilmu kepolisian di Indonesia merupakan kajian dengan pendekatan multi bidang (multidisplinary). Yang dimaksud multidisciplinary di sini adalah mencoba untuk memahami suatu masalah untuk dapat diselesaikan guna mendapatkan solusi atas masalah tersebut sehingga dibutuhkan beberapa ilmu pengetahuan untuk menyelesaikannya. <br />
Sedangkan menurut Prof. Parsudi Suparlan bahwa perkembangan ilmu kepolisian di Indonesia merupakan kajian dengan pendekatan antar bidang (interdisplinary). Dikatakan interdisciplinary apabila suatu masalah sudah ada dalam bingkai penyelesaiannya, dalam artian macam metode ataupun teori sudah menjadi satu bingkai untuk memecahkan masalah tersebut.<br />
Dengan melihat perkembangan secara realita, menurut Prof Mardjono menjelaskan bahwa secara garis besar ilmu kepolisian awalnya memang multidisplinary tetapi perlahan-lahan sudah mulai menjadi interdisciplinary sesuai dengan harapan Prof. Parsudi Suparlan, walaupun Prof. Harsja W. Bachtiar masih menganggapnya sebagai multidisciplinary. <br />
Corak antar bidang (interdisiplinar) yang didisain tersebut harus terfokus pada seperangkat pengetahuan yang nantinya akan dapat digunakan oleh lulusannya untuk digunakan sebagai acuan dalam penerapan tugas-tugas profesinya. Untuk itu, sebuah program pendidikan tinggi ilmu kepolisian yang ada di lembaga kepolisian sudah seharusnya mendisain sebuah kurikulum yang coraknya antar bidang (interdisiplinary), hal tersebut sama seperti yang diterapkan di KIK UI saat ini. Di mana kurikulum yang terdiri atas sejumlah mata pelajaran atau mata kuliah antara satu sama lain saling berkaitan dan saling berhubungan, namun tetap dalam satu bingkai yang bulat, dan isi dari ilmu pengetahuan tersebut berupa suatu kerangka teori yang meliputi metode dalam menganalisa serta memahami suatu permasalahan untuk penerapannya yang cocok dengan situasi serta kondisi lingkungan setempat. <br />
Kurikulum ilmu kepolisian sendiri pertama kali didisain oleh Prof. Djokosoetono di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian tahun 1950, di mana beliau mempunyai keinginan dan cita-cita agar pendidikan perwira kepolisian mencakup pula pemahaman tentang masyarakat indonesia. Dalam rangka mendukung kurikulum ilmu kepolisian pertama tersebut Prof Djokosoetono menambahkan beberapa referensi ilmu pengetahuan lainnya pada saat itu, antara lain pemahaman tentang hukum adat oleh Prof. Hazairin, pemahaman tentang hukum Islam oleh Prof. Tjan Tjoe Siem, dan pemahaman tentang kebudayaan dan bahasa Indonesia oleh Prijono. Dan Prof. Djokosoetono juga menganut bahwa ilmu kepolisian sebagai bagian dari ilmu-ilmu sosial (sociale wetenschappen), kemudian ilmu kepolisian tersebut lebih lanjut dikembangkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan pada akhirnya menjadi Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia. <br />
<br />
C. Tantangan Ilmu Kepolisian Masa Depan<br />
Sebelum membicarakan mengenai tantangan kedepan alangkah tepatnya penulis memberikan referensi terlebih dahulu tentang gambaran permasalahan secara umum yang dihadapi oleh Polri. Permasalahan-permasalahan tersebut terkait dengan kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan tugas Polri yang mecakup hal sebagai berikut :<br />
1. Pemberian pelayanan yang dikaitkan dengan imbalan uang;<br />
2. Prosedur penanganan pengaduan masyarakat yang berbelit-belit, dan penyidikan yang hanya di fokuskan pada kasus-kasus yang terang dan atau menarik;<br />
3. Sikap arogan dan otoritian, bahkan tindak kekerasan dan pelanggaran hak-hak asazi manusia;<br />
4. Backing dan intervensi ataan yang sering dikeluhkan oleh anggota dilapangan. <br />
Ke-empat poin diatas merupakan rangkuman atas perilaku-perilaku menyimpang profesi kepolisian yang tidak profesional sama sekali. Salah satu contoh kongkrit dari rangkuman ke-empat poin diatas, yaitu kasus yang akhir-akhir ini terjadi yaitu penanganan kasus Mantan Ketua KPK oleh Bareskrim Mabes Polri, di mana kita dapat melihat penanganan kasus yang kurang profesional dikarenakan adanya kepentingan oleh salah satu pihak. <br />
Apabila dilihat dari ke-empat rangkuman diatas dapat disimpulkan bahwa kesalahan-kesalahan dalam penanganan maupun perilaku-perilaku menyimpang profesi kepolisian lebih cenderung disebabkan karena faktor kesalahan manusia (human error). Yang menyebabkan terjadinya faktor kesalahan manusia (human error) disebabkan karena mutu dari sumber daya manusia itu sendiri yang rendah yang tidak profesional. Hal tersebut sudah tersirat dalam bab I.<br />
Dalam sistem demokrasi sekarang ini, seharusnya polri selaku aparat penegak hukum dan kamdagri memberikan perhatian serta perlindungan hukum terhadap 2 (dua) hal unsur mutlak yang dimiliki masyarakat dan diperhatikan, yaitu; pertama, asas kebebasan, yang meliputi kebebasan menyatakan pikiran dan pendapat, berkelompok dengan orang yang sepaham dan mengatur hidupnya sesuai keyakinan. Kedua, asas persamaan, yang mencakup persamaan di muka umum untuk semua warga negara. <br />
Adanya tuntutan kinerja polisi dalam esensi demokrasi, maka mau tidak mau polisi harus merubah peranan profesi kepolisian sesuai dengan harapan masyarakat. Harapan masyarakat tersebut berkaitan dengan fungsi kepolisian, menurut Prof. Mardjono Reksodiputro ada 2 (dua) fungsi kepolisian yang diharapkan, yaitu penegak hukum (law enforcement) dan penyelesaian masalah (conflict management). Khusus untuk fungsi yang kedua menurut Prof. Soedjipto Raharjo yaitu problem solving. Menurut penulis lebih tepat menggunakan kata conflicy management sesuai dengan Prof. Mardjono Reksodiputro karena berdasar atas 2 (dua) asas demokrasi yaitu asas kebebasan dan persamaan (seperti penjelasan paragraf di atas). <br />
Dengan demikian keberadaan polisi dalam masyarakat akan sangat mempengaruhi fungsi dalam struktur kehidupan. Namun tanpa disadari lingkungan kehidupan masyarakat dapat berubah dengan cepat, dikarenakan pengaruh dari sukubangsa di Indonesia yang sangat bermacam-macam dan mempunyai beraneka ragam budaya yang saling berinteraksi. Maka dikatakan masyarakat Indonesia sangat majemuk yang mempunyai peradaban kehidupan yang berbeda-beda. Dengan demikian secara langsung masyarakat Indonesia sangat menuntut fungsi kepolisian, yaitu penegak hukum (law enforcement) dan penyelesaian masalah (conflict management) dapat dijalankan secara profesional untuk masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat yang majemuk. Dengan harapan tidak akan terjadi gesekan atas perbedaan suku bangsa, budaya maupun norma-norma.<br />
Agar fungsi kepolisian sebagai penegak hukum (law enforcement) dan penyelesaian masalah (conflict management) dapat dilaksanakan secara profesional oleh polisi, maka diperlukan penekanan paradigma profesi kepolisian yang sipil. Perlunya penekanan pada paradigma polisi yang sipil, karena adanya ambivalensi masyarakat terhadap peran dan fungsi polisi, dalam hal ini polisi bisa memerankan sikap perannya polisi sebagai penegak hukum (law enforcement), maupun sikap perannya polisi sebagai tempat penyelesaian masalah (conflict management) yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk. <br />
Maka untuk menggambarkan abivalensi masyarakat terhadap peran dan fungsi polisi dengan merujuk dua muka (penampilan) polisi, yaitu “muka angker” dan “muka tersenyum”. <br />
Untuk fungsi pertama, profesi polisi yang ”muka angker” memang sangat diperlukan dalam menjalankan fungsi kepolisian sebagai penegak hukum (law enforcement). Karena polisi menegakkan hukum pidana dengan mencegah masyarakat sebagai korban kejahatandan kalaupun warga ada yang menjadi korban, polisi harus mengungkapkan korban tersebut dan menangkap pelakunya. Terutama terhadap kejahatan dengan kekerasan dan kejahatan serius (violent and serrious crimes) terdapat desakan masyarakat yang kuat agar polisi melakukan tugasnya dengan cepat. <br />
Kemudian fungsi kedua, profesi kepolisian yang “muka tersenyum” dalam rangka pemeliharaan keamanan dan ketertiban sesuai fungsi kepolisian sebagai penyelesaian masalah (conflict management). Sosok polisi ideal disini adalah seorang yang pandai (intelegen), mempunyai “akal sehat” (common sense), menunjukkan keramahan (friendliness), mau menghargai warga individu (courtesy) dan punya kesabaran (patience). Dengan polisi yang tersenyum siap membantu melayani warga masyarakat sebagai pengayom, perlindungan dan pelayanan untuk mewujudkan kehidupan dalam masyarakat yang aman dan tertib.<br />
<br />
C. Pembaharuan Pendidikan Tinggi Ilmu Kepolisian.<br />
Untuk menumbuhkan suatu profesi kepolisian serta peranan yang diharapkan oleh masyarakat dari para anggota profesi ini memperlihatkan adanya tuntutan agar para anggota kepolisian, sekurang-kurangnya para perwiranya, memiliki kemampuan profesional yang dalam masyarakat modern hanya dapat diberikan pada tingkat pendidikan tinggi. Masalah-masalah yang dihadapi oleh kepolisian, masalah-masalah yang erat terkait pada perkembangan ekonomi, politik, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, hukum, masyarakat, kebudayaan, dan agama dan komunikasi massa yang terus menerus menjadikan masalah-masalah ini bertambah banyak dan bertambah kompleks, menuntut kemampuan profesional yang hanya diperoleh di perguruan tinggi. <br />
Dengan demikian bahwa untuk mewujudkan suatu profesi kepolisian yang bisa memenuhi harapan masyarakat dapat dan mampu mengemban fungsi kepolisian sebagai penegak hukum (law enforcement) dan penyelesaian masalah (conflict management), maka sangat perlu dibentuk sosok polisi yang sipil berlandaskan pada “muka tersenyum” dan profesional bersikap posisitif terhadap asas kebebasan dan asas persamaan. Maka profesi kepolisian yang dapat memenuhi semua unsur tadi adalah profesi akademik. <br />
Untuk membentuk suatu profesi kepolisian yang intelektual tidak cukup dengan mengandalkan lulusan PTIK yang mempunyai status S1, namun akan lebih tepatnya para perwira sebagai profesi kepolisian ini akan lebih efisien dalam menghadapi tantangan kepolisian ke depan dengan pendidikan Kajian Ilmu Kepolisian yang mempunyai status S2. Karena pendidikan dalam program studi Kajian Ilmu Kepolisian di Universitas Indonesia menghasilkan seorang polisi intelektual dengan tampilan sosok yang baru (“muka tersenyum” dan profesional, dapat bersikap positif terhadap asas kebersamaan dan asas persamaan) maka sanggup menjadi “problem solver” (conflict manajer) dalam masyarakatnya. <br />
Yang dimaksud polisi intelektual ini, menurut Prof. Mardjono Reksodiputro yaitu seorang perwira polisi mampu dan mau melakukan studi tentang masalah-masalah warga dalam komoditi di mana dia bertugas, refleksi atas pekerjaan kepolisian dan secara kreatif dapat “berspekuliasi” tentang sebab-sebab masalah tersebut unutk mencari solusi bersama-sama anggota komuniti yang bersangkutan.<br />
Dengan demikian bahwa PTIK selaku salah satu perguruaan tinggi di bawah naungan lembaga kepolisian, seyogyanya selaku motorik penunjang pengembangan ilmu kepolisian bisa mendorong seluruh lulusan S1 Sarjana Ilmu Kepolisian harus mengikuti pendidikan S2 Kajian Ilmu Kepolisian, khususnya bagi para perwira polisi yang akan menduduki jabatan sebagai kepala kepolisian tingkat kabupaten (Kapolres). Karena seperti halnya di lapangan bahwa seorang kepala kepolisian setingkat polres akan secara langsung bersentuhan dengan masyarakat yang komunitasnya sudah cukup luas, dengan demikian pencegahan dan penanggulangan secara dini akan lebih cepat dan tepat sarasan sehingga efek dari permasalahan tersebut tidak menimbulkan keresahan masyarakat. Tujuan lainnya, diharapkan kapolres selaku pembina fungsi dapat mendorong kemajuan dalam membentuk anggotanya lebih profesional, dengan secara tidak langsung mengarah kepada polisi sipil yang mempunyai sikap seperti yang sudah dijelaskan di atas, maka tujuan dari fungsi kepolisian selaku penegak hukum (law enforcement) dan penyelesaian masalah (conflict management) dapat berdayaguna.<br />
Kemudian adanya beberapa pandangan bahwa untuk kader pimpinan polri masa depan harus melalui pendidikan Kajian Ilmu Kepolisian tingkat doktor. Karena menurut para pakar ilmu kepolisian seperti Prof. Harsja W. Bachtiar, Prof Parsudi Suparlan, Prof. Mardjono Reksodiputro dan masih banyak lagi bahwa pendidikan tingkat doktor nantinya lulusannya mempunyai kemampuan dapat mengobati atau memperbaiki sesuatu kesulitan yang dirasakan sebagai masalah yang merugikan dalam kehidupan manusia.<br />
Selain melakukan perubahan profesi polisi kearah profesi akademik yang menghasilkan seorang polisi intelektual, maka dipandang perlu juga melakukan pengembangan terhadap proses belajar mengajarnya agar keluaran atau mutu mahasiswa dapat ditingkatkan. Unsur-unsur tersebut yaitu pengajar atau dosen dan mahasiswa, silabus dan perpustakaan yang merupakan gudang ilmu. <br />
<br />
D. Penutup <br />
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dengan adanya perubahan secara umum yang ditandai dengan era globalisasi dan reformasi, maka secara langsung masyarakat menuntut perubahan polri kearah yang profesional. Dengan demikian polri harus mengubah fungsi polisi yang dulu sebagai alat kekuasaan menjadi alat penegakan hukum, pelindung, pengayom serta pelayan masyarakat. Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka polri harus menjadi profesi kepolisian yang profesinal, dengan mengembangkan ilmu kepolisian menjadi pandangan serta cara kerja dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. Sehingga polisi yang sudah mengikuti pendidikan ilmu kepolisian mampu dalam mengemban fungsi selaku penegak hukum (law enforcement) dan penyelesaian masalah (conflict management) di tengah-tengah masyarakat, dengan paradigma yang baru yaitu polisi sipil dengan “muka tersenyum” dan profesional serta bersikap positif terhadap asas kebebasan dan asas persamaan.<br />
Untuk mewujudkan itu semua maka diperlukan pembaharuan dalam sektor pendidikan tinggi kepolisian, dengan mengikutkan para perwiranya bukan hanya pada Sarjana Ilmu kepolisian saja tetapi mengharuskan perwiranya mengikuti pendidikan Master dan Doktor. Karena lulusan Master atau S2 KIK adalah para ahli dalam bidangnya masing-masing, sedangkan lulusan Doktor atau S3 KIK sebagai ahli yang mampu mengobati berbagai penyakit sosial dan masyarakat. Hanya dengan kemampuan berpikir seperti itulah polisi akan dapat menghasilkan kebijaksanaan dan strategi bertindak yang tepat, yang memungkinkan petugas kepolisian di lapangan untuk berperan secara profesional sesuai dengan fungsinya dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat akan profesionalisme tersebut. <br />
<br />
<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
<br />
Bachtiar, Harsja W., “Ilmu Kepolisian Suatu Cabang Ilmu Pengetahuan yang Baru. PT Grasindo. 1994.<br />
Muhammad, Farouk. “Menuju Reformasi Polri”. Restu Agung. 2005.<br />
Reksodiputro, Mardjono. “Kajian Ilmu Kepolisian dan Perkembangannya : Mengharapkan Ketrampilan Angkatan Muda Polri Dalam Tranformasi Organisasi Kepolisian”. 2009.<br />
Reksodiputro, Mardjono. “Pembaharuan Pendidikan Tinggi Ilmu Kepolisian di Indonesia Menghadapi Tantangan Abad Ke-21”. Tantangan Globalisasi dan Reformasi. 2009.<br />
Suparlan, Parsudi. “Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia”. Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian. 2004.<br />
Suparlan, Parsudi. “Ilmu Kepolisian”. Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian. 2009.<br />
Bahan Perkuliahan Prof. Mardjono Reksodiputro kepada Mahasiswa KIK UI Angkatan XIV.BambangYugoPamungkashttp://www.blogger.com/profile/09022892672850503888noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4874402845859500574.post-41376005778945746832010-11-28T02:02:00.000-08:002010-11-28T02:09:02.206-08:00PERUBAHAN MENUJU PROFESIONALISME POLRI (Dipandang dari sudut sejarah)PERUBAHAN MENUJU PROFESIONALISME POLRI<br />
(Dipandang dari sudut sejarah)<br />
<br />
BAB I<br />
P E N D A H U L U A N<br />
<br />
1. Latar Belakang <br />
Sebagaimana kebanyakan negara-negara di dunia, Indonesia juga tidak luput dari terpaan krisis moneter dan ekonomi yang bersifat global dan yang kemudian berkembang menjadi krisis politik, sosial-budaya, dan hukum. Dalam rangka mengatasi krisis dimaksud, Indonesia melaksanakan reformasi paradigmatik secara total menuju masyarakat madani yang menjunjung tinggi, antara lain, berlangsungnya proses demokratisasi dengan baik dan benar (Reformasi Menuju Polri yang Profesional, Mabes Polri, 1999).<br />
Sejalan dengan hal tersebut, dalam hal perpolisian, tumbuh pula kesadaran bahwa fungsi kepolisian dalam era reformasi memerlukan penyesuaian dan perubahan dalam aspek struktural, instrumental, dan kultural, sesuai dengan paradigma baru perpolisian maupun tantangan tugas masa depan. Dengan maksud untuk menjunjung-tinggi demokrasi inilah, reformasi kepolisian kemudian diwujudkan melalui pembangunan profesionalisme dan kemandirian polisi yang terus diupayakan secara berkesinambungan.<br />
Seperti yang dikemukakan oleh prof. Satjipto Rahardjo bahwa “perilaku polisi adalah wajah hukum sehari-hari”. Apabila kita menyadari bahwa polisi merupakan ujung tembok penegakan hukum, yang berarti :polisilah yang secara langsung berhadapan dengan masyarakat, dan khususnya, pelanggar hukum dalam usaha menegakan hukum . Dengan demikian, bagaimana perilaku polisi dengan cara-cara kotor dan korup, maka secara otomatis masyarakatpun memandang hukum sebagai sesuatu yang kotor dan korup, juga andaikan pemolisian dikerjakan dengan baik, maka wajah hukum punakan dipandang baik. Karena itu, pandangan masyarakat tentang polisi akan membawa implikasi pada pandangan mereka terhadap hukum. Pekerjaan pemolisian yang tertanam kedalam masyarakat dapat kita lihat bagaimana struktur sosial, kultural dan ideologis telah menentukan pemberian tempat kepada polisi dalam masyarakatnya, bagaimana ia diterima oleh masyarakat, dan bagaimana ia harus bekerja.<br />
Pertumbuhan kepolisian dewasa ini telah berubah doktrinnya, menjadi “friends partners and dependers of citizen”, dalam arti polisi sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat dari pada urusan kekuasaan negara.Perihal sorotan berupa keritikan maupun hujatan terhadap kepolisian, umumnya komunitas aparat kepolisian sudah amat siap menghadapinya. Sebagian dikarenakan secara faktual polri memang nyata-nyata masih mengidap berbagai kelemahan sehingga pantas dikeritik. Sebagian lain dikarenakan kuatnya pemahaman bahwa semua keritik dan bahkan hujatan dari anggota-anggota masyarakat tersebut pada dasarnya adalah bentuk lain dari kecintaan masyarakat terhadap polri.<br />
Pergeseran serta perubahan dalam fungsi yang harus dijalankan oleh suatu badan dalam masyarakat merupakan hal yang biasa. Hal yang agak istimewa adalah bahwa kita sekarang hidup dalam dunia dan masyarakat yang sedang mengalami perubahan yang sangat intensif dibandingkan dengan waktu-waktu yang lalu.<br />
Berdasarkan uraian diatas, pada dasarnya persepsi tentang kinerja Polri merupakan masalah penting yang perlu dilihat lebih lanjut dalam dalam rangka mewujudkan profesionalisme polisi dalam menaggapi tantangan yang semakin berat.<br />
<br />
2. Maksud dan tujuan.<br />
a. Maksud. <br />
Penulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran peranan Polri tentang sejarah perkembangan kepolisian dari masa ke masa.<br />
<br />
b. Tujuan.<br />
Tujuannya adalah untuk meningkatkan profesionalisme anggota Polri.<br />
<br />
4. Ruang lingkup.<br />
Ruang Lingkup penulisannya meliputi dibatasi pada sejarah Polri serta peranan Polri dari masa ke masa.<br />
<br />
5. Pendekatan.<br />
Penulisan karya tulis tentang Perubahan Menuju Profesonalisme Polri ini menggunakan pendekatan sejarah, sebab dan akibat. Dengan pendekatan sejarah akan diuraikan perkembangan Polri sejak jaman Hindia Belanda sampai dengan jaman Reformasi. Pendekatan sebab dan akibat akan menguraikan peranan Polri yang Profesional dalam rangka menyikapi tuntutan masyarakat.<br />
<br />
6. Tata Urut.<br />
BAB I P E N D A H U L U A N<br />
BAB II SEJARAH, KEDUDUKAN DAN PERANAN POLRI DARI MASA KE MASA<br />
BAB III PROSES PROFESIONALISME POLRI MENJAWAB TUNTUTAN MASYARAKAT<br />
BAB IV P E N U T U P <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
BAB II<br />
SEJARAH, KEDUDUKAN DAN PERANAN POLRI DARI MASA KE MASA<br />
<br />
Sejarah Polri yang di dalamnya termasuk kedudukan dan peranannya, dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut :<br />
<br />
1. Kepolisian pada jaman Hindia Belanda.<br />
Pada jaman ini polda dasar kepolisian sudah ada baik fungsi, bentuk organisasi, kepangkatan dan pendidikan polisi namun posisi jabatan yang penting masih diduduki bangsa kolonial dan pribumi hanya pada agen polisi saja. Secara administratif dalam arti sempit (termasuk Sekolah Polisi di Sukabumi ), Lembaga Kepolisian diurus oleh Binnenlandsch Bestuur. Rechts Politie berada di bawah Procureur Generaal, tetapi operasional sepenuhnya berada di tangan Residen. Pada jaman itu, peran Polri semata – mata adalah alat kolonial.<br />
<br />
2. Kepolisian pada jaman Jepang.<br />
Setelah Indonesia merdeka, bangsa Indonesia kembali di duduki jepang sehingga mengakibatkan perubahan sistem pemerintahan, salah satunya yaitu Kedudukan Kepolisian mengikuti sistem pemerintahan Jepang yang membagi wilayah Indonesia menjadi dua lingkungan kekuasaan, yaitu wilayah Sumatera, Jawa dan Madura dikuasai Angkatan Darat (Gunseikan) dan Indonesia Timur serta Kalimantan dikuasai Angkatan Laut, (Minseifu – Tyokan) masing – masing lingkungan kekuasaan dibagi dalam syu (sama dengan Karesidenan) tiap – tiap syu dikepalai oleh Syutyukan, yang sekaligus menjadi Kepala Kepolisian Karesidenan. Pimpinan kepolisian sehari – hari dilaksanakan oleh seorang Kepala Bagian Kepolisian (Keisatsu – Butyo) atau Chiang – Butyo (Kepala Bagian Keamanan). Pada masa itu kepolisian juga merupakan alat kekuasaan / pemerintahan tentara Jepang.<br />
<br />
3. Kepolisian pada jaman Revolusi Fisik.<br />
Pada saat berakhirnya kekuasaan Jepang menyerah dan Indonesia merdeka, Kepolisian Negara Republik Indonesia segera dibentuk dan diberlakukan Perundang – undangan Hindia Belanda. Berdasarkan Ketetapan Pemerintah Nomor 11/SD/1946, pada tanggal 1 Juli 1946 dibentuk Djawatan Kepolisian Negara R.I. dipimpin oleh Kepala Kepolisian Negara (KKN) yang bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri. Inilah saat lahirnya Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mencakup seluruh wilayah R.I. dan seluruh tugas Kepolisian termasuk ikut bertempur dan menyatakan diri sebagai ‘combattan’. Melalui Penetapan Pemerintah Nomor 1/1948 tanggal 4 Pebruari 1948, kedudukan Polri menjadi di bawah Presiden / Wakil Presiden. <br />
<br />
4. Kepolisian pada jaman Demokrasi Parlementer.<br />
Kepolisian bertanggung jawab kepada Perdana Menteri, Polri melaksanakan tugas sebagai alat negara penegak hukum, pelindung dan pengayom masyarakat serta ikut aktif dalam penumpasan pemberontakan dan operasi – operasi militer. <br />
<br />
5. Kepolisian pada jaman Demokrasi Terpimpin sampai dengan jaman Orde Baru. <br />
Berdasarkan Keppres Nomor 153 tahun 1959 tanggal 10 Juli 1959, Kepala Kepolisian Negara diberi kedudukan sebagai Menteri Negara ex-officio dan selanjutnya menjadi Menteri Muda Kepolisian sejajar dengan Menteri Muda Pertahanan, Menteri Muda Kehakiman dan Menteri Muda Veteran. Melalui TAP MPR Nomor II tahun 1960, Kepolisian dinyatakan masuk dalam jajaran ABRI dan melalui Keppres Nomor 21 tahun 1960, sebutan Menteri Muda Kepolisian diganti dengan Menteri. Kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI lebih ditegaskan dalam UU Nomor 13 tahun 1961, kemudian dikuatkan dengan UU Nomor 20 tahun 1982 dan UU Nomor 28 tahun 1997. Di dalam UU tersebut, fungsi kepolisian digabungkan dengan fungsi pertahanan keamanan negara sehingga menimbulkan kerancuan dan tumpang tindih antara fungsi penegakan hukum dan pemelihara ketertiban masyarakat dengan fungsi pertahanan keamanan negara. <br />
Selama pemerintahan Orde Baru, Polri tak dapat dilepaskan dari TNI dengan Dwi Fungsinya sebagai pemegang kekuasaan. Kompetensi Polri pun tidak dapat dilepaskan/dipisahkan baik dari para penyelenggara negara yang memegang kekuasaan maupun masyarakat. Karena pemegang kekuasaan dan masyarakat selalu memberi warna, kompetensi Polri di lapangan berada pada dua sisi yaitu berada dan bersatu dengan pemegang kekuasaan, dalam arti sebagai alat kekuasaan; dan pada sisi lain sebagai alat negara penegak hukum yang tidak dapat dipisahkan dari Criminal Justice System. <br />
<br />
6. Kepolisian pada jaman Era Reformasi.<br />
Pada masa ini diawali dengan adanya tuntutan mahasiswa yang menginginkan reformasi dan mundurnya Presiden Soeharto dari jabatannya, pada saat itu. Polri dalam posisi sulit di sisi lain sebagai aparat pemerintahan dan harus menghadapi para demonstraan. Pada puncaknya tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya dan digantikan Habibie. Presiden Habibie kemudian mengupayakan reformasi dalam segala bidang, termasuk di antaranya reformasi dalam tubuh aparat penegak hukum.<br />
Dengan adanya desakan oleh para mahasiswa dan elemen masyarakat dan konsekwensi pemerintah maka digelarnya sidang istemewa MPR, yang mana salah satu pembahasan Sidang Istimewa yaitu mengenai posisi penegak hukum yaitu Polri dalam tatanan Reformasi. Hasil dari siding tersebut ditetapkannya TAP MPR No. X / MPR / 1998 yang berisi perintah menugaskan kepada Presiden / Mandataris MPR untuk memisahkan Polri dari ABRI dengan rumusan :<br />
“ menginstruksikan kepada Presiden selaku Mandataris MPR antara lain untuk melaksanakan agenda reformasi di bidang hukum dalam bentuk pemisahan secara tegas, fungsi dan wewenang aparatur penegak hukum agar dapat dicapai proporsionalitas, profesionalisme dan integritas yang utuh.”<br />
Pada tanggal 17 Agustus 1998 untuk pertama kalinya Presiden BJ Habibie mencanangkan program kemandirian Polri, yaitu rencana untuk menjadikan Polri terlepas dari organisasi ABRI. Harapannya adalah Polri bisa lebih memenuhi fungsinya sebagai penegak hukum dan pengayom masyarakat tanpa diintervensi oleh berbagai kepentingan luar, termasuk dari pemerintah dan pimpinan ABRI. Tekad politik pemerintah lalu ditindaklanjuti dengan peresmian kemandirian Polri pada 1 April 1999 melalui Inpres No. 2 tahun 1999 tentang Langkah – langkah kebijakan dalam rangka pemisahan Polri dari ABRI, yang selanjutnya menjadi landasan formal bagi reformasi Polri. Berdasarkan Inpres tersebut, mulai 1 April 1999, sistem dan penyelenggaraan pembinaan kekuatan dan operasional Polri dialihkan ke Dephankam, yang selanjutnya menjadi titik awal dimulainya proses reformasi Polri secara menyeluruh menuju Polri yang profesional dan mandiri serta sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat. MPR dalam Sidang tahunannya Agustus 2000 kemudian menetapkan dua buah Tap MPR, yaitu TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang tentang Pemisahan TNI dan Polri serta TAP MPR NO. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
BAB III<br />
PROSES PROFESIONALISME POLRI MENJAWAB TUNTUTAN MASYARAKAT<br />
<br />
1. Profesionalisme<br />
Orang sering menyebut, baik dalam tulisan maupun pidato tentang profesionalisme Polri tanpa memahami hakiki makna dan aplikasinya dilapangan. Sehingga pengertian dasarnya kabur karena membentuk bentangan spektrum yang luas mulai dari pengertian yang ekstrim sulit sampai dengan yang sederhana saja.<br />
Untuk itu, penulis akan mengemukakan beberapa pendapat mengenai oengertian profesional agar dapat membantu dalam memahami makna seta penggunaan yang tepat dilapangan.<br />
Kata profesional mempunyai makna sebagai berikut:<br />
a. Propesi : Bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian tertentu, meliputi ;<br />
1) bersangkutan dengan profesi, <br />
2) memerlukan kepandaian khusus untuk melakukannya, <br />
3) mengharuskan adanya bayaran untuk melakukannya.<br />
b. Profess : pura-pura berlagak tidak tahu, mengumumkan secara terang-terangan/secara terbuka, mengaku, menganut, bekerja sebagai. <br />
Profession : Profesi, jabatan yang memerlukan pendidikan seperti kedokteran, pengajaran, pemerintahan, pejabat, dan pengakuan. <br />
Profesional ;<br />
1) berkenaan dengan jabatan, atau profesi (kode etik), <br />
2) pemain bayaran,<br />
3) ahli.<br />
c. Profesional : mengenai profesi ; (mengenai) keahlian ; masuk golongan terpelajar/ ahli; pemayin bayaran. <br />
Sedangkan menurut LEGGE dan EXLEY, merumuskan kriteria dan ciri-ciri profesionalisme sebagai berikut :<br />
a. Keterampilan yang didasarkan atas pengetahuan teoritis.<br />
b. Memperoleh pendidikan tinggi dan latihan kemampuannya diakui oleh rekan sejawatnya.<br />
c. Adanya “ Organisasi Profesi “ yang menjain berlangsungnya budaya profesi melalui persyartan untuk memasuki organisasi tersebut, yaitu Ketaatan pada “ kode etik profesi”.<br />
d. Adanya nilai khusus, harus diabadikan pada kemanusian.<br />
Jadi dari beberapa pengertian diatas dapat diambil sesuatu kesimpulan bahwa prefesionalisme adalah tindakan yang dilandasi dengan keahlian tertentu yang diperoleh melalui pendidikan tertentu dan dilaksanakan dengan memenuhi kode etiknya. <br />
<br />
2. Proses Profesionalisme Polri<br />
Dengan melihat perjalanan peranan Polri dari masa pra kemerdekaan sampai dengan reformasi sangat dipengaruhi oleh situasi kondisi tatanan pemerintahan dan dari tuntutan serta kebutuhan masyarakat secara global. <br />
Secara historis, peran polisi pada saat pra kemerdekaan ( Hindia Belanda ) yaitu menjaga ketertiban dan keamanan namuun lebih menitik beratkan pada kepentingan kolonial pada saat itu, contoh ; polisi pada saat itu menjadi alat penegak hukum apabila yang melakukan tindak pidana orang pribumi maka dilakukan proses pidana namun jika yang melakukan bangsa kolonial maka hukum tersebut akan gugur dengan sendirinya. Contoh tersebut hanyalah salah satu perlakuan ketidak seimbangan pelaksanaan salah satu tugas polisi yang tidak seimbang, maka terlihat jelas bahwa kinerja polisi saat itu sangat dipengaruhi kepentungan kolonial. Sedangkan posisi kelembagaan kepolisian sebagaimana dipaparkan oleh Harsja Bahtiar dalam bukunya Ilmu Kepolisian Suatu Cabang Ilmu Pengetahuan yang baru, bahwa pada masa penjajahan Hindia Belanda Kepolisian berada di bawah Jaksa Agung. <br />
Sedangkan pada masa Revolusi sampai dengan jaman Parlementer, ditandai dengan kemerdakaan bangsa Republik Indonesia, maka terjadi peralihan kekuasaan serta perubahan struktur pemerintahan salah satunya yaitu lembaga kepolisian, di mana pada tanggal 19 agustus 1945 dibentuklah Kepolisian Republik Indonesia merupakan bagian dari Departemen Dalam Negeri. Pada saat itu peran polisi masih terfokus kepada pemeliharaan keamanan karena masih ikut dalam pembelaan negara terhadap jepang dan agresi belanda serta beberapa operasi militer lainnya.<br />
Dan kemudian terjadi perubahan posisi pada jaman Demokrasi terpimpin sampai dengan Orde baru, di mana dimasukkannya Kepolisian ke dalam organisasi ABRI. Secara otomatis visi, misi dan tujuan Kepolisian lebih diarahkan pada militerisme. Pada akhirnya segala tindakan hukum kepolisian berbau militeristik dan tidak penuh melaksanakan amanat KUHP KUHAP serta perundang-undangan lainnya. Contoh kasus yg tidak ditangani secara professional saat itu antara lain seperti Marsinah, Udin, Tjetje maka pada saat itu penerapan pelaksanaan amanat penegak hukum tidak menitik beratkan pekerjaan polisi yang lebih diselesaikan “secara tehnik dan taktik polisi sesuai amanat uundang-undang” tetapi lebih dominan “secara militerisme atas pengaruh politis pada saat itu”.<br />
Pada jaman Reformasi ini merupakan tekad politik pemerintah atas tuntutan peranan Polri dalam melaksanakan tugas dengan profesional dan tanpa tekanan, karena dalam pelaksanaan tugasnya tidak dipengaruhi sebagai alat kekuasaan maupun kepentingan politik. Maka Polri sebagai aparat penegak hukum masih bekerja dengan hanya menerapkan sanksi hukum semata dalam sistem Law Enforcement bukannya dengan sistem Law Compliance yang dapat mewujudkan suatu kondisi masyarakat yang taat hukum. Akibatnya adalah Polri belum mampu mewujudkan tuntutan kebutuhan masyarakat dalam era reformasi, yaitu ditegakkannya iklim demokratisasi dan HAM melalui supremasi hukum dan kemampuan polisi yang responsive terhadap kepentingan masyarakat.<br />
<br />
3. Tuntutan Polri Masa Depan<br />
Kita dapat melihat sebelum reformasi, kekuasaan tunggal negara yang mempengaruhi kepolisian (pada abad ke-6) dan wewenang kepolisian yang terjadi alat kekuasaan dimasa penjajahan hindu belanda dahulu terhadap rakyat menggandung kosekwensi polisi berdarah panas, sehingga kurang dekat hubungganantara polisi dimata rakyat. Pertumbuhan kepolisian dewasa ini (jaman Reformasi) telah berubah doktrinnya, menjadi “friends partners and dependers of citizen”, dalam arti polisi sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat dari pada urusan kekuasaan negara. Sehingga melahirkan paradigma baru dalam segenap tatanan kehidupan bermasyrakat, berbangsa dan bernegara yang ada dasarnya memuat koreksi terhadap tatanan lama dan penyempurnaan kearah tatanan indonesia baru yang lebih baik. Paradigma baru tersebut antara lain supermasi hukum, hak azasi manusia, demokrasi, transparansi dan akuntabilitas yang diterapkan dalam praktek penyelenggara pemerintahan negara termasuk didalamnya penyelenggaraan fungsi Kepolisian.<br />
Masyarakat dan polisinya merupakan dua kegiatan yang tidak bisa di pisahkan. Tanpa masyarakat, tidak akan ada polisi dan tampa polisi, proses-proses dalam masyarakat tidak akan berjalan dengan lancar dan produktif. Seperti yang dikemukakan oleh prof. Satjipto Rahardjo bahwa “perilaku polisi adalah wajah hukum sehari-hari”. Apabila kita menyadari bahwa polisi merupakan ujung tembok penegakan hukum, yang berarti : polisilah yang secara langsung berhadapan dengan masyarakat, dan khususnya, pelanggar hukum dalam usaha menegakan hukum . <br />
Pengidentifikasian polisi sebagai birokrasi kontrol sosial memang memberi deskripsi mengenai polisi itu. Polisi seyogyanya kita lihat tidak hanya menjalankan kontrol sosial saja, melainkan juga memberi pelayanan dan interpretasi hukum secara konkrit, yaitu melalui tindakan-tindakannya. Dengan kontrol sosial, pelayanan dan agen interpretasi tersebut menjadi lebih lengkaplah bahwa polisi mewujudkan janji-janji hukum.<br />
Penegakan hukum, penjagaan keamanan dan ketertiban masyarakat serta pelayanan dan pengayoman masyarakat adalah tugas pokok polisi sebagai profesi mulia, yang aplikasinya harus berakibat pada asas legalitas, undang-undang yang berlaku dan hak azasi manusia. Atau dengan kata lain harus bertindak secara professional dan memegang kode etik secara ketat dan keras, sehingga tidak terjerumus kedalam prilaku yang dibenci masyarakat .<br />
Menyikapi perihal tersebut Tim Pokja Reformasi Polri dalam buku Reformasi menuju Polri yang mandiri telah merumuskan Langkah – langkah yang perlu diambil Polri untuk mewujudkan jati diri dan profesionalisme Polri dalam perspektif reformasi melalui penyesuaian dan perubahan aspek struktural, aspek kultural, dan aspek instrumental, yaitu : <br />
a. Perubahan aspek struktural mencakup perubahan kelembagaan (institusi) kepolisian dalam ketatanegaraan, organisasi, susunan dan kedudukan. Dari segi kelembagaan, Polri harus bersifat otonom dan mandiri. Polri seyogyanya diperlakukan sebagai suatu lembaga khusus negara, yang secara administratif berkedudukan langsung di bawah Presiden, tetapi mandiri (independence) dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum. <br />
b. Perubahan aspek instrumental mencakup filosofi (visi, misi dan tujuan), doktrin, kewenangan, kompetensi, kemampuan fungsi dan Iptek.<br />
c. Perubahan aspek kultural sebagai muara dari perubahan aspek struktural dan aspek instrumental, karena semuanya harus terwujud dalam bentuk dan kualitas pelayanan aktual Polri terhadap masyarakat.<br />
Salah satu tantangan yang dihadapi polisi dalam pelaksanaan tugas kesehariannya adalah adanya kesenjangan masyarakat atas tugas-tugas polisi seharusnya dengan kenyataan yang terjadi ditenggah-tenggah masyarakat. untuk mencapai pelaksanaan tugas kepolisian tersebut, polisi melakukan sejumlah tindakan-tidakan sesuai tugas dan wewenang yang diberikan dalam pengertian bahwa kepolisian harus menjalankan tugas dan wewenangnya setiap waktu meliputi pelayanan masyarakat, menjaga ketertiban dan keamanan serta penegakan hukum.<br />
Profesionalisme polisi dapat tumbuh melalui peningkatan standar profesi yang tinggi dan tugas profesi sebagai panutan sadar hukum serta prilaku sesuai dengan hukum yang dicetuskan mulai dari sistem “ recruitmen and training” kepolisian sesuai dengan tuntutan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka untuk mewujudkan penampilan kerja polisi dalam bentuk yang ideal. Yang dapat dilakukan, baik oleh pimpinan polri maupun unsur-unsur lain dimasyarakat, adalah mempersempit jarak antara identitas tersebut dengan realitas yang hidup dewasa ini. Makin sempit atau lebih lebarkah jarak itu, antara lain dapat diukur lewat berbagai respon masyarakat terhadap penampilan kerja anggota-anggota polri.<br />
Dapat disebut bahwa kepolisian telah terjadi pergeseran yang makin terasa kuat dari polisi sebagai “Pemburu Kejahatan” kepada polisi yang menjalankan “pekerjaan sosial”. Pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak hanya mengandung isi sosial biasa,melainkan juga ekonomi, politik dan kebudayaan.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
BAB IV<br />
P E N U T U P<br />
<br />
Dengan melihat perkembangan fungsi serta peran lembaga Kepolisian dari masa ke masa, maka terlihat jelas bagaimana pelaksanaan tugas organisasi Polri ini berkembang sesuai keadaan pada saat pra kemerdekaan sampai dengan jaman reformasi saat ini.<br />
Begitupun harapan tugas Polri yang lebih professional dengan berubahnya paradigma Polri pada awalnya sebagai alat kekuasaan menjadi pekerja sosial dalam lingkup sebagai pelindung, penjaga keamanan, pengayom dan pelayan masyarakat. <br />
Harapan masyrakat terhadap kepolisian ini dapat disimpulkan hanya dua perihal : Pertama, mereka membutuhkan keamanan dan perlindungan Polri secara maksimal baik atas dirinya, maupun keluarganya dan harta bendanya; kedua, mereka menginginkan pelayanan yang lebih baik dari Polri.<br />
Dengan demikian dapat diwujudkan jati diri Kepolisian Negara Republik Indonesia yang lebih profesional, mahir, terampil, bersih dan berwibawa sehingga Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak semata – mata mampu melaksanakan tugas dengan sebaik – baiknya, namun mampu membuktikan keberadaannya sebagai institusi yang dapat menyelesaikan permasalahan sosial di tengah-tengah masyarakat.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
<br />
Indonesia, Undang – Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.<br />
<br />
Indonesia, TAP MPR NO. VI dan VII / MPR / 2000.<br />
<br />
Kelana, Momo, Mayjen Pol (Purn.), Drs., Hukum Kepolisian. Cet. 5. Jakarta : PTIK – Grasindo, 1994. <br />
<br />
Mabes Polri, Tim Pokja, Reformasi Menuju Polri yang Profesional, 1999.<br />
<br />
Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sejarah Kepolisian di Indonesia. Jakarta : Markas Besar Republik Indonesia ,1999.<br />
<br />
Rahardjo, Satjipto. Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia, Buku Kompas, 2002.<br />
<br />
Wik Djatmika, Mayjen Pol (Purn.) Drs. SH Msi, Catatan Kuliah sendiri, 2009.BambangYugoPamungkashttp://www.blogger.com/profile/09022892672850503888noreply@blogger.com0