PERUBAHAN MENUJU PROFESIONALISME POLRI
(Dipandang dari sudut sejarah)
BAB I
P E N D A H U L U A N
1. Latar Belakang
Sebagaimana kebanyakan negara-negara di dunia, Indonesia juga tidak luput dari terpaan krisis moneter dan ekonomi yang bersifat global dan yang kemudian berkembang menjadi krisis politik, sosial-budaya, dan hukum. Dalam rangka mengatasi krisis dimaksud, Indonesia melaksanakan reformasi paradigmatik secara total menuju masyarakat madani yang menjunjung tinggi, antara lain, berlangsungnya proses demokratisasi dengan baik dan benar (Reformasi Menuju Polri yang Profesional, Mabes Polri, 1999).
Sejalan dengan hal tersebut, dalam hal perpolisian, tumbuh pula kesadaran bahwa fungsi kepolisian dalam era reformasi memerlukan penyesuaian dan perubahan dalam aspek struktural, instrumental, dan kultural, sesuai dengan paradigma baru perpolisian maupun tantangan tugas masa depan. Dengan maksud untuk menjunjung-tinggi demokrasi inilah, reformasi kepolisian kemudian diwujudkan melalui pembangunan profesionalisme dan kemandirian polisi yang terus diupayakan secara berkesinambungan.
Seperti yang dikemukakan oleh prof. Satjipto Rahardjo bahwa “perilaku polisi adalah wajah hukum sehari-hari”. Apabila kita menyadari bahwa polisi merupakan ujung tembok penegakan hukum, yang berarti :polisilah yang secara langsung berhadapan dengan masyarakat, dan khususnya, pelanggar hukum dalam usaha menegakan hukum . Dengan demikian, bagaimana perilaku polisi dengan cara-cara kotor dan korup, maka secara otomatis masyarakatpun memandang hukum sebagai sesuatu yang kotor dan korup, juga andaikan pemolisian dikerjakan dengan baik, maka wajah hukum punakan dipandang baik. Karena itu, pandangan masyarakat tentang polisi akan membawa implikasi pada pandangan mereka terhadap hukum. Pekerjaan pemolisian yang tertanam kedalam masyarakat dapat kita lihat bagaimana struktur sosial, kultural dan ideologis telah menentukan pemberian tempat kepada polisi dalam masyarakatnya, bagaimana ia diterima oleh masyarakat, dan bagaimana ia harus bekerja.
Pertumbuhan kepolisian dewasa ini telah berubah doktrinnya, menjadi “friends partners and dependers of citizen”, dalam arti polisi sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat dari pada urusan kekuasaan negara.Perihal sorotan berupa keritikan maupun hujatan terhadap kepolisian, umumnya komunitas aparat kepolisian sudah amat siap menghadapinya. Sebagian dikarenakan secara faktual polri memang nyata-nyata masih mengidap berbagai kelemahan sehingga pantas dikeritik. Sebagian lain dikarenakan kuatnya pemahaman bahwa semua keritik dan bahkan hujatan dari anggota-anggota masyarakat tersebut pada dasarnya adalah bentuk lain dari kecintaan masyarakat terhadap polri.
Pergeseran serta perubahan dalam fungsi yang harus dijalankan oleh suatu badan dalam masyarakat merupakan hal yang biasa. Hal yang agak istimewa adalah bahwa kita sekarang hidup dalam dunia dan masyarakat yang sedang mengalami perubahan yang sangat intensif dibandingkan dengan waktu-waktu yang lalu.
Berdasarkan uraian diatas, pada dasarnya persepsi tentang kinerja Polri merupakan masalah penting yang perlu dilihat lebih lanjut dalam dalam rangka mewujudkan profesionalisme polisi dalam menaggapi tantangan yang semakin berat.
2. Maksud dan tujuan.
a. Maksud.
Penulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran peranan Polri tentang sejarah perkembangan kepolisian dari masa ke masa.
b. Tujuan.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan profesionalisme anggota Polri.
4. Ruang lingkup.
Ruang Lingkup penulisannya meliputi dibatasi pada sejarah Polri serta peranan Polri dari masa ke masa.
5. Pendekatan.
Penulisan karya tulis tentang Perubahan Menuju Profesonalisme Polri ini menggunakan pendekatan sejarah, sebab dan akibat. Dengan pendekatan sejarah akan diuraikan perkembangan Polri sejak jaman Hindia Belanda sampai dengan jaman Reformasi. Pendekatan sebab dan akibat akan menguraikan peranan Polri yang Profesional dalam rangka menyikapi tuntutan masyarakat.
6. Tata Urut.
BAB I P E N D A H U L U A N
BAB II SEJARAH, KEDUDUKAN DAN PERANAN POLRI DARI MASA KE MASA
BAB III PROSES PROFESIONALISME POLRI MENJAWAB TUNTUTAN MASYARAKAT
BAB IV P E N U T U P
BAB II
SEJARAH, KEDUDUKAN DAN PERANAN POLRI DARI MASA KE MASA
Sejarah Polri yang di dalamnya termasuk kedudukan dan peranannya, dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut :
1. Kepolisian pada jaman Hindia Belanda.
Pada jaman ini polda dasar kepolisian sudah ada baik fungsi, bentuk organisasi, kepangkatan dan pendidikan polisi namun posisi jabatan yang penting masih diduduki bangsa kolonial dan pribumi hanya pada agen polisi saja. Secara administratif dalam arti sempit (termasuk Sekolah Polisi di Sukabumi ), Lembaga Kepolisian diurus oleh Binnenlandsch Bestuur. Rechts Politie berada di bawah Procureur Generaal, tetapi operasional sepenuhnya berada di tangan Residen. Pada jaman itu, peran Polri semata – mata adalah alat kolonial.
2. Kepolisian pada jaman Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, bangsa Indonesia kembali di duduki jepang sehingga mengakibatkan perubahan sistem pemerintahan, salah satunya yaitu Kedudukan Kepolisian mengikuti sistem pemerintahan Jepang yang membagi wilayah Indonesia menjadi dua lingkungan kekuasaan, yaitu wilayah Sumatera, Jawa dan Madura dikuasai Angkatan Darat (Gunseikan) dan Indonesia Timur serta Kalimantan dikuasai Angkatan Laut, (Minseifu – Tyokan) masing – masing lingkungan kekuasaan dibagi dalam syu (sama dengan Karesidenan) tiap – tiap syu dikepalai oleh Syutyukan, yang sekaligus menjadi Kepala Kepolisian Karesidenan. Pimpinan kepolisian sehari – hari dilaksanakan oleh seorang Kepala Bagian Kepolisian (Keisatsu – Butyo) atau Chiang – Butyo (Kepala Bagian Keamanan). Pada masa itu kepolisian juga merupakan alat kekuasaan / pemerintahan tentara Jepang.
3. Kepolisian pada jaman Revolusi Fisik.
Pada saat berakhirnya kekuasaan Jepang menyerah dan Indonesia merdeka, Kepolisian Negara Republik Indonesia segera dibentuk dan diberlakukan Perundang – undangan Hindia Belanda. Berdasarkan Ketetapan Pemerintah Nomor 11/SD/1946, pada tanggal 1 Juli 1946 dibentuk Djawatan Kepolisian Negara R.I. dipimpin oleh Kepala Kepolisian Negara (KKN) yang bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri. Inilah saat lahirnya Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mencakup seluruh wilayah R.I. dan seluruh tugas Kepolisian termasuk ikut bertempur dan menyatakan diri sebagai ‘combattan’. Melalui Penetapan Pemerintah Nomor 1/1948 tanggal 4 Pebruari 1948, kedudukan Polri menjadi di bawah Presiden / Wakil Presiden.
4. Kepolisian pada jaman Demokrasi Parlementer.
Kepolisian bertanggung jawab kepada Perdana Menteri, Polri melaksanakan tugas sebagai alat negara penegak hukum, pelindung dan pengayom masyarakat serta ikut aktif dalam penumpasan pemberontakan dan operasi – operasi militer.
5. Kepolisian pada jaman Demokrasi Terpimpin sampai dengan jaman Orde Baru.
Berdasarkan Keppres Nomor 153 tahun 1959 tanggal 10 Juli 1959, Kepala Kepolisian Negara diberi kedudukan sebagai Menteri Negara ex-officio dan selanjutnya menjadi Menteri Muda Kepolisian sejajar dengan Menteri Muda Pertahanan, Menteri Muda Kehakiman dan Menteri Muda Veteran. Melalui TAP MPR Nomor II tahun 1960, Kepolisian dinyatakan masuk dalam jajaran ABRI dan melalui Keppres Nomor 21 tahun 1960, sebutan Menteri Muda Kepolisian diganti dengan Menteri. Kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI lebih ditegaskan dalam UU Nomor 13 tahun 1961, kemudian dikuatkan dengan UU Nomor 20 tahun 1982 dan UU Nomor 28 tahun 1997. Di dalam UU tersebut, fungsi kepolisian digabungkan dengan fungsi pertahanan keamanan negara sehingga menimbulkan kerancuan dan tumpang tindih antara fungsi penegakan hukum dan pemelihara ketertiban masyarakat dengan fungsi pertahanan keamanan negara.
Selama pemerintahan Orde Baru, Polri tak dapat dilepaskan dari TNI dengan Dwi Fungsinya sebagai pemegang kekuasaan. Kompetensi Polri pun tidak dapat dilepaskan/dipisahkan baik dari para penyelenggara negara yang memegang kekuasaan maupun masyarakat. Karena pemegang kekuasaan dan masyarakat selalu memberi warna, kompetensi Polri di lapangan berada pada dua sisi yaitu berada dan bersatu dengan pemegang kekuasaan, dalam arti sebagai alat kekuasaan; dan pada sisi lain sebagai alat negara penegak hukum yang tidak dapat dipisahkan dari Criminal Justice System.
6. Kepolisian pada jaman Era Reformasi.
Pada masa ini diawali dengan adanya tuntutan mahasiswa yang menginginkan reformasi dan mundurnya Presiden Soeharto dari jabatannya, pada saat itu. Polri dalam posisi sulit di sisi lain sebagai aparat pemerintahan dan harus menghadapi para demonstraan. Pada puncaknya tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya dan digantikan Habibie. Presiden Habibie kemudian mengupayakan reformasi dalam segala bidang, termasuk di antaranya reformasi dalam tubuh aparat penegak hukum.
Dengan adanya desakan oleh para mahasiswa dan elemen masyarakat dan konsekwensi pemerintah maka digelarnya sidang istemewa MPR, yang mana salah satu pembahasan Sidang Istimewa yaitu mengenai posisi penegak hukum yaitu Polri dalam tatanan Reformasi. Hasil dari siding tersebut ditetapkannya TAP MPR No. X / MPR / 1998 yang berisi perintah menugaskan kepada Presiden / Mandataris MPR untuk memisahkan Polri dari ABRI dengan rumusan :
“ menginstruksikan kepada Presiden selaku Mandataris MPR antara lain untuk melaksanakan agenda reformasi di bidang hukum dalam bentuk pemisahan secara tegas, fungsi dan wewenang aparatur penegak hukum agar dapat dicapai proporsionalitas, profesionalisme dan integritas yang utuh.”
Pada tanggal 17 Agustus 1998 untuk pertama kalinya Presiden BJ Habibie mencanangkan program kemandirian Polri, yaitu rencana untuk menjadikan Polri terlepas dari organisasi ABRI. Harapannya adalah Polri bisa lebih memenuhi fungsinya sebagai penegak hukum dan pengayom masyarakat tanpa diintervensi oleh berbagai kepentingan luar, termasuk dari pemerintah dan pimpinan ABRI. Tekad politik pemerintah lalu ditindaklanjuti dengan peresmian kemandirian Polri pada 1 April 1999 melalui Inpres No. 2 tahun 1999 tentang Langkah – langkah kebijakan dalam rangka pemisahan Polri dari ABRI, yang selanjutnya menjadi landasan formal bagi reformasi Polri. Berdasarkan Inpres tersebut, mulai 1 April 1999, sistem dan penyelenggaraan pembinaan kekuatan dan operasional Polri dialihkan ke Dephankam, yang selanjutnya menjadi titik awal dimulainya proses reformasi Polri secara menyeluruh menuju Polri yang profesional dan mandiri serta sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat. MPR dalam Sidang tahunannya Agustus 2000 kemudian menetapkan dua buah Tap MPR, yaitu TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang tentang Pemisahan TNI dan Polri serta TAP MPR NO. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri.
BAB III
PROSES PROFESIONALISME POLRI MENJAWAB TUNTUTAN MASYARAKAT
1. Profesionalisme
Orang sering menyebut, baik dalam tulisan maupun pidato tentang profesionalisme Polri tanpa memahami hakiki makna dan aplikasinya dilapangan. Sehingga pengertian dasarnya kabur karena membentuk bentangan spektrum yang luas mulai dari pengertian yang ekstrim sulit sampai dengan yang sederhana saja.
Untuk itu, penulis akan mengemukakan beberapa pendapat mengenai oengertian profesional agar dapat membantu dalam memahami makna seta penggunaan yang tepat dilapangan.
Kata profesional mempunyai makna sebagai berikut:
a. Propesi : Bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian tertentu, meliputi ;
1) bersangkutan dengan profesi,
2) memerlukan kepandaian khusus untuk melakukannya,
3) mengharuskan adanya bayaran untuk melakukannya.
b. Profess : pura-pura berlagak tidak tahu, mengumumkan secara terang-terangan/secara terbuka, mengaku, menganut, bekerja sebagai.
Profession : Profesi, jabatan yang memerlukan pendidikan seperti kedokteran, pengajaran, pemerintahan, pejabat, dan pengakuan.
Profesional ;
1) berkenaan dengan jabatan, atau profesi (kode etik),
2) pemain bayaran,
3) ahli.
c. Profesional : mengenai profesi ; (mengenai) keahlian ; masuk golongan terpelajar/ ahli; pemayin bayaran.
Sedangkan menurut LEGGE dan EXLEY, merumuskan kriteria dan ciri-ciri profesionalisme sebagai berikut :
a. Keterampilan yang didasarkan atas pengetahuan teoritis.
b. Memperoleh pendidikan tinggi dan latihan kemampuannya diakui oleh rekan sejawatnya.
c. Adanya “ Organisasi Profesi “ yang menjain berlangsungnya budaya profesi melalui persyartan untuk memasuki organisasi tersebut, yaitu Ketaatan pada “ kode etik profesi”.
d. Adanya nilai khusus, harus diabadikan pada kemanusian.
Jadi dari beberapa pengertian diatas dapat diambil sesuatu kesimpulan bahwa prefesionalisme adalah tindakan yang dilandasi dengan keahlian tertentu yang diperoleh melalui pendidikan tertentu dan dilaksanakan dengan memenuhi kode etiknya.
2. Proses Profesionalisme Polri
Dengan melihat perjalanan peranan Polri dari masa pra kemerdekaan sampai dengan reformasi sangat dipengaruhi oleh situasi kondisi tatanan pemerintahan dan dari tuntutan serta kebutuhan masyarakat secara global.
Secara historis, peran polisi pada saat pra kemerdekaan ( Hindia Belanda ) yaitu menjaga ketertiban dan keamanan namuun lebih menitik beratkan pada kepentingan kolonial pada saat itu, contoh ; polisi pada saat itu menjadi alat penegak hukum apabila yang melakukan tindak pidana orang pribumi maka dilakukan proses pidana namun jika yang melakukan bangsa kolonial maka hukum tersebut akan gugur dengan sendirinya. Contoh tersebut hanyalah salah satu perlakuan ketidak seimbangan pelaksanaan salah satu tugas polisi yang tidak seimbang, maka terlihat jelas bahwa kinerja polisi saat itu sangat dipengaruhi kepentungan kolonial. Sedangkan posisi kelembagaan kepolisian sebagaimana dipaparkan oleh Harsja Bahtiar dalam bukunya Ilmu Kepolisian Suatu Cabang Ilmu Pengetahuan yang baru, bahwa pada masa penjajahan Hindia Belanda Kepolisian berada di bawah Jaksa Agung.
Sedangkan pada masa Revolusi sampai dengan jaman Parlementer, ditandai dengan kemerdakaan bangsa Republik Indonesia, maka terjadi peralihan kekuasaan serta perubahan struktur pemerintahan salah satunya yaitu lembaga kepolisian, di mana pada tanggal 19 agustus 1945 dibentuklah Kepolisian Republik Indonesia merupakan bagian dari Departemen Dalam Negeri. Pada saat itu peran polisi masih terfokus kepada pemeliharaan keamanan karena masih ikut dalam pembelaan negara terhadap jepang dan agresi belanda serta beberapa operasi militer lainnya.
Dan kemudian terjadi perubahan posisi pada jaman Demokrasi terpimpin sampai dengan Orde baru, di mana dimasukkannya Kepolisian ke dalam organisasi ABRI. Secara otomatis visi, misi dan tujuan Kepolisian lebih diarahkan pada militerisme. Pada akhirnya segala tindakan hukum kepolisian berbau militeristik dan tidak penuh melaksanakan amanat KUHP KUHAP serta perundang-undangan lainnya. Contoh kasus yg tidak ditangani secara professional saat itu antara lain seperti Marsinah, Udin, Tjetje maka pada saat itu penerapan pelaksanaan amanat penegak hukum tidak menitik beratkan pekerjaan polisi yang lebih diselesaikan “secara tehnik dan taktik polisi sesuai amanat uundang-undang” tetapi lebih dominan “secara militerisme atas pengaruh politis pada saat itu”.
Pada jaman Reformasi ini merupakan tekad politik pemerintah atas tuntutan peranan Polri dalam melaksanakan tugas dengan profesional dan tanpa tekanan, karena dalam pelaksanaan tugasnya tidak dipengaruhi sebagai alat kekuasaan maupun kepentingan politik. Maka Polri sebagai aparat penegak hukum masih bekerja dengan hanya menerapkan sanksi hukum semata dalam sistem Law Enforcement bukannya dengan sistem Law Compliance yang dapat mewujudkan suatu kondisi masyarakat yang taat hukum. Akibatnya adalah Polri belum mampu mewujudkan tuntutan kebutuhan masyarakat dalam era reformasi, yaitu ditegakkannya iklim demokratisasi dan HAM melalui supremasi hukum dan kemampuan polisi yang responsive terhadap kepentingan masyarakat.
3. Tuntutan Polri Masa Depan
Kita dapat melihat sebelum reformasi, kekuasaan tunggal negara yang mempengaruhi kepolisian (pada abad ke-6) dan wewenang kepolisian yang terjadi alat kekuasaan dimasa penjajahan hindu belanda dahulu terhadap rakyat menggandung kosekwensi polisi berdarah panas, sehingga kurang dekat hubungganantara polisi dimata rakyat. Pertumbuhan kepolisian dewasa ini (jaman Reformasi) telah berubah doktrinnya, menjadi “friends partners and dependers of citizen”, dalam arti polisi sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat dari pada urusan kekuasaan negara. Sehingga melahirkan paradigma baru dalam segenap tatanan kehidupan bermasyrakat, berbangsa dan bernegara yang ada dasarnya memuat koreksi terhadap tatanan lama dan penyempurnaan kearah tatanan indonesia baru yang lebih baik. Paradigma baru tersebut antara lain supermasi hukum, hak azasi manusia, demokrasi, transparansi dan akuntabilitas yang diterapkan dalam praktek penyelenggara pemerintahan negara termasuk didalamnya penyelenggaraan fungsi Kepolisian.
Masyarakat dan polisinya merupakan dua kegiatan yang tidak bisa di pisahkan. Tanpa masyarakat, tidak akan ada polisi dan tampa polisi, proses-proses dalam masyarakat tidak akan berjalan dengan lancar dan produktif. Seperti yang dikemukakan oleh prof. Satjipto Rahardjo bahwa “perilaku polisi adalah wajah hukum sehari-hari”. Apabila kita menyadari bahwa polisi merupakan ujung tembok penegakan hukum, yang berarti : polisilah yang secara langsung berhadapan dengan masyarakat, dan khususnya, pelanggar hukum dalam usaha menegakan hukum .
Pengidentifikasian polisi sebagai birokrasi kontrol sosial memang memberi deskripsi mengenai polisi itu. Polisi seyogyanya kita lihat tidak hanya menjalankan kontrol sosial saja, melainkan juga memberi pelayanan dan interpretasi hukum secara konkrit, yaitu melalui tindakan-tindakannya. Dengan kontrol sosial, pelayanan dan agen interpretasi tersebut menjadi lebih lengkaplah bahwa polisi mewujudkan janji-janji hukum.
Penegakan hukum, penjagaan keamanan dan ketertiban masyarakat serta pelayanan dan pengayoman masyarakat adalah tugas pokok polisi sebagai profesi mulia, yang aplikasinya harus berakibat pada asas legalitas, undang-undang yang berlaku dan hak azasi manusia. Atau dengan kata lain harus bertindak secara professional dan memegang kode etik secara ketat dan keras, sehingga tidak terjerumus kedalam prilaku yang dibenci masyarakat .
Menyikapi perihal tersebut Tim Pokja Reformasi Polri dalam buku Reformasi menuju Polri yang mandiri telah merumuskan Langkah – langkah yang perlu diambil Polri untuk mewujudkan jati diri dan profesionalisme Polri dalam perspektif reformasi melalui penyesuaian dan perubahan aspek struktural, aspek kultural, dan aspek instrumental, yaitu :
a. Perubahan aspek struktural mencakup perubahan kelembagaan (institusi) kepolisian dalam ketatanegaraan, organisasi, susunan dan kedudukan. Dari segi kelembagaan, Polri harus bersifat otonom dan mandiri. Polri seyogyanya diperlakukan sebagai suatu lembaga khusus negara, yang secara administratif berkedudukan langsung di bawah Presiden, tetapi mandiri (independence) dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum.
b. Perubahan aspek instrumental mencakup filosofi (visi, misi dan tujuan), doktrin, kewenangan, kompetensi, kemampuan fungsi dan Iptek.
c. Perubahan aspek kultural sebagai muara dari perubahan aspek struktural dan aspek instrumental, karena semuanya harus terwujud dalam bentuk dan kualitas pelayanan aktual Polri terhadap masyarakat.
Salah satu tantangan yang dihadapi polisi dalam pelaksanaan tugas kesehariannya adalah adanya kesenjangan masyarakat atas tugas-tugas polisi seharusnya dengan kenyataan yang terjadi ditenggah-tenggah masyarakat. untuk mencapai pelaksanaan tugas kepolisian tersebut, polisi melakukan sejumlah tindakan-tidakan sesuai tugas dan wewenang yang diberikan dalam pengertian bahwa kepolisian harus menjalankan tugas dan wewenangnya setiap waktu meliputi pelayanan masyarakat, menjaga ketertiban dan keamanan serta penegakan hukum.
Profesionalisme polisi dapat tumbuh melalui peningkatan standar profesi yang tinggi dan tugas profesi sebagai panutan sadar hukum serta prilaku sesuai dengan hukum yang dicetuskan mulai dari sistem “ recruitmen and training” kepolisian sesuai dengan tuntutan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka untuk mewujudkan penampilan kerja polisi dalam bentuk yang ideal. Yang dapat dilakukan, baik oleh pimpinan polri maupun unsur-unsur lain dimasyarakat, adalah mempersempit jarak antara identitas tersebut dengan realitas yang hidup dewasa ini. Makin sempit atau lebih lebarkah jarak itu, antara lain dapat diukur lewat berbagai respon masyarakat terhadap penampilan kerja anggota-anggota polri.
Dapat disebut bahwa kepolisian telah terjadi pergeseran yang makin terasa kuat dari polisi sebagai “Pemburu Kejahatan” kepada polisi yang menjalankan “pekerjaan sosial”. Pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak hanya mengandung isi sosial biasa,melainkan juga ekonomi, politik dan kebudayaan.
BAB IV
P E N U T U P
Dengan melihat perkembangan fungsi serta peran lembaga Kepolisian dari masa ke masa, maka terlihat jelas bagaimana pelaksanaan tugas organisasi Polri ini berkembang sesuai keadaan pada saat pra kemerdekaan sampai dengan jaman reformasi saat ini.
Begitupun harapan tugas Polri yang lebih professional dengan berubahnya paradigma Polri pada awalnya sebagai alat kekuasaan menjadi pekerja sosial dalam lingkup sebagai pelindung, penjaga keamanan, pengayom dan pelayan masyarakat.
Harapan masyrakat terhadap kepolisian ini dapat disimpulkan hanya dua perihal : Pertama, mereka membutuhkan keamanan dan perlindungan Polri secara maksimal baik atas dirinya, maupun keluarganya dan harta bendanya; kedua, mereka menginginkan pelayanan yang lebih baik dari Polri.
Dengan demikian dapat diwujudkan jati diri Kepolisian Negara Republik Indonesia yang lebih profesional, mahir, terampil, bersih dan berwibawa sehingga Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak semata – mata mampu melaksanakan tugas dengan sebaik – baiknya, namun mampu membuktikan keberadaannya sebagai institusi yang dapat menyelesaikan permasalahan sosial di tengah-tengah masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Indonesia, Undang – Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Indonesia, TAP MPR NO. VI dan VII / MPR / 2000.
Kelana, Momo, Mayjen Pol (Purn.), Drs., Hukum Kepolisian. Cet. 5. Jakarta : PTIK – Grasindo, 1994.
Mabes Polri, Tim Pokja, Reformasi Menuju Polri yang Profesional, 1999.
Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sejarah Kepolisian di Indonesia. Jakarta : Markas Besar Republik Indonesia ,1999.
Rahardjo, Satjipto. Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia, Buku Kompas, 2002.
Wik Djatmika, Mayjen Pol (Purn.) Drs. SH Msi, Catatan Kuliah sendiri, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar