A. Latar Belakang.
Kepolisian, seperti juga kemiliteran, terdapat di setiap negara, baik negara modern, seperti Inggris, Amerika Serikat ataupun Jepang, manapun negara kuno seperti kerajaan Roma, Cina dan Majapait, meskipun dalam bentuk yang berbeda-beda dan dengan nama yang belum tentu sama. Sedangkan tugas dan fungsi kepolisian pada awalnya adalah merupakan seni (craft), akan tetapi, dalam perkembangan suatu masyarakat menjadi masyarakat yang modern, bertambah banyak jenis-jenis pekerjaan yang semula dianggap seni berubah menjadi profesi .
Sama seperti halnya kepolisian di Indonesia, apabila kita melihat sejarah kepolisian Indonesia yang mempunyai sendiri baik berupa bentuk, fungsi, tugas maupun kedudukan kepolisian yang berubah paradigma kepolisian sesuai tuntutan masyarakat pada jaman itu. Pada akhirnya dengan adanya globalisasi dan reformasi tahun 1998, maka tuntutan masyarakat atas kinerja profesi kepolisian di Indonesia diharapkan lebih profesional. Hal tersebut tersirat pada Ketetapan (Tap) MPR Nomor VI/MPR/ 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri serta Tap MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Dengan harapan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia dahulu mempunyai paradigma yang berfungsi sebagai alat kekuasaan, beralih kepada paradigma baru yang fungsinya sebagai pelindung, pengayom, pelayan dan penegak hukum, hal tersebut sesuai dengan UU No. 2 tahun 2002 pasal 13.
Arah perubahan Polri sangat terlihat pada dua tahun terakhir ini (antara tahun 2004 dan 2006) telah terjadi perubahan paradigma (kerangka berfikir) kepolisian (sebagai organisasi) yang signifikan. Proses perubahan tersebut bertujuan merubah profesi kepolisian yang lebih profesional. Makna polisi yang profesional yang dimaksud , adalah anggota yang mempunyai kemahiran (skill) dan pengetahuan (knowledge) secara khusus yang diperoleh melalui persiapan akademik ilmu pengetahuan tertentu (ilmu kepolisian), dapat diartikan bahwa profesional mengandung makna keterkaitan pada suatu profesi akademik (learned profession).
Untuk membentuk sumber daya manusia yang profesional merupakan salah satu faktor penting, hal tersebut hanya dapat dibentuk melalui seleksi rekrutmen dan pendidikan kepolisian yang benar. Sehingga diharapkan polisi yang profesional nantinya dapat menguasai pengetahuan keahlian terkait pada cabang ilmu yang bersangkutan, dan mempunyai kemampuan menganalisis dan mengatasi masalah-masalah sosial, meliputi ketertiban dan keamanan umum dalam masyarakat yang mengalami perubahan secara cepat, maka diperlukanlah suatu wadah perguruan tinggi yang dapat menampungnya (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian atau PTIK).
B. Kajian Ilmu Kepolisian
Istilah ilmu kepolisian di Indonesia merupakan suatu satu cabang ilmu pengetahuan yang baru. Ilmu kepolisian atau police science dapat juga dinamakan kajian ilmu kepolisian atau police studies. Kalau dinamakan kajian ilmu kepolisian, maka yang dimaksudkan kegiatan-kegiatan ilmiah ilmu kepolisian. Di mana dalam ilmu kepolisian terdapat dua satuan permasalahan yang berdiri sendiri tetapi saling berkaitan dan mempengaruhi; yaitu, (1) masalah sosial dan penanganannya.
Sehingga ilmu kepolisian dapat didefinisikan, yaitu sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah-masalah sosial dan isu-isu penting serta pengelolaan keteraturan sosialdan moral dan masyarakat, mempelajari upaya-upayapenegakkan hukum dan keadilan, dan memepelajari tehnik-tehnik penyidikan dan penyelidikan berbagai tindak kejahatan serta cara-cara pencegahannya.
Berkembangannya ilmu kepolisian di Indonesia yang positif membuahkan perdebatan pendapat, menurut Prof. Harsja W. Bachtiar bahwa ilmu kepolisian di Indonesia merupakan kajian dengan pendekatan multi bidang (multidisplinary). Yang dimaksud multidisciplinary di sini adalah mencoba untuk memahami suatu masalah untuk dapat diselesaikan guna mendapatkan solusi atas masalah tersebut sehingga dibutuhkan beberapa ilmu pengetahuan untuk menyelesaikannya.
Sedangkan menurut Prof. Parsudi Suparlan bahwa perkembangan ilmu kepolisian di Indonesia merupakan kajian dengan pendekatan antar bidang (interdisplinary). Dikatakan interdisciplinary apabila suatu masalah sudah ada dalam bingkai penyelesaiannya, dalam artian macam metode ataupun teori sudah menjadi satu bingkai untuk memecahkan masalah tersebut.
Dengan melihat perkembangan secara realita, menurut Prof Mardjono menjelaskan bahwa secara garis besar ilmu kepolisian awalnya memang multidisplinary tetapi perlahan-lahan sudah mulai menjadi interdisciplinary sesuai dengan harapan Prof. Parsudi Suparlan, walaupun Prof. Harsja W. Bachtiar masih menganggapnya sebagai multidisciplinary.
Corak antar bidang (interdisiplinar) yang didisain tersebut harus terfokus pada seperangkat pengetahuan yang nantinya akan dapat digunakan oleh lulusannya untuk digunakan sebagai acuan dalam penerapan tugas-tugas profesinya. Untuk itu, sebuah program pendidikan tinggi ilmu kepolisian yang ada di lembaga kepolisian sudah seharusnya mendisain sebuah kurikulum yang coraknya antar bidang (interdisiplinary), hal tersebut sama seperti yang diterapkan di KIK UI saat ini. Di mana kurikulum yang terdiri atas sejumlah mata pelajaran atau mata kuliah antara satu sama lain saling berkaitan dan saling berhubungan, namun tetap dalam satu bingkai yang bulat, dan isi dari ilmu pengetahuan tersebut berupa suatu kerangka teori yang meliputi metode dalam menganalisa serta memahami suatu permasalahan untuk penerapannya yang cocok dengan situasi serta kondisi lingkungan setempat.
Kurikulum ilmu kepolisian sendiri pertama kali didisain oleh Prof. Djokosoetono di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian tahun 1950, di mana beliau mempunyai keinginan dan cita-cita agar pendidikan perwira kepolisian mencakup pula pemahaman tentang masyarakat indonesia. Dalam rangka mendukung kurikulum ilmu kepolisian pertama tersebut Prof Djokosoetono menambahkan beberapa referensi ilmu pengetahuan lainnya pada saat itu, antara lain pemahaman tentang hukum adat oleh Prof. Hazairin, pemahaman tentang hukum Islam oleh Prof. Tjan Tjoe Siem, dan pemahaman tentang kebudayaan dan bahasa Indonesia oleh Prijono. Dan Prof. Djokosoetono juga menganut bahwa ilmu kepolisian sebagai bagian dari ilmu-ilmu sosial (sociale wetenschappen), kemudian ilmu kepolisian tersebut lebih lanjut dikembangkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan pada akhirnya menjadi Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia.
C. Tantangan Ilmu Kepolisian Masa Depan
Sebelum membicarakan mengenai tantangan kedepan alangkah tepatnya penulis memberikan referensi terlebih dahulu tentang gambaran permasalahan secara umum yang dihadapi oleh Polri. Permasalahan-permasalahan tersebut terkait dengan kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan tugas Polri yang mecakup hal sebagai berikut :
1. Pemberian pelayanan yang dikaitkan dengan imbalan uang;
2. Prosedur penanganan pengaduan masyarakat yang berbelit-belit, dan penyidikan yang hanya di fokuskan pada kasus-kasus yang terang dan atau menarik;
3. Sikap arogan dan otoritian, bahkan tindak kekerasan dan pelanggaran hak-hak asazi manusia;
4. Backing dan intervensi ataan yang sering dikeluhkan oleh anggota dilapangan.
Ke-empat poin diatas merupakan rangkuman atas perilaku-perilaku menyimpang profesi kepolisian yang tidak profesional sama sekali. Salah satu contoh kongkrit dari rangkuman ke-empat poin diatas, yaitu kasus yang akhir-akhir ini terjadi yaitu penanganan kasus Mantan Ketua KPK oleh Bareskrim Mabes Polri, di mana kita dapat melihat penanganan kasus yang kurang profesional dikarenakan adanya kepentingan oleh salah satu pihak.
Apabila dilihat dari ke-empat rangkuman diatas dapat disimpulkan bahwa kesalahan-kesalahan dalam penanganan maupun perilaku-perilaku menyimpang profesi kepolisian lebih cenderung disebabkan karena faktor kesalahan manusia (human error). Yang menyebabkan terjadinya faktor kesalahan manusia (human error) disebabkan karena mutu dari sumber daya manusia itu sendiri yang rendah yang tidak profesional. Hal tersebut sudah tersirat dalam bab I.
Dalam sistem demokrasi sekarang ini, seharusnya polri selaku aparat penegak hukum dan kamdagri memberikan perhatian serta perlindungan hukum terhadap 2 (dua) hal unsur mutlak yang dimiliki masyarakat dan diperhatikan, yaitu; pertama, asas kebebasan, yang meliputi kebebasan menyatakan pikiran dan pendapat, berkelompok dengan orang yang sepaham dan mengatur hidupnya sesuai keyakinan. Kedua, asas persamaan, yang mencakup persamaan di muka umum untuk semua warga negara.
Adanya tuntutan kinerja polisi dalam esensi demokrasi, maka mau tidak mau polisi harus merubah peranan profesi kepolisian sesuai dengan harapan masyarakat. Harapan masyarakat tersebut berkaitan dengan fungsi kepolisian, menurut Prof. Mardjono Reksodiputro ada 2 (dua) fungsi kepolisian yang diharapkan, yaitu penegak hukum (law enforcement) dan penyelesaian masalah (conflict management). Khusus untuk fungsi yang kedua menurut Prof. Soedjipto Raharjo yaitu problem solving. Menurut penulis lebih tepat menggunakan kata conflicy management sesuai dengan Prof. Mardjono Reksodiputro karena berdasar atas 2 (dua) asas demokrasi yaitu asas kebebasan dan persamaan (seperti penjelasan paragraf di atas).
Dengan demikian keberadaan polisi dalam masyarakat akan sangat mempengaruhi fungsi dalam struktur kehidupan. Namun tanpa disadari lingkungan kehidupan masyarakat dapat berubah dengan cepat, dikarenakan pengaruh dari sukubangsa di Indonesia yang sangat bermacam-macam dan mempunyai beraneka ragam budaya yang saling berinteraksi. Maka dikatakan masyarakat Indonesia sangat majemuk yang mempunyai peradaban kehidupan yang berbeda-beda. Dengan demikian secara langsung masyarakat Indonesia sangat menuntut fungsi kepolisian, yaitu penegak hukum (law enforcement) dan penyelesaian masalah (conflict management) dapat dijalankan secara profesional untuk masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat yang majemuk. Dengan harapan tidak akan terjadi gesekan atas perbedaan suku bangsa, budaya maupun norma-norma.
Agar fungsi kepolisian sebagai penegak hukum (law enforcement) dan penyelesaian masalah (conflict management) dapat dilaksanakan secara profesional oleh polisi, maka diperlukan penekanan paradigma profesi kepolisian yang sipil. Perlunya penekanan pada paradigma polisi yang sipil, karena adanya ambivalensi masyarakat terhadap peran dan fungsi polisi, dalam hal ini polisi bisa memerankan sikap perannya polisi sebagai penegak hukum (law enforcement), maupun sikap perannya polisi sebagai tempat penyelesaian masalah (conflict management) yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk.
Maka untuk menggambarkan abivalensi masyarakat terhadap peran dan fungsi polisi dengan merujuk dua muka (penampilan) polisi, yaitu “muka angker” dan “muka tersenyum”.
Untuk fungsi pertama, profesi polisi yang ”muka angker” memang sangat diperlukan dalam menjalankan fungsi kepolisian sebagai penegak hukum (law enforcement). Karena polisi menegakkan hukum pidana dengan mencegah masyarakat sebagai korban kejahatandan kalaupun warga ada yang menjadi korban, polisi harus mengungkapkan korban tersebut dan menangkap pelakunya. Terutama terhadap kejahatan dengan kekerasan dan kejahatan serius (violent and serrious crimes) terdapat desakan masyarakat yang kuat agar polisi melakukan tugasnya dengan cepat.
Kemudian fungsi kedua, profesi kepolisian yang “muka tersenyum” dalam rangka pemeliharaan keamanan dan ketertiban sesuai fungsi kepolisian sebagai penyelesaian masalah (conflict management). Sosok polisi ideal disini adalah seorang yang pandai (intelegen), mempunyai “akal sehat” (common sense), menunjukkan keramahan (friendliness), mau menghargai warga individu (courtesy) dan punya kesabaran (patience). Dengan polisi yang tersenyum siap membantu melayani warga masyarakat sebagai pengayom, perlindungan dan pelayanan untuk mewujudkan kehidupan dalam masyarakat yang aman dan tertib.
C. Pembaharuan Pendidikan Tinggi Ilmu Kepolisian.
Untuk menumbuhkan suatu profesi kepolisian serta peranan yang diharapkan oleh masyarakat dari para anggota profesi ini memperlihatkan adanya tuntutan agar para anggota kepolisian, sekurang-kurangnya para perwiranya, memiliki kemampuan profesional yang dalam masyarakat modern hanya dapat diberikan pada tingkat pendidikan tinggi. Masalah-masalah yang dihadapi oleh kepolisian, masalah-masalah yang erat terkait pada perkembangan ekonomi, politik, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, hukum, masyarakat, kebudayaan, dan agama dan komunikasi massa yang terus menerus menjadikan masalah-masalah ini bertambah banyak dan bertambah kompleks, menuntut kemampuan profesional yang hanya diperoleh di perguruan tinggi.
Dengan demikian bahwa untuk mewujudkan suatu profesi kepolisian yang bisa memenuhi harapan masyarakat dapat dan mampu mengemban fungsi kepolisian sebagai penegak hukum (law enforcement) dan penyelesaian masalah (conflict management), maka sangat perlu dibentuk sosok polisi yang sipil berlandaskan pada “muka tersenyum” dan profesional bersikap posisitif terhadap asas kebebasan dan asas persamaan. Maka profesi kepolisian yang dapat memenuhi semua unsur tadi adalah profesi akademik.
Untuk membentuk suatu profesi kepolisian yang intelektual tidak cukup dengan mengandalkan lulusan PTIK yang mempunyai status S1, namun akan lebih tepatnya para perwira sebagai profesi kepolisian ini akan lebih efisien dalam menghadapi tantangan kepolisian ke depan dengan pendidikan Kajian Ilmu Kepolisian yang mempunyai status S2. Karena pendidikan dalam program studi Kajian Ilmu Kepolisian di Universitas Indonesia menghasilkan seorang polisi intelektual dengan tampilan sosok yang baru (“muka tersenyum” dan profesional, dapat bersikap positif terhadap asas kebersamaan dan asas persamaan) maka sanggup menjadi “problem solver” (conflict manajer) dalam masyarakatnya.
Yang dimaksud polisi intelektual ini, menurut Prof. Mardjono Reksodiputro yaitu seorang perwira polisi mampu dan mau melakukan studi tentang masalah-masalah warga dalam komoditi di mana dia bertugas, refleksi atas pekerjaan kepolisian dan secara kreatif dapat “berspekuliasi” tentang sebab-sebab masalah tersebut unutk mencari solusi bersama-sama anggota komuniti yang bersangkutan.
Dengan demikian bahwa PTIK selaku salah satu perguruaan tinggi di bawah naungan lembaga kepolisian, seyogyanya selaku motorik penunjang pengembangan ilmu kepolisian bisa mendorong seluruh lulusan S1 Sarjana Ilmu Kepolisian harus mengikuti pendidikan S2 Kajian Ilmu Kepolisian, khususnya bagi para perwira polisi yang akan menduduki jabatan sebagai kepala kepolisian tingkat kabupaten (Kapolres). Karena seperti halnya di lapangan bahwa seorang kepala kepolisian setingkat polres akan secara langsung bersentuhan dengan masyarakat yang komunitasnya sudah cukup luas, dengan demikian pencegahan dan penanggulangan secara dini akan lebih cepat dan tepat sarasan sehingga efek dari permasalahan tersebut tidak menimbulkan keresahan masyarakat. Tujuan lainnya, diharapkan kapolres selaku pembina fungsi dapat mendorong kemajuan dalam membentuk anggotanya lebih profesional, dengan secara tidak langsung mengarah kepada polisi sipil yang mempunyai sikap seperti yang sudah dijelaskan di atas, maka tujuan dari fungsi kepolisian selaku penegak hukum (law enforcement) dan penyelesaian masalah (conflict management) dapat berdayaguna.
Kemudian adanya beberapa pandangan bahwa untuk kader pimpinan polri masa depan harus melalui pendidikan Kajian Ilmu Kepolisian tingkat doktor. Karena menurut para pakar ilmu kepolisian seperti Prof. Harsja W. Bachtiar, Prof Parsudi Suparlan, Prof. Mardjono Reksodiputro dan masih banyak lagi bahwa pendidikan tingkat doktor nantinya lulusannya mempunyai kemampuan dapat mengobati atau memperbaiki sesuatu kesulitan yang dirasakan sebagai masalah yang merugikan dalam kehidupan manusia.
Selain melakukan perubahan profesi polisi kearah profesi akademik yang menghasilkan seorang polisi intelektual, maka dipandang perlu juga melakukan pengembangan terhadap proses belajar mengajarnya agar keluaran atau mutu mahasiswa dapat ditingkatkan. Unsur-unsur tersebut yaitu pengajar atau dosen dan mahasiswa, silabus dan perpustakaan yang merupakan gudang ilmu.
D. Penutup
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dengan adanya perubahan secara umum yang ditandai dengan era globalisasi dan reformasi, maka secara langsung masyarakat menuntut perubahan polri kearah yang profesional. Dengan demikian polri harus mengubah fungsi polisi yang dulu sebagai alat kekuasaan menjadi alat penegakan hukum, pelindung, pengayom serta pelayan masyarakat. Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka polri harus menjadi profesi kepolisian yang profesinal, dengan mengembangkan ilmu kepolisian menjadi pandangan serta cara kerja dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. Sehingga polisi yang sudah mengikuti pendidikan ilmu kepolisian mampu dalam mengemban fungsi selaku penegak hukum (law enforcement) dan penyelesaian masalah (conflict management) di tengah-tengah masyarakat, dengan paradigma yang baru yaitu polisi sipil dengan “muka tersenyum” dan profesional serta bersikap positif terhadap asas kebebasan dan asas persamaan.
Untuk mewujudkan itu semua maka diperlukan pembaharuan dalam sektor pendidikan tinggi kepolisian, dengan mengikutkan para perwiranya bukan hanya pada Sarjana Ilmu kepolisian saja tetapi mengharuskan perwiranya mengikuti pendidikan Master dan Doktor. Karena lulusan Master atau S2 KIK adalah para ahli dalam bidangnya masing-masing, sedangkan lulusan Doktor atau S3 KIK sebagai ahli yang mampu mengobati berbagai penyakit sosial dan masyarakat. Hanya dengan kemampuan berpikir seperti itulah polisi akan dapat menghasilkan kebijaksanaan dan strategi bertindak yang tepat, yang memungkinkan petugas kepolisian di lapangan untuk berperan secara profesional sesuai dengan fungsinya dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat akan profesionalisme tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Bachtiar, Harsja W., “Ilmu Kepolisian Suatu Cabang Ilmu Pengetahuan yang Baru. PT Grasindo. 1994.
Muhammad, Farouk. “Menuju Reformasi Polri”. Restu Agung. 2005.
Reksodiputro, Mardjono. “Kajian Ilmu Kepolisian dan Perkembangannya : Mengharapkan Ketrampilan Angkatan Muda Polri Dalam Tranformasi Organisasi Kepolisian”. 2009.
Reksodiputro, Mardjono. “Pembaharuan Pendidikan Tinggi Ilmu Kepolisian di Indonesia Menghadapi Tantangan Abad Ke-21”. Tantangan Globalisasi dan Reformasi. 2009.
Suparlan, Parsudi. “Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia”. Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian. 2004.
Suparlan, Parsudi. “Ilmu Kepolisian”. Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian. 2009.
Bahan Perkuliahan Prof. Mardjono Reksodiputro kepada Mahasiswa KIK UI Angkatan XIV.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar