Minggu, 12 Desember 2010

KEJAHATAN KORPORASI (STUDI KAJIAN KASUS KECELAKAAN MASKAPAI ADAM AIR)


BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang
Dalam kurun tiga tahun terakhir pada sektor penerbangan Indonesia telah mengalami beberapa kejadian kecelakaan baik yang mengakibatkan kerugian jiwa dan materiil yang berskala kecil sampai dengan skala besar. Salah satu contohnya adalah kejadian kecelakaan yang menimpa maskapai Adam air tanggal 1 januari 2007. Kecelakaan pada tanggal 7 januari 2007 oleh maskapai Adam Air dengan nomor penerbangan 574 dari Jakarta - Manado via Surabaya jatuh di Selat Makassar di kedalaman lebih dari 2.000 meter. Kecelakaan tersebut menelan korban 102 orang penumpang dan awak pesawat tewas, dengan jasad seluruh penumpang dan bangkai pesawat tetap terkubur di dasar laut.
Berdasarkan hal tersebut diatas penulis akan mencoba mengkaji kasus kecelakaan pesawat udara oleh maskapai Adam Air. Sebelumnya penulis mencoba menggambarkan secara singkat kronologis kejadian tersebut.
Kronologis singkat.
Kronologis jatuhnya pesawat terbang Adam Air Penerbangan 574 rute Jakarta-Surabaya-Manado, pada 1 Januari 2007, yang menewaskan 96 penumpang dan 6 awak pesawat. Pesawat lepas landas pada pukul 12.55 WIB dari Bandara Juanda (SUB), Surabaya, Indonesia pada tanggal 1 Januari 2007. Seharusnya pesawat tiba di Bandara Sam Ratulangi (MDC), Manado pukul 16.14 WITA. Pesawat kemudian dilaporkan putus kontak dengan Pengatur lalu-lintas udara (ATC) Bandara Hasanuddin Makasar setelah kontak terakhir pada 14:53 WITA. Pada saat putus kontak, posisi pesawat berada pada jarak 85 mil laut barat laut Kota Makassar pada ketinggian 35.000 kaki. Pada 25 Maret 2008, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengumumkan bahwa pilot terlibat dan menghadapi problem navigasi yakni sistem panduan navigasi yang bermula dari kerusakan Inertial Reference System (IRS). Kerusakan IRS terjadi 13 menit sebelum kecelakaan. Ketika di ketinggian 35.000 kaki dan kru memutuskan IRS Mode selector unit No-2 (kanan) ke posisi mode ATT (attitude), auto pilot jadi mati. Akibatnya pesawat secara perlahan berbelok (roll) ke kanan hingga terdengar peringatan sistim arah pesawat (bank angle) karena miring ke kanan hingga melewati 35 derajat. Menurut Dirjen Perhubungan Udara, Departemen Perhubungan, Budhi Muliawan Suyitno, situasi pesawat bergetar hebat sehingga struktur kendali pesawat rusak.
Beberapa saat kemudian AdamAir telah memberikan ganti rugi kepada para korban jatuhnya pesawat AdamAir di perairan Majene,Sulawesi Barat, pada 1 Januari 2007. ganti rugi tersebut ada yang menerima Rp 825 juta dan adapula yang mendapat 400.000 dolar AS atau sekitar Rp 3,8 miliar (Harian Kompas, Rabu tanggal 2 April 2008).
Dengan melihat kronologis diatas penulis akan mencoba mengkaji penanganan kasus kecelakaan Adam Air tanggal 1 Januari 2007 adanya unsur-unsur pidana selain permasalahan perdata yang sudah dilakukan melalui ganti rugi (sesuai kronologis diatas).

1.2 Rumusan masalah
Dengan melihat latar belakang yang meliputi kronologis diatas penulis merumuskan permasalahan, yaitu Apakah ada indikasi pidana dalam penanganan kasus kecelekaan Adam Air yang berkaitan dengan korporasi ¿

1.3 Sistematika
Sistematika yang digunakan penulis dalam menulis makalah, sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan
Bab II Pembahasan
Bab III Penutup


BAB II PEMBAHASAN
Sebelum melanjutkan Bab ini penulis mencoba mengkaji pengertian kejahatan korporasi. Istilah “korporasi” itu sendiri berasal bahasa Inggris disebut corporation, dalam bahasa Belanda disebut corporatic, dan dalam bahasa Jerman disebut korporation, secara etimologi berasal dari kata corporatio dalam bahasa latin. Dalam hal konteks korporasi apabila dilihat dari segi hukum menurut pendapat Koesparmono Irsan (2007; 38), bahwa korporasi mempunyai arti sempit dan arti yang luas. Menurut arti yang sempit, korporasi adalah badan hukum. Dalam arti luas, korporasi dapat badan hukum maupun bukan badan hukum.
Dalam RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) 2004, memberikan pengertian korporasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 166, yaitu :
Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan /atau kekayaan, baik merupakan badab hukum maupun bukan badan hukum.
Definisi mengenai apa yang dimaksud dengan korporasi adalah sehubungan dengan ketentuan pasal sebelumnya, yaitu pasal 165, yang menentukan bahwa yang dimaksud dengan “setiap orang” adalah “termasuk korporasi” (Sutan Remy Sjahdeini, 2006 ; 326)
Maka definisi dari “kejahatan korporasi” itu sendiri, Clinard dan Yeager (Koesparmono Irsan, 2007; 5) memberikan definisi corporate crime, sebagai berikut :
A corporate crime is any act committed by corpo-ration that punished by the state, regards of wheather is pubished under administrative, civil,, or criminal law. This broadens the definision of crime beyond the criminal law, which is the only govermental action for ordinary offender.
Sehingga makna dari kejahatan korporasi inilah sangat luas mencakupi seluruh jenis pidana yang dilakukan oleh korporasi itu sendiri. Kejahatan korporasi sebagai pelanggaran hukum yang dilakukan oleh corpotare executive atau para pelakunya tergolong kaya, dan kejahatan korporasi memberi indikasi adanya pembagian kekuasaan. Bentuk korporasi yang besar atau multi-national mengakibatkan dampak yang negatif pada sektor politik, sosial, ekonomi dan pertahanan keamanan (Koesparmono Irsan, 2007; 6-7)

2.1 Landasan Yuridis Indikasi Unsur Pidana
Atas kejadian yang menimpa maskapai Adam Air menimbulkan permasalahan khususnya dari korban penumpang dan awak pesawat. Pada dasarnya hak-hak pengguna jasa penerbangan dilindungi hak-haknya dalam sistem hukum udara internasional. Konvensi Warsawa 1929 mengatur pertanggungjawaban pengangkut (jasa penerbangan) terhadap pihak kedua (penumpang). Aturan ini sudah di transform ke dalam ordonansi pengangkutan udara Indonesia (Staatsblad 1939: 100, dan UU Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan yang diperbaharui UU Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan).
Sebenarnya menurut penulis law enforcement belum dilakukan secara mutlak oleh para penegak hukum. Karena, aplikasi penerapan UU nomor 15 tahun 1992 tentang Penerbangan belum dijalankan secara maksimal (untuk penggunaan UU masih menggunakan UU nomor 15 tahun 1992 belum menggunakan UU nomor 1 tahun 2009, diasumsikan kejadian pada waktu itu tahun 2007 sehingga masih menggunakan UU nomor 15 tahun 1992). Dengan melihat asas kepastian hukum (Koesparmono Irsan, 2007; 119), maka pihak maskapai Adam Air sesuai prinsip absolute liability atau tanggung jawab (konvensi Warsawa 1929) harus juga menaati UU nomor 15 tahun 1992 terkait unsur-unsur pidananya. Dalam hal ini membuktikan secara ilmiah berdasarkan ketentuan keamanan dan keselamatan penerbangan terkait penyebabnya, pertama, terkait kondisi pesawat disebabkan kerusakan pada sistem navigasi yang disebabkan rusaknya Inertial Reference System (IRS), dan atau kedua, apakah benar terjadi human error sesuai pendapat Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) disebabkan pilot tidak menguasai Quick Reference Hand Book.
Pertama, terkait kondisi pesawat disebabkan kerusakan pada sistem navigasi yang disebabkan rusaknya Inertial Reference System (IRS). Perlu pembuktian lebih mendalam terkait pasal 60 UU nomor 15 tahun 1992, sebagai berikut :
Barangsiapa menerbangkan pesawat udara yang dapat membahayakan keselamatan pesawat udara, penumpang dan barang, dan/atau penduduk, atau mengganggu keamanan dan ketertiban umum atau merugikan harta benda milik orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).
Pasal ini terkait dengan ketentuan pesawat udara diperbolehkan untuk dioperasionalkan setelah lolos pemeriksaan dan pengujian kelaikan udara, hal ini terkait pasal 19 ayat 1 UU nomor 15 tahun 1992, sebagai berikut :
Setiap pesawat udara yang dipergunakan untuk terbang wajib memiliki sertifikat kelaikan udara.
Unsur pidana mengenai kelaikan udara diatur dlm pasal 63 UU nomor 15 tahun 1992, sebagai berikut :
Barangsiapa mengoperasikan pesawat udara yang tidak memiliki sertifikat kelaikan udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah).
Dengan demikian maka dapat dibuktikan secara law enforcement mengenai kerusakan alat terkait navigasi merupakan kesengajaan atau kelalian, dan atau justru kondisi pesawat yang tidak layak beroperasi sesau standart kelaikan udara.
Kedua, berkaitan dengan terjadi human error sesuai pendapat KNKT disebabkan pilot tidak menguasai Quick Reference Hand Book. Hal ini berkaitan dengan kemampuan seorang pilot itu sendiri sesuai dengan standart yang telah ditentukan dalam mengoperasionalkan pesawat jenis Boeing 737 seri 400. Hal tersebut dapat dibuktikan berdasarkan pasal 18 ayat 1 dan 2 UU nomor 15 tahun 1992, yaitu :
(1) Setiap personil penerbangan wajib memiliki sertifikat kecakapan.
(2) Sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan.
Kemudian pasal yang dilanggar, yaitu sesuai ketentuan pasal 62 UU nomor 15 tahun 1992 :
Barangsiapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah).
Maka dengan pembuktian diatas maka dapat diketahui bagaimana proses perekrutan pilot pada perusahaan maskapai Adam Air dan atau proses pada pendidikan dan pelatihan sudah sesuai prosedur standarisasi yang ditetapkan.
Kemudian beberapa saat setelah kejadian, para ahli waris penumpang Adam Air melakukan gugatan kepada maskapai Adam Air di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Dan secara perdata dimenangkan oleh ahli waris penumpang, sehingga maskapai ini membayar semua kerugian yang timbul akibat jatuhnya pesawat Adam Air yang menewaskan seluruh penumpangnnya. Namun pada pelaksanaan penggantian kerugian justru menimbulkan beberapa permasalahan baru, pasalnya penggantian bervariasi antara ada yang menerima Rp 825 juta dan adapula yang mendapat 400.000 dolar AS atau sekitar Rp 3,8 miliar. Yang menerima Rp 825 juta yang mengurus di Jakarta, namun yang menerima 400.000 dolar AS atau sekitar Rp 3,8 miliar mereka langsung mengurus sendiri ke ke Kanada (Harian Kompas, Rabu tanggal 2 April 2008). Berkaitan hal tersebut menurut penulis tidak sesuai dengan azas keseimbangan, di mana tidak terwujudnya kesempatan kepada para ahli waris (selaku konsumen) dan pihak maskapai Adam Air (selaku pelaku usaha) untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil (Koesparmono Irsan, 2007; 118). Dan hal ini juga bertentangan dengan prinsip pasal 28H dan 28I UUD 1945, bahwa setiap orang mendapatkan kesempatan dan perlakuan yang sama, dengan demikian seharusnya para ahli waris mendapat perlakuan yang sama ganti rugi. Sehingga diperlukan penyelidikan maupun pendalaman oleh penegak hukum mengenai aliran dana tersebut, untuk mengetahui adanya unsur-unsur pidana penggelapan atau unsur perdata lainnya oleh pihak Adam air dan atau pihak perusahaan asuransi yang terkait dengan maskapai Adam Air.

2.2 Pertanggungjawaban Pihak Korporasi
Maskapai Adam Air merupakan suatu bentuk perusahaan jadi merupakan korporasi. Berkaitan dengan pembebanan pertanggung jawaban pidana kepada korporasi, menurut Prof. Mardjono Reksodiputro (1989;9) terdapat tiga sistem, sebagai berikut :
a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab;
b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab;
c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertangggung jawab.
Korporasi mempunyai anggota-anggota sebagai pendiri dan pengurus, tetapi para pendiri pengurus tersebut terpisah-pisah. Manakala korporasi melakukan tindak pidana, maka sebenarnya yang bertanggung jawab hanya mengikat korporasinya, bukan pengurus dan pendirinya / pemegang saham (Koesparmono Irsan, 2007;40).
Dengan demikian pertanggung jawaban atas law enforcement yang terkait unsur-unsur pidana pada kejadian maskapai Adam Air tersebut adalah para korporasi maupun pengurus bagian yang berkompentensi atas terjadinya kecelakaan tersebut saja. Aplikasi hubungan antara pasal yang dilanggar dan siapa yang bertanggung jawab, dijelaskan sebagai berikut :
2.2.1 Terkait dengan kondisi pesawat sebelum lepas landas. Sesuai pasal 16 jo pasal 60 UU nomor 15 tahun 1992, bahwa yang bertanggung jawab adalah bagian operasional lapangan pesawat sebelum lepas landas di Bandara yang melakukan pengecekan terakhir mengenai kondisi pesawat. Di mana tim yang menyatakan kepada pilot bahwa pesawat kondisi siap (plane on fit condition and ready) untuk diberangkatkan, karena ini memang murni kelalian atau sengaja membiarkan kerusakan pada navigasi khususnya IRS untuk tetap melanjutkan penerbangan. Dan apabila terjadi kesalahan ini merupakan tindak pidana yang tergolong kejahatan.
2.2.2 Terkait kelaikan pesawat udara, sesuai pasal 19 (1) jo pasal 63 UU nomor 15 tahun 1992 tentang penerbangan, maka seharusnya yang bertanggung jawab adalah pihak dishub udara yang mengeluarkan sertifikat kelaikan udara, dan maskapai Adam Air bagian operasinal pesawat apabila belum memiliki sertifikat kelaikan udara. Apabila terbukti ada tindak pidana ini, maka merupakan pelanggaran.
2.2.3 Terkait dengan human error seperti apa yang disampaikan KNKT pada hasil investigasi, di mana pilot tidak menguasai Quick Reference Hand Book karena terindikasi hanya membaca judulnya saja tanpa melakukan prosedur tertuang. Hal ini terkait dengan SDM yang direkrut oleh maskapai Adam Air dan pola pendidikan dan pelatihan yang belum memenuhi standart yang ditentukan pemerintah. Sesuai pasal 18 (1) jo pasal 62 UU nomor 15 tahun 1992 tentang penerbangan, maka yang seharusnya bertanggung jawab adalah bagian personalia sub bidang perekrutan pilot, sebab tidak melakukan penyaringan dengan cukup baik dan sesuai standart, sehingga diketahui apakah merupakan kelalian atau justru terjadi kolusi pada saat rekrutmen, dan apabila terbukti maka tindak pidana ini tergolong dalam pelanggaran. Kemudian sesuai pasal 18 (2) UU nomor 15 tahun 1992 tentang penerbangan, bahwa dengan melihat tindakan pilot dan co-pilot tidak menguasai Quick Reference Hand Book boing 737 seri 400 maka perlu di tanyakan kualitas dari pendidikan dan pelatihan pilot berasal, apakah sudah memenuhi standart pendidikan dan pelatihan pilot sesuai dengan peraturan pemerintah yang diatur dalam pasal 18 (3).
2.2.4 Kemudian untuk bagian ini terkait distribusi ganti rugi kepada ahli waris yang bervariasi antara Rp 825 juta dan 400.000 dolar AS atau sekitar Rp 3,8 miliar. Maka seharusnya yang bertanggung jawab adalah pihak yang menyalurkan dana ganti rugi dari maskapai Adam Air, dan atau pihak assuransi yang memberi santunan kepada ahli waris yang tidak proposiaonal, apabila terbukti maka keduanya merupakan tindak pidana kejahatan.

BAB III PENUTUP
Bahwa penangan kasus kecelakaan maskapai Adam air di Mejene, belum dilakukan law enforcement berdasarkan asas keadilan dan kepastian hukum. Sebab aplikasi dalam penerapan UU nomor 15 tahun 1992 tentang penerbangan saat itu (sekarang diperbaharui UU nomor 1 tahun 2009) yang hanya berorientasi pada permasalahan perdata yaitu ganti rugi, sebenarnya apabila dikaji terdapat unsur-unsur pidana terkait korporasi yang dapat membuktikan kebenaran secara ilmiah guna mengetahui faktor-faktor terjadinya kecelakaan lebih tepat.
Dengan diterapkannya law enforcement yang mutlak, diharapkan kejadian ini dapat menjadi antisipasi dari kejahatan korporasi yang dilakukan oleh perusahaan maskapai lainnya dan atau pemerintah dalam hal ini dishub udara untuk lebih profesional dalam kinerja pengawasan, pengontrolan, dan pengendalian terhadap maskapai udara lainnya.


DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan. 2004. Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia No….Tahun….tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Direktorat Jendral Perhubungan Udara. 1992. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.
-------2009. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Irsan, Koesparmono. 2007. Kejahatan Korporasi dan Korupsi, Universitas Pembangunan Veteran, Jakarta.
Reksodiputro, B. Mardjono. 1989. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Korporasi, Semarang.
Sjahdeini, Sutan Remy. Ajaran Pertanggungjawaban Pidana Korporasi didalam Kapita Selekta Penegakan Hukum di Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta.