Minggu, 12 Desember 2010

KEJAHATAN KORPORASI (STUDI KAJIAN KASUS KECELAKAAN MASKAPAI ADAM AIR)


BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang
Dalam kurun tiga tahun terakhir pada sektor penerbangan Indonesia telah mengalami beberapa kejadian kecelakaan baik yang mengakibatkan kerugian jiwa dan materiil yang berskala kecil sampai dengan skala besar. Salah satu contohnya adalah kejadian kecelakaan yang menimpa maskapai Adam air tanggal 1 januari 2007. Kecelakaan pada tanggal 7 januari 2007 oleh maskapai Adam Air dengan nomor penerbangan 574 dari Jakarta - Manado via Surabaya jatuh di Selat Makassar di kedalaman lebih dari 2.000 meter. Kecelakaan tersebut menelan korban 102 orang penumpang dan awak pesawat tewas, dengan jasad seluruh penumpang dan bangkai pesawat tetap terkubur di dasar laut.
Berdasarkan hal tersebut diatas penulis akan mencoba mengkaji kasus kecelakaan pesawat udara oleh maskapai Adam Air. Sebelumnya penulis mencoba menggambarkan secara singkat kronologis kejadian tersebut.
Kronologis singkat.
Kronologis jatuhnya pesawat terbang Adam Air Penerbangan 574 rute Jakarta-Surabaya-Manado, pada 1 Januari 2007, yang menewaskan 96 penumpang dan 6 awak pesawat. Pesawat lepas landas pada pukul 12.55 WIB dari Bandara Juanda (SUB), Surabaya, Indonesia pada tanggal 1 Januari 2007. Seharusnya pesawat tiba di Bandara Sam Ratulangi (MDC), Manado pukul 16.14 WITA. Pesawat kemudian dilaporkan putus kontak dengan Pengatur lalu-lintas udara (ATC) Bandara Hasanuddin Makasar setelah kontak terakhir pada 14:53 WITA. Pada saat putus kontak, posisi pesawat berada pada jarak 85 mil laut barat laut Kota Makassar pada ketinggian 35.000 kaki. Pada 25 Maret 2008, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengumumkan bahwa pilot terlibat dan menghadapi problem navigasi yakni sistem panduan navigasi yang bermula dari kerusakan Inertial Reference System (IRS). Kerusakan IRS terjadi 13 menit sebelum kecelakaan. Ketika di ketinggian 35.000 kaki dan kru memutuskan IRS Mode selector unit No-2 (kanan) ke posisi mode ATT (attitude), auto pilot jadi mati. Akibatnya pesawat secara perlahan berbelok (roll) ke kanan hingga terdengar peringatan sistim arah pesawat (bank angle) karena miring ke kanan hingga melewati 35 derajat. Menurut Dirjen Perhubungan Udara, Departemen Perhubungan, Budhi Muliawan Suyitno, situasi pesawat bergetar hebat sehingga struktur kendali pesawat rusak.
Beberapa saat kemudian AdamAir telah memberikan ganti rugi kepada para korban jatuhnya pesawat AdamAir di perairan Majene,Sulawesi Barat, pada 1 Januari 2007. ganti rugi tersebut ada yang menerima Rp 825 juta dan adapula yang mendapat 400.000 dolar AS atau sekitar Rp 3,8 miliar (Harian Kompas, Rabu tanggal 2 April 2008).
Dengan melihat kronologis diatas penulis akan mencoba mengkaji penanganan kasus kecelakaan Adam Air tanggal 1 Januari 2007 adanya unsur-unsur pidana selain permasalahan perdata yang sudah dilakukan melalui ganti rugi (sesuai kronologis diatas).

1.2 Rumusan masalah
Dengan melihat latar belakang yang meliputi kronologis diatas penulis merumuskan permasalahan, yaitu Apakah ada indikasi pidana dalam penanganan kasus kecelekaan Adam Air yang berkaitan dengan korporasi ¿

1.3 Sistematika
Sistematika yang digunakan penulis dalam menulis makalah, sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan
Bab II Pembahasan
Bab III Penutup


BAB II PEMBAHASAN
Sebelum melanjutkan Bab ini penulis mencoba mengkaji pengertian kejahatan korporasi. Istilah “korporasi” itu sendiri berasal bahasa Inggris disebut corporation, dalam bahasa Belanda disebut corporatic, dan dalam bahasa Jerman disebut korporation, secara etimologi berasal dari kata corporatio dalam bahasa latin. Dalam hal konteks korporasi apabila dilihat dari segi hukum menurut pendapat Koesparmono Irsan (2007; 38), bahwa korporasi mempunyai arti sempit dan arti yang luas. Menurut arti yang sempit, korporasi adalah badan hukum. Dalam arti luas, korporasi dapat badan hukum maupun bukan badan hukum.
Dalam RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) 2004, memberikan pengertian korporasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 166, yaitu :
Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan /atau kekayaan, baik merupakan badab hukum maupun bukan badan hukum.
Definisi mengenai apa yang dimaksud dengan korporasi adalah sehubungan dengan ketentuan pasal sebelumnya, yaitu pasal 165, yang menentukan bahwa yang dimaksud dengan “setiap orang” adalah “termasuk korporasi” (Sutan Remy Sjahdeini, 2006 ; 326)
Maka definisi dari “kejahatan korporasi” itu sendiri, Clinard dan Yeager (Koesparmono Irsan, 2007; 5) memberikan definisi corporate crime, sebagai berikut :
A corporate crime is any act committed by corpo-ration that punished by the state, regards of wheather is pubished under administrative, civil,, or criminal law. This broadens the definision of crime beyond the criminal law, which is the only govermental action for ordinary offender.
Sehingga makna dari kejahatan korporasi inilah sangat luas mencakupi seluruh jenis pidana yang dilakukan oleh korporasi itu sendiri. Kejahatan korporasi sebagai pelanggaran hukum yang dilakukan oleh corpotare executive atau para pelakunya tergolong kaya, dan kejahatan korporasi memberi indikasi adanya pembagian kekuasaan. Bentuk korporasi yang besar atau multi-national mengakibatkan dampak yang negatif pada sektor politik, sosial, ekonomi dan pertahanan keamanan (Koesparmono Irsan, 2007; 6-7)

2.1 Landasan Yuridis Indikasi Unsur Pidana
Atas kejadian yang menimpa maskapai Adam Air menimbulkan permasalahan khususnya dari korban penumpang dan awak pesawat. Pada dasarnya hak-hak pengguna jasa penerbangan dilindungi hak-haknya dalam sistem hukum udara internasional. Konvensi Warsawa 1929 mengatur pertanggungjawaban pengangkut (jasa penerbangan) terhadap pihak kedua (penumpang). Aturan ini sudah di transform ke dalam ordonansi pengangkutan udara Indonesia (Staatsblad 1939: 100, dan UU Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan yang diperbaharui UU Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan).
Sebenarnya menurut penulis law enforcement belum dilakukan secara mutlak oleh para penegak hukum. Karena, aplikasi penerapan UU nomor 15 tahun 1992 tentang Penerbangan belum dijalankan secara maksimal (untuk penggunaan UU masih menggunakan UU nomor 15 tahun 1992 belum menggunakan UU nomor 1 tahun 2009, diasumsikan kejadian pada waktu itu tahun 2007 sehingga masih menggunakan UU nomor 15 tahun 1992). Dengan melihat asas kepastian hukum (Koesparmono Irsan, 2007; 119), maka pihak maskapai Adam Air sesuai prinsip absolute liability atau tanggung jawab (konvensi Warsawa 1929) harus juga menaati UU nomor 15 tahun 1992 terkait unsur-unsur pidananya. Dalam hal ini membuktikan secara ilmiah berdasarkan ketentuan keamanan dan keselamatan penerbangan terkait penyebabnya, pertama, terkait kondisi pesawat disebabkan kerusakan pada sistem navigasi yang disebabkan rusaknya Inertial Reference System (IRS), dan atau kedua, apakah benar terjadi human error sesuai pendapat Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) disebabkan pilot tidak menguasai Quick Reference Hand Book.
Pertama, terkait kondisi pesawat disebabkan kerusakan pada sistem navigasi yang disebabkan rusaknya Inertial Reference System (IRS). Perlu pembuktian lebih mendalam terkait pasal 60 UU nomor 15 tahun 1992, sebagai berikut :
Barangsiapa menerbangkan pesawat udara yang dapat membahayakan keselamatan pesawat udara, penumpang dan barang, dan/atau penduduk, atau mengganggu keamanan dan ketertiban umum atau merugikan harta benda milik orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).
Pasal ini terkait dengan ketentuan pesawat udara diperbolehkan untuk dioperasionalkan setelah lolos pemeriksaan dan pengujian kelaikan udara, hal ini terkait pasal 19 ayat 1 UU nomor 15 tahun 1992, sebagai berikut :
Setiap pesawat udara yang dipergunakan untuk terbang wajib memiliki sertifikat kelaikan udara.
Unsur pidana mengenai kelaikan udara diatur dlm pasal 63 UU nomor 15 tahun 1992, sebagai berikut :
Barangsiapa mengoperasikan pesawat udara yang tidak memiliki sertifikat kelaikan udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah).
Dengan demikian maka dapat dibuktikan secara law enforcement mengenai kerusakan alat terkait navigasi merupakan kesengajaan atau kelalian, dan atau justru kondisi pesawat yang tidak layak beroperasi sesau standart kelaikan udara.
Kedua, berkaitan dengan terjadi human error sesuai pendapat KNKT disebabkan pilot tidak menguasai Quick Reference Hand Book. Hal ini berkaitan dengan kemampuan seorang pilot itu sendiri sesuai dengan standart yang telah ditentukan dalam mengoperasionalkan pesawat jenis Boeing 737 seri 400. Hal tersebut dapat dibuktikan berdasarkan pasal 18 ayat 1 dan 2 UU nomor 15 tahun 1992, yaitu :
(1) Setiap personil penerbangan wajib memiliki sertifikat kecakapan.
(2) Sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan.
Kemudian pasal yang dilanggar, yaitu sesuai ketentuan pasal 62 UU nomor 15 tahun 1992 :
Barangsiapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah).
Maka dengan pembuktian diatas maka dapat diketahui bagaimana proses perekrutan pilot pada perusahaan maskapai Adam Air dan atau proses pada pendidikan dan pelatihan sudah sesuai prosedur standarisasi yang ditetapkan.
Kemudian beberapa saat setelah kejadian, para ahli waris penumpang Adam Air melakukan gugatan kepada maskapai Adam Air di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Dan secara perdata dimenangkan oleh ahli waris penumpang, sehingga maskapai ini membayar semua kerugian yang timbul akibat jatuhnya pesawat Adam Air yang menewaskan seluruh penumpangnnya. Namun pada pelaksanaan penggantian kerugian justru menimbulkan beberapa permasalahan baru, pasalnya penggantian bervariasi antara ada yang menerima Rp 825 juta dan adapula yang mendapat 400.000 dolar AS atau sekitar Rp 3,8 miliar. Yang menerima Rp 825 juta yang mengurus di Jakarta, namun yang menerima 400.000 dolar AS atau sekitar Rp 3,8 miliar mereka langsung mengurus sendiri ke ke Kanada (Harian Kompas, Rabu tanggal 2 April 2008). Berkaitan hal tersebut menurut penulis tidak sesuai dengan azas keseimbangan, di mana tidak terwujudnya kesempatan kepada para ahli waris (selaku konsumen) dan pihak maskapai Adam Air (selaku pelaku usaha) untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil (Koesparmono Irsan, 2007; 118). Dan hal ini juga bertentangan dengan prinsip pasal 28H dan 28I UUD 1945, bahwa setiap orang mendapatkan kesempatan dan perlakuan yang sama, dengan demikian seharusnya para ahli waris mendapat perlakuan yang sama ganti rugi. Sehingga diperlukan penyelidikan maupun pendalaman oleh penegak hukum mengenai aliran dana tersebut, untuk mengetahui adanya unsur-unsur pidana penggelapan atau unsur perdata lainnya oleh pihak Adam air dan atau pihak perusahaan asuransi yang terkait dengan maskapai Adam Air.

2.2 Pertanggungjawaban Pihak Korporasi
Maskapai Adam Air merupakan suatu bentuk perusahaan jadi merupakan korporasi. Berkaitan dengan pembebanan pertanggung jawaban pidana kepada korporasi, menurut Prof. Mardjono Reksodiputro (1989;9) terdapat tiga sistem, sebagai berikut :
a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab;
b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab;
c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertangggung jawab.
Korporasi mempunyai anggota-anggota sebagai pendiri dan pengurus, tetapi para pendiri pengurus tersebut terpisah-pisah. Manakala korporasi melakukan tindak pidana, maka sebenarnya yang bertanggung jawab hanya mengikat korporasinya, bukan pengurus dan pendirinya / pemegang saham (Koesparmono Irsan, 2007;40).
Dengan demikian pertanggung jawaban atas law enforcement yang terkait unsur-unsur pidana pada kejadian maskapai Adam Air tersebut adalah para korporasi maupun pengurus bagian yang berkompentensi atas terjadinya kecelakaan tersebut saja. Aplikasi hubungan antara pasal yang dilanggar dan siapa yang bertanggung jawab, dijelaskan sebagai berikut :
2.2.1 Terkait dengan kondisi pesawat sebelum lepas landas. Sesuai pasal 16 jo pasal 60 UU nomor 15 tahun 1992, bahwa yang bertanggung jawab adalah bagian operasional lapangan pesawat sebelum lepas landas di Bandara yang melakukan pengecekan terakhir mengenai kondisi pesawat. Di mana tim yang menyatakan kepada pilot bahwa pesawat kondisi siap (plane on fit condition and ready) untuk diberangkatkan, karena ini memang murni kelalian atau sengaja membiarkan kerusakan pada navigasi khususnya IRS untuk tetap melanjutkan penerbangan. Dan apabila terjadi kesalahan ini merupakan tindak pidana yang tergolong kejahatan.
2.2.2 Terkait kelaikan pesawat udara, sesuai pasal 19 (1) jo pasal 63 UU nomor 15 tahun 1992 tentang penerbangan, maka seharusnya yang bertanggung jawab adalah pihak dishub udara yang mengeluarkan sertifikat kelaikan udara, dan maskapai Adam Air bagian operasinal pesawat apabila belum memiliki sertifikat kelaikan udara. Apabila terbukti ada tindak pidana ini, maka merupakan pelanggaran.
2.2.3 Terkait dengan human error seperti apa yang disampaikan KNKT pada hasil investigasi, di mana pilot tidak menguasai Quick Reference Hand Book karena terindikasi hanya membaca judulnya saja tanpa melakukan prosedur tertuang. Hal ini terkait dengan SDM yang direkrut oleh maskapai Adam Air dan pola pendidikan dan pelatihan yang belum memenuhi standart yang ditentukan pemerintah. Sesuai pasal 18 (1) jo pasal 62 UU nomor 15 tahun 1992 tentang penerbangan, maka yang seharusnya bertanggung jawab adalah bagian personalia sub bidang perekrutan pilot, sebab tidak melakukan penyaringan dengan cukup baik dan sesuai standart, sehingga diketahui apakah merupakan kelalian atau justru terjadi kolusi pada saat rekrutmen, dan apabila terbukti maka tindak pidana ini tergolong dalam pelanggaran. Kemudian sesuai pasal 18 (2) UU nomor 15 tahun 1992 tentang penerbangan, bahwa dengan melihat tindakan pilot dan co-pilot tidak menguasai Quick Reference Hand Book boing 737 seri 400 maka perlu di tanyakan kualitas dari pendidikan dan pelatihan pilot berasal, apakah sudah memenuhi standart pendidikan dan pelatihan pilot sesuai dengan peraturan pemerintah yang diatur dalam pasal 18 (3).
2.2.4 Kemudian untuk bagian ini terkait distribusi ganti rugi kepada ahli waris yang bervariasi antara Rp 825 juta dan 400.000 dolar AS atau sekitar Rp 3,8 miliar. Maka seharusnya yang bertanggung jawab adalah pihak yang menyalurkan dana ganti rugi dari maskapai Adam Air, dan atau pihak assuransi yang memberi santunan kepada ahli waris yang tidak proposiaonal, apabila terbukti maka keduanya merupakan tindak pidana kejahatan.

BAB III PENUTUP
Bahwa penangan kasus kecelakaan maskapai Adam air di Mejene, belum dilakukan law enforcement berdasarkan asas keadilan dan kepastian hukum. Sebab aplikasi dalam penerapan UU nomor 15 tahun 1992 tentang penerbangan saat itu (sekarang diperbaharui UU nomor 1 tahun 2009) yang hanya berorientasi pada permasalahan perdata yaitu ganti rugi, sebenarnya apabila dikaji terdapat unsur-unsur pidana terkait korporasi yang dapat membuktikan kebenaran secara ilmiah guna mengetahui faktor-faktor terjadinya kecelakaan lebih tepat.
Dengan diterapkannya law enforcement yang mutlak, diharapkan kejadian ini dapat menjadi antisipasi dari kejahatan korporasi yang dilakukan oleh perusahaan maskapai lainnya dan atau pemerintah dalam hal ini dishub udara untuk lebih profesional dalam kinerja pengawasan, pengontrolan, dan pengendalian terhadap maskapai udara lainnya.


DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan. 2004. Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia No….Tahun….tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Direktorat Jendral Perhubungan Udara. 1992. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.
-------2009. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Irsan, Koesparmono. 2007. Kejahatan Korporasi dan Korupsi, Universitas Pembangunan Veteran, Jakarta.
Reksodiputro, B. Mardjono. 1989. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Korporasi, Semarang.
Sjahdeini, Sutan Remy. Ajaran Pertanggungjawaban Pidana Korporasi didalam Kapita Selekta Penegakan Hukum di Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta.

Minggu, 28 November 2010

KAJIAN ILMU KEPOLISIAN DAN PEMBAHARUAN PENDIDIKAN TINGGI ILMU KEPOLISIAN

A. Latar Belakang.
Kepolisian, seperti juga kemiliteran, terdapat di setiap negara, baik negara modern, seperti Inggris, Amerika Serikat ataupun Jepang, manapun negara kuno seperti kerajaan Roma, Cina dan Majapait, meskipun dalam bentuk yang berbeda-beda dan dengan nama yang belum tentu sama. Sedangkan tugas dan fungsi kepolisian pada awalnya adalah merupakan seni (craft), akan tetapi, dalam perkembangan suatu masyarakat menjadi masyarakat yang modern, bertambah banyak jenis-jenis pekerjaan yang semula dianggap seni berubah menjadi profesi .
Sama seperti halnya kepolisian di Indonesia, apabila kita melihat sejarah kepolisian Indonesia yang mempunyai sendiri baik berupa bentuk, fungsi, tugas maupun kedudukan kepolisian yang berubah paradigma kepolisian sesuai tuntutan masyarakat pada jaman itu. Pada akhirnya dengan adanya globalisasi dan reformasi tahun 1998, maka tuntutan masyarakat atas kinerja profesi kepolisian di Indonesia diharapkan lebih profesional. Hal tersebut tersirat pada Ketetapan (Tap) MPR Nomor VI/MPR/ 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri serta Tap MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Dengan harapan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia dahulu mempunyai paradigma yang berfungsi sebagai alat kekuasaan, beralih kepada paradigma baru yang fungsinya sebagai pelindung, pengayom, pelayan dan penegak hukum, hal tersebut sesuai dengan UU No. 2 tahun 2002 pasal 13.
Arah perubahan Polri sangat terlihat pada dua tahun terakhir ini (antara tahun 2004 dan 2006) telah terjadi perubahan paradigma (kerangka berfikir) kepolisian (sebagai organisasi) yang signifikan. Proses perubahan tersebut bertujuan merubah profesi kepolisian yang lebih profesional. Makna polisi yang profesional yang dimaksud , adalah anggota yang mempunyai kemahiran (skill) dan pengetahuan (knowledge) secara khusus yang diperoleh melalui persiapan akademik ilmu pengetahuan tertentu (ilmu kepolisian), dapat diartikan bahwa profesional mengandung makna keterkaitan pada suatu profesi akademik (learned profession).
Untuk membentuk sumber daya manusia yang profesional merupakan salah satu faktor penting, hal tersebut hanya dapat dibentuk melalui seleksi rekrutmen dan pendidikan kepolisian yang benar. Sehingga diharapkan polisi yang profesional nantinya dapat menguasai pengetahuan keahlian terkait pada cabang ilmu yang bersangkutan, dan mempunyai kemampuan menganalisis dan mengatasi masalah-masalah sosial, meliputi ketertiban dan keamanan umum dalam masyarakat yang mengalami perubahan secara cepat, maka diperlukanlah suatu wadah perguruan tinggi yang dapat menampungnya (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian atau PTIK).


B. Kajian Ilmu Kepolisian
Istilah ilmu kepolisian di Indonesia merupakan suatu satu cabang ilmu pengetahuan yang baru. Ilmu kepolisian atau police science dapat juga dinamakan kajian ilmu kepolisian atau police studies. Kalau dinamakan kajian ilmu kepolisian, maka yang dimaksudkan kegiatan-kegiatan ilmiah ilmu kepolisian. Di mana dalam ilmu kepolisian terdapat dua satuan permasalahan yang berdiri sendiri tetapi saling berkaitan dan mempengaruhi; yaitu, (1) masalah sosial dan penanganannya.
Sehingga ilmu kepolisian dapat didefinisikan, yaitu sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah-masalah sosial dan isu-isu penting serta pengelolaan keteraturan sosialdan moral dan masyarakat, mempelajari upaya-upayapenegakkan hukum dan keadilan, dan memepelajari tehnik-tehnik penyidikan dan penyelidikan berbagai tindak kejahatan serta cara-cara pencegahannya.
Berkembangannya ilmu kepolisian di Indonesia yang positif membuahkan perdebatan pendapat, menurut Prof. Harsja W. Bachtiar bahwa ilmu kepolisian di Indonesia merupakan kajian dengan pendekatan multi bidang (multidisplinary). Yang dimaksud multidisciplinary di sini adalah mencoba untuk memahami suatu masalah untuk dapat diselesaikan guna mendapatkan solusi atas masalah tersebut sehingga dibutuhkan beberapa ilmu pengetahuan untuk menyelesaikannya.
Sedangkan menurut Prof. Parsudi Suparlan bahwa perkembangan ilmu kepolisian di Indonesia merupakan kajian dengan pendekatan antar bidang (interdisplinary). Dikatakan interdisciplinary apabila suatu masalah sudah ada dalam bingkai penyelesaiannya, dalam artian macam metode ataupun teori sudah menjadi satu bingkai untuk memecahkan masalah tersebut.
Dengan melihat perkembangan secara realita, menurut Prof Mardjono menjelaskan bahwa secara garis besar ilmu kepolisian awalnya memang multidisplinary tetapi perlahan-lahan sudah mulai menjadi interdisciplinary sesuai dengan harapan Prof. Parsudi Suparlan, walaupun Prof. Harsja W. Bachtiar masih menganggapnya sebagai multidisciplinary.
Corak antar bidang (interdisiplinar) yang didisain tersebut harus terfokus pada seperangkat pengetahuan yang nantinya akan dapat digunakan oleh lulusannya untuk digunakan sebagai acuan dalam penerapan tugas-tugas profesinya. Untuk itu, sebuah program pendidikan tinggi ilmu kepolisian yang ada di lembaga kepolisian sudah seharusnya mendisain sebuah kurikulum yang coraknya antar bidang (interdisiplinary), hal tersebut sama seperti yang diterapkan di KIK UI saat ini. Di mana kurikulum yang terdiri atas sejumlah mata pelajaran atau mata kuliah antara satu sama lain saling berkaitan dan saling berhubungan, namun tetap dalam satu bingkai yang bulat, dan isi dari ilmu pengetahuan tersebut berupa suatu kerangka teori yang meliputi metode dalam menganalisa serta memahami suatu permasalahan untuk penerapannya yang cocok dengan situasi serta kondisi lingkungan setempat.
Kurikulum ilmu kepolisian sendiri pertama kali didisain oleh Prof. Djokosoetono di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian tahun 1950, di mana beliau mempunyai keinginan dan cita-cita agar pendidikan perwira kepolisian mencakup pula pemahaman tentang masyarakat indonesia. Dalam rangka mendukung kurikulum ilmu kepolisian pertama tersebut Prof Djokosoetono menambahkan beberapa referensi ilmu pengetahuan lainnya pada saat itu, antara lain pemahaman tentang hukum adat oleh Prof. Hazairin, pemahaman tentang hukum Islam oleh Prof. Tjan Tjoe Siem, dan pemahaman tentang kebudayaan dan bahasa Indonesia oleh Prijono. Dan Prof. Djokosoetono juga menganut bahwa ilmu kepolisian sebagai bagian dari ilmu-ilmu sosial (sociale wetenschappen), kemudian ilmu kepolisian tersebut lebih lanjut dikembangkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan pada akhirnya menjadi Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia.

C. Tantangan Ilmu Kepolisian Masa Depan
Sebelum membicarakan mengenai tantangan kedepan alangkah tepatnya penulis memberikan referensi terlebih dahulu tentang gambaran permasalahan secara umum yang dihadapi oleh Polri. Permasalahan-permasalahan tersebut terkait dengan kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan tugas Polri yang mecakup hal sebagai berikut :
1. Pemberian pelayanan yang dikaitkan dengan imbalan uang;
2. Prosedur penanganan pengaduan masyarakat yang berbelit-belit, dan penyidikan yang hanya di fokuskan pada kasus-kasus yang terang dan atau menarik;
3. Sikap arogan dan otoritian, bahkan tindak kekerasan dan pelanggaran hak-hak asazi manusia;
4. Backing dan intervensi ataan yang sering dikeluhkan oleh anggota dilapangan.
Ke-empat poin diatas merupakan rangkuman atas perilaku-perilaku menyimpang profesi kepolisian yang tidak profesional sama sekali. Salah satu contoh kongkrit dari rangkuman ke-empat poin diatas, yaitu kasus yang akhir-akhir ini terjadi yaitu penanganan kasus Mantan Ketua KPK oleh Bareskrim Mabes Polri, di mana kita dapat melihat penanganan kasus yang kurang profesional dikarenakan adanya kepentingan oleh salah satu pihak.
Apabila dilihat dari ke-empat rangkuman diatas dapat disimpulkan bahwa kesalahan-kesalahan dalam penanganan maupun perilaku-perilaku menyimpang profesi kepolisian lebih cenderung disebabkan karena faktor kesalahan manusia (human error). Yang menyebabkan terjadinya faktor kesalahan manusia (human error) disebabkan karena mutu dari sumber daya manusia itu sendiri yang rendah yang tidak profesional. Hal tersebut sudah tersirat dalam bab I.
Dalam sistem demokrasi sekarang ini, seharusnya polri selaku aparat penegak hukum dan kamdagri memberikan perhatian serta perlindungan hukum terhadap 2 (dua) hal unsur mutlak yang dimiliki masyarakat dan diperhatikan, yaitu; pertama, asas kebebasan, yang meliputi kebebasan menyatakan pikiran dan pendapat, berkelompok dengan orang yang sepaham dan mengatur hidupnya sesuai keyakinan. Kedua, asas persamaan, yang mencakup persamaan di muka umum untuk semua warga negara.
Adanya tuntutan kinerja polisi dalam esensi demokrasi, maka mau tidak mau polisi harus merubah peranan profesi kepolisian sesuai dengan harapan masyarakat. Harapan masyarakat tersebut berkaitan dengan fungsi kepolisian, menurut Prof. Mardjono Reksodiputro ada 2 (dua) fungsi kepolisian yang diharapkan, yaitu penegak hukum (law enforcement) dan penyelesaian masalah (conflict management). Khusus untuk fungsi yang kedua menurut Prof. Soedjipto Raharjo yaitu problem solving. Menurut penulis lebih tepat menggunakan kata conflicy management sesuai dengan Prof. Mardjono Reksodiputro karena berdasar atas 2 (dua) asas demokrasi yaitu asas kebebasan dan persamaan (seperti penjelasan paragraf di atas).
Dengan demikian keberadaan polisi dalam masyarakat akan sangat mempengaruhi fungsi dalam struktur kehidupan. Namun tanpa disadari lingkungan kehidupan masyarakat dapat berubah dengan cepat, dikarenakan pengaruh dari sukubangsa di Indonesia yang sangat bermacam-macam dan mempunyai beraneka ragam budaya yang saling berinteraksi. Maka dikatakan masyarakat Indonesia sangat majemuk yang mempunyai peradaban kehidupan yang berbeda-beda. Dengan demikian secara langsung masyarakat Indonesia sangat menuntut fungsi kepolisian, yaitu penegak hukum (law enforcement) dan penyelesaian masalah (conflict management) dapat dijalankan secara profesional untuk masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat yang majemuk. Dengan harapan tidak akan terjadi gesekan atas perbedaan suku bangsa, budaya maupun norma-norma.
Agar fungsi kepolisian sebagai penegak hukum (law enforcement) dan penyelesaian masalah (conflict management) dapat dilaksanakan secara profesional oleh polisi, maka diperlukan penekanan paradigma profesi kepolisian yang sipil. Perlunya penekanan pada paradigma polisi yang sipil, karena adanya ambivalensi masyarakat terhadap peran dan fungsi polisi, dalam hal ini polisi bisa memerankan sikap perannya polisi sebagai penegak hukum (law enforcement), maupun sikap perannya polisi sebagai tempat penyelesaian masalah (conflict management) yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk.
Maka untuk menggambarkan abivalensi masyarakat terhadap peran dan fungsi polisi dengan merujuk dua muka (penampilan) polisi, yaitu “muka angker” dan “muka tersenyum”.
Untuk fungsi pertama, profesi polisi yang ”muka angker” memang sangat diperlukan dalam menjalankan fungsi kepolisian sebagai penegak hukum (law enforcement). Karena polisi menegakkan hukum pidana dengan mencegah masyarakat sebagai korban kejahatandan kalaupun warga ada yang menjadi korban, polisi harus mengungkapkan korban tersebut dan menangkap pelakunya. Terutama terhadap kejahatan dengan kekerasan dan kejahatan serius (violent and serrious crimes) terdapat desakan masyarakat yang kuat agar polisi melakukan tugasnya dengan cepat.
Kemudian fungsi kedua, profesi kepolisian yang “muka tersenyum” dalam rangka pemeliharaan keamanan dan ketertiban sesuai fungsi kepolisian sebagai penyelesaian masalah (conflict management). Sosok polisi ideal disini adalah seorang yang pandai (intelegen), mempunyai “akal sehat” (common sense), menunjukkan keramahan (friendliness), mau menghargai warga individu (courtesy) dan punya kesabaran (patience). Dengan polisi yang tersenyum siap membantu melayani warga masyarakat sebagai pengayom, perlindungan dan pelayanan untuk mewujudkan kehidupan dalam masyarakat yang aman dan tertib.

C. Pembaharuan Pendidikan Tinggi Ilmu Kepolisian.
Untuk menumbuhkan suatu profesi kepolisian serta peranan yang diharapkan oleh masyarakat dari para anggota profesi ini memperlihatkan adanya tuntutan agar para anggota kepolisian, sekurang-kurangnya para perwiranya, memiliki kemampuan profesional yang dalam masyarakat modern hanya dapat diberikan pada tingkat pendidikan tinggi. Masalah-masalah yang dihadapi oleh kepolisian, masalah-masalah yang erat terkait pada perkembangan ekonomi, politik, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, hukum, masyarakat, kebudayaan, dan agama dan komunikasi massa yang terus menerus menjadikan masalah-masalah ini bertambah banyak dan bertambah kompleks, menuntut kemampuan profesional yang hanya diperoleh di perguruan tinggi.
Dengan demikian bahwa untuk mewujudkan suatu profesi kepolisian yang bisa memenuhi harapan masyarakat dapat dan mampu mengemban fungsi kepolisian sebagai penegak hukum (law enforcement) dan penyelesaian masalah (conflict management), maka sangat perlu dibentuk sosok polisi yang sipil berlandaskan pada “muka tersenyum” dan profesional bersikap posisitif terhadap asas kebebasan dan asas persamaan. Maka profesi kepolisian yang dapat memenuhi semua unsur tadi adalah profesi akademik.
Untuk membentuk suatu profesi kepolisian yang intelektual tidak cukup dengan mengandalkan lulusan PTIK yang mempunyai status S1, namun akan lebih tepatnya para perwira sebagai profesi kepolisian ini akan lebih efisien dalam menghadapi tantangan kepolisian ke depan dengan pendidikan Kajian Ilmu Kepolisian yang mempunyai status S2. Karena pendidikan dalam program studi Kajian Ilmu Kepolisian di Universitas Indonesia menghasilkan seorang polisi intelektual dengan tampilan sosok yang baru (“muka tersenyum” dan profesional, dapat bersikap positif terhadap asas kebersamaan dan asas persamaan) maka sanggup menjadi “problem solver” (conflict manajer) dalam masyarakatnya.
Yang dimaksud polisi intelektual ini, menurut Prof. Mardjono Reksodiputro yaitu seorang perwira polisi mampu dan mau melakukan studi tentang masalah-masalah warga dalam komoditi di mana dia bertugas, refleksi atas pekerjaan kepolisian dan secara kreatif dapat “berspekuliasi” tentang sebab-sebab masalah tersebut unutk mencari solusi bersama-sama anggota komuniti yang bersangkutan.
Dengan demikian bahwa PTIK selaku salah satu perguruaan tinggi di bawah naungan lembaga kepolisian, seyogyanya selaku motorik penunjang pengembangan ilmu kepolisian bisa mendorong seluruh lulusan S1 Sarjana Ilmu Kepolisian harus mengikuti pendidikan S2 Kajian Ilmu Kepolisian, khususnya bagi para perwira polisi yang akan menduduki jabatan sebagai kepala kepolisian tingkat kabupaten (Kapolres). Karena seperti halnya di lapangan bahwa seorang kepala kepolisian setingkat polres akan secara langsung bersentuhan dengan masyarakat yang komunitasnya sudah cukup luas, dengan demikian pencegahan dan penanggulangan secara dini akan lebih cepat dan tepat sarasan sehingga efek dari permasalahan tersebut tidak menimbulkan keresahan masyarakat. Tujuan lainnya, diharapkan kapolres selaku pembina fungsi dapat mendorong kemajuan dalam membentuk anggotanya lebih profesional, dengan secara tidak langsung mengarah kepada polisi sipil yang mempunyai sikap seperti yang sudah dijelaskan di atas, maka tujuan dari fungsi kepolisian selaku penegak hukum (law enforcement) dan penyelesaian masalah (conflict management) dapat berdayaguna.
Kemudian adanya beberapa pandangan bahwa untuk kader pimpinan polri masa depan harus melalui pendidikan Kajian Ilmu Kepolisian tingkat doktor. Karena menurut para pakar ilmu kepolisian seperti Prof. Harsja W. Bachtiar, Prof Parsudi Suparlan, Prof. Mardjono Reksodiputro dan masih banyak lagi bahwa pendidikan tingkat doktor nantinya lulusannya mempunyai kemampuan dapat mengobati atau memperbaiki sesuatu kesulitan yang dirasakan sebagai masalah yang merugikan dalam kehidupan manusia.
Selain melakukan perubahan profesi polisi kearah profesi akademik yang menghasilkan seorang polisi intelektual, maka dipandang perlu juga melakukan pengembangan terhadap proses belajar mengajarnya agar keluaran atau mutu mahasiswa dapat ditingkatkan. Unsur-unsur tersebut yaitu pengajar atau dosen dan mahasiswa, silabus dan perpustakaan yang merupakan gudang ilmu.

D. Penutup
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dengan adanya perubahan secara umum yang ditandai dengan era globalisasi dan reformasi, maka secara langsung masyarakat menuntut perubahan polri kearah yang profesional. Dengan demikian polri harus mengubah fungsi polisi yang dulu sebagai alat kekuasaan menjadi alat penegakan hukum, pelindung, pengayom serta pelayan masyarakat. Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka polri harus menjadi profesi kepolisian yang profesinal, dengan mengembangkan ilmu kepolisian menjadi pandangan serta cara kerja dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. Sehingga polisi yang sudah mengikuti pendidikan ilmu kepolisian mampu dalam mengemban fungsi selaku penegak hukum (law enforcement) dan penyelesaian masalah (conflict management) di tengah-tengah masyarakat, dengan paradigma yang baru yaitu polisi sipil dengan “muka tersenyum” dan profesional serta bersikap positif terhadap asas kebebasan dan asas persamaan.
Untuk mewujudkan itu semua maka diperlukan pembaharuan dalam sektor pendidikan tinggi kepolisian, dengan mengikutkan para perwiranya bukan hanya pada Sarjana Ilmu kepolisian saja tetapi mengharuskan perwiranya mengikuti pendidikan Master dan Doktor. Karena lulusan Master atau S2 KIK adalah para ahli dalam bidangnya masing-masing, sedangkan lulusan Doktor atau S3 KIK sebagai ahli yang mampu mengobati berbagai penyakit sosial dan masyarakat. Hanya dengan kemampuan berpikir seperti itulah polisi akan dapat menghasilkan kebijaksanaan dan strategi bertindak yang tepat, yang memungkinkan petugas kepolisian di lapangan untuk berperan secara profesional sesuai dengan fungsinya dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat akan profesionalisme tersebut.



DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar, Harsja W., “Ilmu Kepolisian Suatu Cabang Ilmu Pengetahuan yang Baru. PT Grasindo. 1994.
Muhammad, Farouk. “Menuju Reformasi Polri”. Restu Agung. 2005.
Reksodiputro, Mardjono. “Kajian Ilmu Kepolisian dan Perkembangannya : Mengharapkan Ketrampilan Angkatan Muda Polri Dalam Tranformasi Organisasi Kepolisian”. 2009.
Reksodiputro, Mardjono. “Pembaharuan Pendidikan Tinggi Ilmu Kepolisian di Indonesia Menghadapi Tantangan Abad Ke-21”. Tantangan Globalisasi dan Reformasi. 2009.
Suparlan, Parsudi. “Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia”. Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian. 2004.
Suparlan, Parsudi. “Ilmu Kepolisian”. Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian. 2009.
Bahan Perkuliahan Prof. Mardjono Reksodiputro kepada Mahasiswa KIK UI Angkatan XIV.

PERUBAHAN MENUJU PROFESIONALISME POLRI (Dipandang dari sudut sejarah)

PERUBAHAN MENUJU PROFESIONALISME POLRI
(Dipandang dari sudut sejarah)

BAB I
P E N D A H U L U A N

1. Latar Belakang
Sebagaimana kebanyakan negara-negara di dunia, Indonesia juga tidak luput dari terpaan krisis moneter dan ekonomi yang bersifat global dan yang kemudian berkembang menjadi krisis politik, sosial-budaya, dan hukum. Dalam rangka mengatasi krisis dimaksud, Indonesia melaksanakan reformasi paradigmatik secara total menuju masyarakat madani yang menjunjung tinggi, antara lain, berlangsungnya proses demokratisasi dengan baik dan benar (Reformasi Menuju Polri yang Profesional, Mabes Polri, 1999).
Sejalan dengan hal tersebut, dalam hal perpolisian, tumbuh pula kesadaran bahwa fungsi kepolisian dalam era reformasi memerlukan penyesuaian dan perubahan dalam aspek struktural, instrumental, dan kultural, sesuai dengan paradigma baru perpolisian maupun tantangan tugas masa depan. Dengan maksud untuk menjunjung-tinggi demokrasi inilah, reformasi kepolisian kemudian diwujudkan melalui pembangunan profesionalisme dan kemandirian polisi yang terus diupayakan secara berkesinambungan.
Seperti yang dikemukakan oleh prof. Satjipto Rahardjo bahwa “perilaku polisi adalah wajah hukum sehari-hari”. Apabila kita menyadari bahwa polisi merupakan ujung tembok penegakan hukum, yang berarti :polisilah yang secara langsung berhadapan dengan masyarakat, dan khususnya, pelanggar hukum dalam usaha menegakan hukum . Dengan demikian, bagaimana perilaku polisi dengan cara-cara kotor dan korup, maka secara otomatis masyarakatpun memandang hukum sebagai sesuatu yang kotor dan korup, juga andaikan pemolisian dikerjakan dengan baik, maka wajah hukum punakan dipandang baik. Karena itu, pandangan masyarakat tentang polisi akan membawa implikasi pada pandangan mereka terhadap hukum. Pekerjaan pemolisian yang tertanam kedalam masyarakat dapat kita lihat bagaimana struktur sosial, kultural dan ideologis telah menentukan pemberian tempat kepada polisi dalam masyarakatnya, bagaimana ia diterima oleh masyarakat, dan bagaimana ia harus bekerja.
Pertumbuhan kepolisian dewasa ini telah berubah doktrinnya, menjadi “friends partners and dependers of citizen”, dalam arti polisi sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat dari pada urusan kekuasaan negara.Perihal sorotan berupa keritikan maupun hujatan terhadap kepolisian, umumnya komunitas aparat kepolisian sudah amat siap menghadapinya. Sebagian dikarenakan secara faktual polri memang nyata-nyata masih mengidap berbagai kelemahan sehingga pantas dikeritik. Sebagian lain dikarenakan kuatnya pemahaman bahwa semua keritik dan bahkan hujatan dari anggota-anggota masyarakat tersebut pada dasarnya adalah bentuk lain dari kecintaan masyarakat terhadap polri.
Pergeseran serta perubahan dalam fungsi yang harus dijalankan oleh suatu badan dalam masyarakat merupakan hal yang biasa. Hal yang agak istimewa adalah bahwa kita sekarang hidup dalam dunia dan masyarakat yang sedang mengalami perubahan yang sangat intensif dibandingkan dengan waktu-waktu yang lalu.
Berdasarkan uraian diatas, pada dasarnya persepsi tentang kinerja Polri merupakan masalah penting yang perlu dilihat lebih lanjut dalam dalam rangka mewujudkan profesionalisme polisi dalam menaggapi tantangan yang semakin berat.

2. Maksud dan tujuan.
a. Maksud.
Penulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran peranan Polri tentang sejarah perkembangan kepolisian dari masa ke masa.

b. Tujuan.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan profesionalisme anggota Polri.

4. Ruang lingkup.
Ruang Lingkup penulisannya meliputi dibatasi pada sejarah Polri serta peranan Polri dari masa ke masa.

5. Pendekatan.
Penulisan karya tulis tentang Perubahan Menuju Profesonalisme Polri ini menggunakan pendekatan sejarah, sebab dan akibat. Dengan pendekatan sejarah akan diuraikan perkembangan Polri sejak jaman Hindia Belanda sampai dengan jaman Reformasi. Pendekatan sebab dan akibat akan menguraikan peranan Polri yang Profesional dalam rangka menyikapi tuntutan masyarakat.

6. Tata Urut.
BAB I P E N D A H U L U A N
BAB II SEJARAH, KEDUDUKAN DAN PERANAN POLRI DARI MASA KE MASA
BAB III PROSES PROFESIONALISME POLRI MENJAWAB TUNTUTAN MASYARAKAT
BAB IV P E N U T U P
















BAB II
SEJARAH, KEDUDUKAN DAN PERANAN POLRI DARI MASA KE MASA

Sejarah Polri yang di dalamnya termasuk kedudukan dan peranannya, dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut :

1. Kepolisian pada jaman Hindia Belanda.
Pada jaman ini polda dasar kepolisian sudah ada baik fungsi, bentuk organisasi, kepangkatan dan pendidikan polisi namun posisi jabatan yang penting masih diduduki bangsa kolonial dan pribumi hanya pada agen polisi saja. Secara administratif dalam arti sempit (termasuk Sekolah Polisi di Sukabumi ), Lembaga Kepolisian diurus oleh Binnenlandsch Bestuur. Rechts Politie berada di bawah Procureur Generaal, tetapi operasional sepenuhnya berada di tangan Residen. Pada jaman itu, peran Polri semata – mata adalah alat kolonial.

2. Kepolisian pada jaman Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, bangsa Indonesia kembali di duduki jepang sehingga mengakibatkan perubahan sistem pemerintahan, salah satunya yaitu Kedudukan Kepolisian mengikuti sistem pemerintahan Jepang yang membagi wilayah Indonesia menjadi dua lingkungan kekuasaan, yaitu wilayah Sumatera, Jawa dan Madura dikuasai Angkatan Darat (Gunseikan) dan Indonesia Timur serta Kalimantan dikuasai Angkatan Laut, (Minseifu – Tyokan) masing – masing lingkungan kekuasaan dibagi dalam syu (sama dengan Karesidenan) tiap – tiap syu dikepalai oleh Syutyukan, yang sekaligus menjadi Kepala Kepolisian Karesidenan. Pimpinan kepolisian sehari – hari dilaksanakan oleh seorang Kepala Bagian Kepolisian (Keisatsu – Butyo) atau Chiang – Butyo (Kepala Bagian Keamanan). Pada masa itu kepolisian juga merupakan alat kekuasaan / pemerintahan tentara Jepang.

3. Kepolisian pada jaman Revolusi Fisik.
Pada saat berakhirnya kekuasaan Jepang menyerah dan Indonesia merdeka, Kepolisian Negara Republik Indonesia segera dibentuk dan diberlakukan Perundang – undangan Hindia Belanda. Berdasarkan Ketetapan Pemerintah Nomor 11/SD/1946, pada tanggal 1 Juli 1946 dibentuk Djawatan Kepolisian Negara R.I. dipimpin oleh Kepala Kepolisian Negara (KKN) yang bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri. Inilah saat lahirnya Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mencakup seluruh wilayah R.I. dan seluruh tugas Kepolisian termasuk ikut bertempur dan menyatakan diri sebagai ‘combattan’. Melalui Penetapan Pemerintah Nomor 1/1948 tanggal 4 Pebruari 1948, kedudukan Polri menjadi di bawah Presiden / Wakil Presiden.

4. Kepolisian pada jaman Demokrasi Parlementer.
Kepolisian bertanggung jawab kepada Perdana Menteri, Polri melaksanakan tugas sebagai alat negara penegak hukum, pelindung dan pengayom masyarakat serta ikut aktif dalam penumpasan pemberontakan dan operasi – operasi militer.

5. Kepolisian pada jaman Demokrasi Terpimpin sampai dengan jaman Orde Baru.
Berdasarkan Keppres Nomor 153 tahun 1959 tanggal 10 Juli 1959, Kepala Kepolisian Negara diberi kedudukan sebagai Menteri Negara ex-officio dan selanjutnya menjadi Menteri Muda Kepolisian sejajar dengan Menteri Muda Pertahanan, Menteri Muda Kehakiman dan Menteri Muda Veteran. Melalui TAP MPR Nomor II tahun 1960, Kepolisian dinyatakan masuk dalam jajaran ABRI dan melalui Keppres Nomor 21 tahun 1960, sebutan Menteri Muda Kepolisian diganti dengan Menteri. Kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI lebih ditegaskan dalam UU Nomor 13 tahun 1961, kemudian dikuatkan dengan UU Nomor 20 tahun 1982 dan UU Nomor 28 tahun 1997. Di dalam UU tersebut, fungsi kepolisian digabungkan dengan fungsi pertahanan keamanan negara sehingga menimbulkan kerancuan dan tumpang tindih antara fungsi penegakan hukum dan pemelihara ketertiban masyarakat dengan fungsi pertahanan keamanan negara.
Selama pemerintahan Orde Baru, Polri tak dapat dilepaskan dari TNI dengan Dwi Fungsinya sebagai pemegang kekuasaan. Kompetensi Polri pun tidak dapat dilepaskan/dipisahkan baik dari para penyelenggara negara yang memegang kekuasaan maupun masyarakat. Karena pemegang kekuasaan dan masyarakat selalu memberi warna, kompetensi Polri di lapangan berada pada dua sisi yaitu berada dan bersatu dengan pemegang kekuasaan, dalam arti sebagai alat kekuasaan; dan pada sisi lain sebagai alat negara penegak hukum yang tidak dapat dipisahkan dari Criminal Justice System.

6. Kepolisian pada jaman Era Reformasi.
Pada masa ini diawali dengan adanya tuntutan mahasiswa yang menginginkan reformasi dan mundurnya Presiden Soeharto dari jabatannya, pada saat itu. Polri dalam posisi sulit di sisi lain sebagai aparat pemerintahan dan harus menghadapi para demonstraan. Pada puncaknya tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya dan digantikan Habibie. Presiden Habibie kemudian mengupayakan reformasi dalam segala bidang, termasuk di antaranya reformasi dalam tubuh aparat penegak hukum.
Dengan adanya desakan oleh para mahasiswa dan elemen masyarakat dan konsekwensi pemerintah maka digelarnya sidang istemewa MPR, yang mana salah satu pembahasan Sidang Istimewa yaitu mengenai posisi penegak hukum yaitu Polri dalam tatanan Reformasi. Hasil dari siding tersebut ditetapkannya TAP MPR No. X / MPR / 1998 yang berisi perintah menugaskan kepada Presiden / Mandataris MPR untuk memisahkan Polri dari ABRI dengan rumusan :
“ menginstruksikan kepada Presiden selaku Mandataris MPR antara lain untuk melaksanakan agenda reformasi di bidang hukum dalam bentuk pemisahan secara tegas, fungsi dan wewenang aparatur penegak hukum agar dapat dicapai proporsionalitas, profesionalisme dan integritas yang utuh.”
Pada tanggal 17 Agustus 1998 untuk pertama kalinya Presiden BJ Habibie mencanangkan program kemandirian Polri, yaitu rencana untuk menjadikan Polri terlepas dari organisasi ABRI. Harapannya adalah Polri bisa lebih memenuhi fungsinya sebagai penegak hukum dan pengayom masyarakat tanpa diintervensi oleh berbagai kepentingan luar, termasuk dari pemerintah dan pimpinan ABRI. Tekad politik pemerintah lalu ditindaklanjuti dengan peresmian kemandirian Polri pada 1 April 1999 melalui Inpres No. 2 tahun 1999 tentang Langkah – langkah kebijakan dalam rangka pemisahan Polri dari ABRI, yang selanjutnya menjadi landasan formal bagi reformasi Polri. Berdasarkan Inpres tersebut, mulai 1 April 1999, sistem dan penyelenggaraan pembinaan kekuatan dan operasional Polri dialihkan ke Dephankam, yang selanjutnya menjadi titik awal dimulainya proses reformasi Polri secara menyeluruh menuju Polri yang profesional dan mandiri serta sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat. MPR dalam Sidang tahunannya Agustus 2000 kemudian menetapkan dua buah Tap MPR, yaitu TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang tentang Pemisahan TNI dan Polri serta TAP MPR NO. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri.























BAB III
PROSES PROFESIONALISME POLRI MENJAWAB TUNTUTAN MASYARAKAT

1. Profesionalisme
Orang sering menyebut, baik dalam tulisan maupun pidato tentang profesionalisme Polri tanpa memahami hakiki makna dan aplikasinya dilapangan. Sehingga pengertian dasarnya kabur karena membentuk bentangan spektrum yang luas mulai dari pengertian yang ekstrim sulit sampai dengan yang sederhana saja.
Untuk itu, penulis akan mengemukakan beberapa pendapat mengenai oengertian profesional agar dapat membantu dalam memahami makna seta penggunaan yang tepat dilapangan.
Kata profesional mempunyai makna sebagai berikut:
a. Propesi : Bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian tertentu, meliputi ;
1) bersangkutan dengan profesi,
2) memerlukan kepandaian khusus untuk melakukannya,
3) mengharuskan adanya bayaran untuk melakukannya.
b. Profess : pura-pura berlagak tidak tahu, mengumumkan secara terang-terangan/secara terbuka, mengaku, menganut, bekerja sebagai.
Profession : Profesi, jabatan yang memerlukan pendidikan seperti kedokteran, pengajaran, pemerintahan, pejabat, dan pengakuan.
Profesional ;
1) berkenaan dengan jabatan, atau profesi (kode etik),
2) pemain bayaran,
3) ahli.
c. Profesional : mengenai profesi ; (mengenai) keahlian ; masuk golongan terpelajar/ ahli; pemayin bayaran.
Sedangkan menurut LEGGE dan EXLEY, merumuskan kriteria dan ciri-ciri profesionalisme sebagai berikut :
a. Keterampilan yang didasarkan atas pengetahuan teoritis.
b. Memperoleh pendidikan tinggi dan latihan kemampuannya diakui oleh rekan sejawatnya.
c. Adanya “ Organisasi Profesi “ yang menjain berlangsungnya budaya profesi melalui persyartan untuk memasuki organisasi tersebut, yaitu Ketaatan pada “ kode etik profesi”.
d. Adanya nilai khusus, harus diabadikan pada kemanusian.
Jadi dari beberapa pengertian diatas dapat diambil sesuatu kesimpulan bahwa prefesionalisme adalah tindakan yang dilandasi dengan keahlian tertentu yang diperoleh melalui pendidikan tertentu dan dilaksanakan dengan memenuhi kode etiknya.

2. Proses Profesionalisme Polri
Dengan melihat perjalanan peranan Polri dari masa pra kemerdekaan sampai dengan reformasi sangat dipengaruhi oleh situasi kondisi tatanan pemerintahan dan dari tuntutan serta kebutuhan masyarakat secara global.
Secara historis, peran polisi pada saat pra kemerdekaan ( Hindia Belanda ) yaitu menjaga ketertiban dan keamanan namuun lebih menitik beratkan pada kepentingan kolonial pada saat itu, contoh ; polisi pada saat itu menjadi alat penegak hukum apabila yang melakukan tindak pidana orang pribumi maka dilakukan proses pidana namun jika yang melakukan bangsa kolonial maka hukum tersebut akan gugur dengan sendirinya. Contoh tersebut hanyalah salah satu perlakuan ketidak seimbangan pelaksanaan salah satu tugas polisi yang tidak seimbang, maka terlihat jelas bahwa kinerja polisi saat itu sangat dipengaruhi kepentungan kolonial. Sedangkan posisi kelembagaan kepolisian sebagaimana dipaparkan oleh Harsja Bahtiar dalam bukunya Ilmu Kepolisian Suatu Cabang Ilmu Pengetahuan yang baru, bahwa pada masa penjajahan Hindia Belanda Kepolisian berada di bawah Jaksa Agung.
Sedangkan pada masa Revolusi sampai dengan jaman Parlementer, ditandai dengan kemerdakaan bangsa Republik Indonesia, maka terjadi peralihan kekuasaan serta perubahan struktur pemerintahan salah satunya yaitu lembaga kepolisian, di mana pada tanggal 19 agustus 1945 dibentuklah Kepolisian Republik Indonesia merupakan bagian dari Departemen Dalam Negeri. Pada saat itu peran polisi masih terfokus kepada pemeliharaan keamanan karena masih ikut dalam pembelaan negara terhadap jepang dan agresi belanda serta beberapa operasi militer lainnya.
Dan kemudian terjadi perubahan posisi pada jaman Demokrasi terpimpin sampai dengan Orde baru, di mana dimasukkannya Kepolisian ke dalam organisasi ABRI. Secara otomatis visi, misi dan tujuan Kepolisian lebih diarahkan pada militerisme. Pada akhirnya segala tindakan hukum kepolisian berbau militeristik dan tidak penuh melaksanakan amanat KUHP KUHAP serta perundang-undangan lainnya. Contoh kasus yg tidak ditangani secara professional saat itu antara lain seperti Marsinah, Udin, Tjetje maka pada saat itu penerapan pelaksanaan amanat penegak hukum tidak menitik beratkan pekerjaan polisi yang lebih diselesaikan “secara tehnik dan taktik polisi sesuai amanat uundang-undang” tetapi lebih dominan “secara militerisme atas pengaruh politis pada saat itu”.
Pada jaman Reformasi ini merupakan tekad politik pemerintah atas tuntutan peranan Polri dalam melaksanakan tugas dengan profesional dan tanpa tekanan, karena dalam pelaksanaan tugasnya tidak dipengaruhi sebagai alat kekuasaan maupun kepentingan politik. Maka Polri sebagai aparat penegak hukum masih bekerja dengan hanya menerapkan sanksi hukum semata dalam sistem Law Enforcement bukannya dengan sistem Law Compliance yang dapat mewujudkan suatu kondisi masyarakat yang taat hukum. Akibatnya adalah Polri belum mampu mewujudkan tuntutan kebutuhan masyarakat dalam era reformasi, yaitu ditegakkannya iklim demokratisasi dan HAM melalui supremasi hukum dan kemampuan polisi yang responsive terhadap kepentingan masyarakat.

3. Tuntutan Polri Masa Depan
Kita dapat melihat sebelum reformasi, kekuasaan tunggal negara yang mempengaruhi kepolisian (pada abad ke-6) dan wewenang kepolisian yang terjadi alat kekuasaan dimasa penjajahan hindu belanda dahulu terhadap rakyat menggandung kosekwensi polisi berdarah panas, sehingga kurang dekat hubungganantara polisi dimata rakyat. Pertumbuhan kepolisian dewasa ini (jaman Reformasi) telah berubah doktrinnya, menjadi “friends partners and dependers of citizen”, dalam arti polisi sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat dari pada urusan kekuasaan negara. Sehingga melahirkan paradigma baru dalam segenap tatanan kehidupan bermasyrakat, berbangsa dan bernegara yang ada dasarnya memuat koreksi terhadap tatanan lama dan penyempurnaan kearah tatanan indonesia baru yang lebih baik. Paradigma baru tersebut antara lain supermasi hukum, hak azasi manusia, demokrasi, transparansi dan akuntabilitas yang diterapkan dalam praktek penyelenggara pemerintahan negara termasuk didalamnya penyelenggaraan fungsi Kepolisian.
Masyarakat dan polisinya merupakan dua kegiatan yang tidak bisa di pisahkan. Tanpa masyarakat, tidak akan ada polisi dan tampa polisi, proses-proses dalam masyarakat tidak akan berjalan dengan lancar dan produktif. Seperti yang dikemukakan oleh prof. Satjipto Rahardjo bahwa “perilaku polisi adalah wajah hukum sehari-hari”. Apabila kita menyadari bahwa polisi merupakan ujung tembok penegakan hukum, yang berarti : polisilah yang secara langsung berhadapan dengan masyarakat, dan khususnya, pelanggar hukum dalam usaha menegakan hukum .
Pengidentifikasian polisi sebagai birokrasi kontrol sosial memang memberi deskripsi mengenai polisi itu. Polisi seyogyanya kita lihat tidak hanya menjalankan kontrol sosial saja, melainkan juga memberi pelayanan dan interpretasi hukum secara konkrit, yaitu melalui tindakan-tindakannya. Dengan kontrol sosial, pelayanan dan agen interpretasi tersebut menjadi lebih lengkaplah bahwa polisi mewujudkan janji-janji hukum.
Penegakan hukum, penjagaan keamanan dan ketertiban masyarakat serta pelayanan dan pengayoman masyarakat adalah tugas pokok polisi sebagai profesi mulia, yang aplikasinya harus berakibat pada asas legalitas, undang-undang yang berlaku dan hak azasi manusia. Atau dengan kata lain harus bertindak secara professional dan memegang kode etik secara ketat dan keras, sehingga tidak terjerumus kedalam prilaku yang dibenci masyarakat .
Menyikapi perihal tersebut Tim Pokja Reformasi Polri dalam buku Reformasi menuju Polri yang mandiri telah merumuskan Langkah – langkah yang perlu diambil Polri untuk mewujudkan jati diri dan profesionalisme Polri dalam perspektif reformasi melalui penyesuaian dan perubahan aspek struktural, aspek kultural, dan aspek instrumental, yaitu :
a. Perubahan aspek struktural mencakup perubahan kelembagaan (institusi) kepolisian dalam ketatanegaraan, organisasi, susunan dan kedudukan. Dari segi kelembagaan, Polri harus bersifat otonom dan mandiri. Polri seyogyanya diperlakukan sebagai suatu lembaga khusus negara, yang secara administratif berkedudukan langsung di bawah Presiden, tetapi mandiri (independence) dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum.
b. Perubahan aspek instrumental mencakup filosofi (visi, misi dan tujuan), doktrin, kewenangan, kompetensi, kemampuan fungsi dan Iptek.
c. Perubahan aspek kultural sebagai muara dari perubahan aspek struktural dan aspek instrumental, karena semuanya harus terwujud dalam bentuk dan kualitas pelayanan aktual Polri terhadap masyarakat.
Salah satu tantangan yang dihadapi polisi dalam pelaksanaan tugas kesehariannya adalah adanya kesenjangan masyarakat atas tugas-tugas polisi seharusnya dengan kenyataan yang terjadi ditenggah-tenggah masyarakat. untuk mencapai pelaksanaan tugas kepolisian tersebut, polisi melakukan sejumlah tindakan-tidakan sesuai tugas dan wewenang yang diberikan dalam pengertian bahwa kepolisian harus menjalankan tugas dan wewenangnya setiap waktu meliputi pelayanan masyarakat, menjaga ketertiban dan keamanan serta penegakan hukum.
Profesionalisme polisi dapat tumbuh melalui peningkatan standar profesi yang tinggi dan tugas profesi sebagai panutan sadar hukum serta prilaku sesuai dengan hukum yang dicetuskan mulai dari sistem “ recruitmen and training” kepolisian sesuai dengan tuntutan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka untuk mewujudkan penampilan kerja polisi dalam bentuk yang ideal. Yang dapat dilakukan, baik oleh pimpinan polri maupun unsur-unsur lain dimasyarakat, adalah mempersempit jarak antara identitas tersebut dengan realitas yang hidup dewasa ini. Makin sempit atau lebih lebarkah jarak itu, antara lain dapat diukur lewat berbagai respon masyarakat terhadap penampilan kerja anggota-anggota polri.
Dapat disebut bahwa kepolisian telah terjadi pergeseran yang makin terasa kuat dari polisi sebagai “Pemburu Kejahatan” kepada polisi yang menjalankan “pekerjaan sosial”. Pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak hanya mengandung isi sosial biasa,melainkan juga ekonomi, politik dan kebudayaan.












BAB IV
P E N U T U P

Dengan melihat perkembangan fungsi serta peran lembaga Kepolisian dari masa ke masa, maka terlihat jelas bagaimana pelaksanaan tugas organisasi Polri ini berkembang sesuai keadaan pada saat pra kemerdekaan sampai dengan jaman reformasi saat ini.
Begitupun harapan tugas Polri yang lebih professional dengan berubahnya paradigma Polri pada awalnya sebagai alat kekuasaan menjadi pekerja sosial dalam lingkup sebagai pelindung, penjaga keamanan, pengayom dan pelayan masyarakat.
Harapan masyrakat terhadap kepolisian ini dapat disimpulkan hanya dua perihal : Pertama, mereka membutuhkan keamanan dan perlindungan Polri secara maksimal baik atas dirinya, maupun keluarganya dan harta bendanya; kedua, mereka menginginkan pelayanan yang lebih baik dari Polri.
Dengan demikian dapat diwujudkan jati diri Kepolisian Negara Republik Indonesia yang lebih profesional, mahir, terampil, bersih dan berwibawa sehingga Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak semata – mata mampu melaksanakan tugas dengan sebaik – baiknya, namun mampu membuktikan keberadaannya sebagai institusi yang dapat menyelesaikan permasalahan sosial di tengah-tengah masyarakat.




DAFTAR PUSTAKA

Indonesia, Undang – Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Indonesia, TAP MPR NO. VI dan VII / MPR / 2000.

Kelana, Momo, Mayjen Pol (Purn.), Drs., Hukum Kepolisian. Cet. 5. Jakarta : PTIK – Grasindo, 1994.

Mabes Polri, Tim Pokja, Reformasi Menuju Polri yang Profesional, 1999.

Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sejarah Kepolisian di Indonesia. Jakarta : Markas Besar Republik Indonesia ,1999.

Rahardjo, Satjipto. Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia, Buku Kompas, 2002.

Wik Djatmika, Mayjen Pol (Purn.) Drs. SH Msi, Catatan Kuliah sendiri, 2009.