Penegakan hukum yang ideal harus bisa memenuhi tiga nilai dasar dari hukum yaitu nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Baik dalam tataran teoretis maupun praktis, ketiga nilai dasar tersebut tidak mudah untuk diwujudkan secara serasi. Pemenuhan nilai kepastian hukum, terkadang harus mengorbankan nilai keadilan dan kemanfaatan, demikian pula pemenuhan nilai keadilan dan kemanfaatan di satu sisi, pada sisi yang lain akan bisa berakibat pada dikorbankannya nilai kepastian hukum.
Secara umum sistem peradilan pidana dapat diartikan sebagai suatu proses bekerjanya beberapa lembaga penegak hukum melalui sebuah mekanisme yang meliputi kegiatan bertahap yang dimulai dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pelaksanaan putusan hakim yang dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan. Proses tersebut bekerja secara berurutan artinya tahap yang satu tidak boleh melompati tahap lainnya. Keseluruhan proses itu bekerja di dalam suatu sistem, sehingga masing-masing lembaga itu merupakan subsistem yang saling berhubungan dan pengaruh mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Dalam sistem peradilan pidana tersebut bekerja komponen-komponen fungsi yang masing-masing harus berhubungan dan bekerja sama. Sebagaimana dikatakan oleh Alan Coffey berkaitan dengan hal ini yaitu bahwa :
“Criminal justice can function systematically only to the degrees that each segment of the system takes into account all other segments. In order words, the system is no more systematic than the relationships between Police and prosecution, Police and Court Prosecution and Corrections, Corrections and law, and so forth. In the absence of functional relationships between segments, the criminal justice system is vulnerable to fragmentation and ineffectiveness” (M. Faal, 1991 : 25 ).
Dengan demikian diperlukan suatu sistem peradilan yang berkaitan dengan acara peradilan yang tepat dalam rangka penegakkan hukum ditengah-tengah masyarakat.
A. Model Hukum Acara Pidana di Amerika
Dalam literatur dikenal beberapa model peradilan pidana. Menurut Herbert L. Packer di Amerika Serikat berkembang beberapa model dalam rangka penyelenggaraan peradilan pidana. Perlu dijelaskan di sini bahwa penggunaan model di sini bukanlah sesuatu hal yang nampak secara nyata dalam suatu sistem yang dianut oleh suatu negara, akan tetapi merupakan suatu sistem nilai yang dibangun atas dasar pengamatan terhadap praktek peradilan pidana di berbagai negara. Berdasarkan pengamatannya dikatakan bahwa dalam penyelenggaraan peradilan pidana di Amerika Serikat dikenal dua model dalam proses pemeriksaan perkara pidana ( two models of the criminal process ) yaitu Due Process Model dan Crime Control Model.
Kedua model di atas, dilandasi oleh Adversary Model (Model perlawanan ) yang memiliki ciri-ciri :
1. Prosedur peradilan harus merupakan suatu disputes atau combating proceeding antara terdakwa dan penuntut umum dalam kedudukan yang sama di muka pengadilan;
2. b.Judge as umpire dengan konsekuensi bahwa hakim tidak ikut ambil bagian dalam “pertempuran” ( fight ) dalam proses pemeriksaan di pengadilan. Ia hanya berfungsi sebagai wasit yang menjaga agar permainan tidak dilanggar, baik oleh terdakwa maupun oleh penuntut umum;
3. Tujuan utama prosedur peradilan pidana adalah menyelesaikan sengketa yang timbul disebabkan terjadinya kejahatan;
4. Para pihak atau kontestan memiliki fungsi yang otonom dan jelas. Peranan penuntut umum adalah melakukan penuntutan, peranan terdakwa adalah menolak atau menyanggah dakwaan. Penuntut umum bertujuan menetapkan fakta mana saja yang akan dibuktikannya disertai bukti yang menunjang fakta tersebut. Terdakwa bertugas menentukan fakta-fakta mana saja yang akan diajukan di persidangan yang akan dapat menguntungkan kedudukannya dengan menyampaikan bukti-bukti lain sebagai penunjang fakta tersebut.
Pada Crime Control Model didasarkan pada anggapan bahwa penyelenggaraan peradilan pidana adalah semata-mata untuk menindas perilaku kriminal ( criminal conduct ), dan ini merupakan tujuan utama proses peradilan, karena yang diutamakan adalah ketertiban umum ( public order ) dan efisiensi (Ansorie Sabuan dkk, 1990 : 6 ). Proses kriminal pada dasarnya merupakan suatu perjuangan atau bahkan semacam perang antara dua kepentingan yang tidak dapat dipertemukan kembali yaitu kepentingan negara dan kepentingan individu (terdakwa ). Di sini berlakulah apa yang disebut sebagai “presumption of guilt” (praduga bersalah) dan “sarana cepat” dalam pemberantasan kejahatan demi efisiensi. Dalam praktek model ini mengandung kelemahan yaitu seringnya terjadi pelanggaran hak asasi manusia demi efisiensi. Akibat seringnya terjadi pelanggaran hak asasi manusia maka munculah model yang kedua yang disebut Due Process Model. Di dalam Due Process Model ini muncul nilai-nilai baru yang sebelumnya kurang diperhatikan, yaitu konsep perlindungan hak-hak individual dan pembatasan kekuasaan dalam penyelengaraan peradilan pidana. Proses kriminal harus dapat dikendalikan untuk dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan sifat otoriter dalam rangka mencapai maksimum efisiensi. Di dalam model ini berlaku asas yang sangat penting yaitu asas praduga tidak bersalah ( presumption of innocent ).
Kedua model yang diperkenalkan oleh Packer di atas, didasarkan pada pemikiran mengenai hubungan antara negara dan individu dalam proses kriminal yang menempatkan pelaku tindak pidana sebagai musuh masyarakat ( enemy of the society ), sedangkan tujuan utama dari pemidanaan adalah mengasingkan pelaku tindak pidana dari masyarakat ( exile function of punishment ). Menurut John Griffiths kedua model tersebut secara filosofis berlandaskan pada model peperangan ( Battle Model ) serta pertentangan antara negara dengan individu yang tidak dapat dipertemukan kembali ( irreconciliable disharmony of interest ) sehingga jika terjadi kejahatan, maka terhadap si pelaku harus segera diproses dengan menempatkannya sebagai obyek di dalam sistem peradilan pidana.
Berdasarkan uarian diatas, menurut penulis bahwa crime control model maupun due process model, keduanya tetap berjalan diatas koridor hukum acara, karena keduanya hanyalah kecenderungan model yang ada dalam praktek. Dalam amandemen ke-lima (The Fifth Amendment) konstitusi Amerika, yang merupakan bagian dari Bill of Rights, dinyatakan:
No person shall be held to answer for a capital, or otherwise infamous crime, unless on a presentment or indictment of a Grand Jury, except in cases arising in the land or naval forces, or in the Militia, when in actual service in time of War or public danger; nor shall any person be subject for the same offence to be twice put in jeopardy of life or limb; nor shall be compelled in any criminal case to be a witness against himself, nor be deprived of life, liberty, or property, without due process of law; nor shall private property be taken for public use, without just compensation.
B. Perbandingan Model Hukum Acara Di Indonesia
1. Pengaruh Crime Control Model dan Model Due Process Model
Pada konsep awalnya perubahan hukum acara dari HIR menjadi KUHAP dilatarbelakangi oleh pemikiran tentang pentingnya perlindungan hak-hak terdakwa dalam proses peradilan pidana, karena tersangka cukup lama tidak memperoleh perlindungan hukum yang layak dan manusiawi. Konsekuensi logis dari perlindungan terhadap hak-hak tersangka atau terdakwa adalah adanya hukum acara yang ketat, sebagai jaminan tidak dilanggarnya hak tersangka maupun terdakwa.
Maka, hukum acara pidana juga merupakan suatu undang-undang yang membatasi tindakan para penguasa dan atau penegak hukum. Perihal batasan ini, sama diakui baik dalam model crime control model maupun oleh model due process model, dimana terhadap kewenangan penguasa dalam melakukan penyidikan maupun kewenangan penanganan terhadap mereka yang dituduh melakukan tindak pidana, diberikan batasan-batasan tertentu. Hanya saja, batasan yang tampak dalam model crime control model relatif lebih longgar dibandingkan due process model.
Dilihat dari segi asas yang dipakai, KUHAP mengikuti asas ‘praduga tak bersalah’ (presumption of innocent) – yang biasa dipakai dalam model due process model, bukan asas ‘praduga bersalah’ (presumption of guilty) – yang biasa dipakai dalam model crime control model. Hal ini tampak dalam Penjelasan KUHAP, Bagian I Umum ke-tiga, yang menyatakan: setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Selain menunjukkan asas apa yang dipakai oleh KUHAP, penjelasan tersebut juga mengisyaratkan bahwa putusan pengadilan (yang berkekuatan hukum tetap) adalah ‘inti’ dari proses peradilan, karena penentuan salah atau tidaknya terdakwa sangat tergantung padanya. Asas presumption of innocent adalah asas yang adanya adalah dalam model due process model, dan salah satu ciri khas dari due process model lainnya adalah pentingnya peran pengadilan sebagai tujuan akhir proses dan sebagai tempat untuk menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa.
Sehingga, bila dilihat dari segi asas yang dipakai dan peran dari pengadilan dalam rangkaian proses peradilan, secara normatif KUHAP cenderung pada model due process model. Hal tersebut adalah bila dilihat dari hukum acara secara umum.
2. Proses Peradilan Pidana dan Praperadilan
Berikut ini adalah analisis dari tahap pemeriksaan pendahuluan sampai tahap persidangan di pengadilan pra adjudication. Salah satu hal terpenting yang perlu dicermati untuk menentukan prosedural atau tidaknya KUHAP adalah eksistensi dari lembaga pra-peradilan. Sebelum memasuki pengadilan biasa, KUHAP memungkinkan adanya suatu lembaga yang bernama pra-peradilan. Sedangkan di Amerika, sebelum masuk ke sidang di pengadilan biasa, ada tiga proses yang dilalui terlebih dahulu, yaitu Arraignment, Preliminary Heearing, dan Pre-Trial Conference.
Sepanjang mengenai peran aktif hakim sebelum sidang, menurut Loebby Loqman, ketiga proses yang terdapat dalam hukum acara peradilan Amerika tersebut dapat disamakan dengan pra peradilan yang ada dalam hukum acara di Indonesia. Akan tetapi, bila melihat fungsinya, maka apa yang dilakukan hakim dalam proses Arraigenment, Preliminary Heearing, dan Pre-Trial Conference, jauh berbeda dengan fungsi hakim pra-peradilan di Indonesia.
Arraignment adalah sidang di depan hakim atau wakilnya yang terjadi beberapa hari setelah seorang ditahan, dimana tuduhan terhadap tersangka dibacakan dan tersangka ditanyai sikapnya, apakah bersalah atau tidak. Barulah apabila tersangka menyatakan tidak bersalah, maka akan dilanjutkan ke depan sidang jury. Mulai saat araignment ini tanggung jawab pengawasan pelaksanaan proses pidana atas tersangka berada di tangan pengadilan.
Preliminary hearing adalah proses dimana penyidik akan menghadap pengadilan untuk memperoleh penilaian hakim apakah telah terdapat alasan kuat (probable cause) untuk percaya bahwa tersangka tertentu merupakan pelaku dari suatu tindak pidana dan oleh karena itu telah mempunyai cukup alasan untuk dapat ditahan dan diadili.
Sedangkan tahap pre trial conference, lebih ditujukan untuk perencanaan sidang pengadilan, terutama mengenai pembuktian dan hak-hak pihak yang berperkara untuk memperoleh pembuktian dari pihak lain.
Sedangkan wewenang pra-peradilan untuk menguji keabsahan suatu penangkapan dan penahanan, menurut Loqman, dapat diperbandingkan dengan lembaga yang bernama Habeas Corpus. Habeas Corpus berasal dari bahasa Romawi yang berarti ‘menguasai diri sesorang’, dan dalam hukum Anglo Saxon, lembaga ini merupakan suatu lembaga kontrol terhadap terjadinya suatu penahanan. Bunyi dari perintah Habeas Corpus adalah: “Si tahanan berada dalam pemguasaan saudara. Saudara wajib membawa orang itu di depan pengadilan serta wajib menunjukkan alasan yang menyebabkan penahanannya.”
Pra-peradilan dalam KUHAP diatur dalam Bab ke-X mengenai wewenang untuk mengadili, bagian kesatu yang memuat pasal-pasal tentang pra-peradilan, yakni dimulai dari pasal 77 sampai 83. Wewenang dari hakim pra-peradilan adalah: melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya suatu penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, dan memutuskan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Adanya lembaga pra-peradilan dalam KUHAP ini menunjukkan betapa proseduralnya hukum acara yang ada di dalamnya, sehingga perlu dibuatkan lembaga khusus yang akan menguji mengenai ditaati atau tidaknya prosedur. Dengan melihat kenyataan yang seperti ini, maka jelaslah bahwa dalam proses pra-adjudication, KUHAP sudah menampakkan kecenderungannya pada model due process model karena bersifat sangat prosedural dan menghendaki agar prosedur tersebut benar-benar ditaati.
Keadaan yang demikian itu diperkuat dengan adanya monopoli kewenangan penyidikan pada polisi di satu pihak, dan kewenangan penuntutan pada JPU di pihak yang lain, yang pada prakteknya semakin membuat prosedur yang ditentukan KUHAP sangat tidak efisien. Dipisahkannya kewenangan penyidikan dan kewenangan penuntutan pada dua lembaga yang berbeda adalah untuk “checks and balances”, sehingga bila penyidik merasa keberatan dengan SP-3 dari JPU, maka dia bisa mem-praperadilan-kan JPU. Dengan adanya pemisahan kewenangan ini, maka efisiensi yang menjadi ciri khas dari model crime control model sama sekali tidak tampak dalam proses penyidikan sampai penuntutan. Karena, pada prakteknya seringkali terjadi bolak-balik berkas antara penyidik dan JPU, yang jumlahnya tidak pernah dibatasi oleh KUHAP. Hal ini tentu menjadi alasan yang bisa memperkuat statement bahwa pada tahap pemeriksaan pendahuluan/pra adjudication, cenderung pada model due process model.
Apabila penyidik akan menangkap tersangka, maka harus dengan surat-surat resmi – tidak seperti yang terjadi dalam model crime control model. Pasal 18 ayat (1) KUHAP menentukan: pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
Pada tahap pemeriksaan di pengadilan, di Indonesia ada tiga model acara pemeriksaan, yaitu Acara Pemeriksaan Biasa (Pasal 152-202 KUHAP), Acara Pemeriksaan Singkat (Pasal 203-204 KUHAP), dan Acara Pemeriksaan Cepat (Pasal 205-216 KUHAP). Yang paling sering digunakan adalah Acara Pemeriksaan Biasa.
Dalam acara pemeriksaan biasa, tahapan dari sidang pidana pertama kali akan dimulai dengan pembukaan sidang oleh majelis hakim yang kata-katanya sudah diatur sedemikian rupa, dimana apabila sampai terjadi pelanggaran, maka sidang dapat dianggap batal demi hukum. Sidang kemudian dilanjutkan dengan pembacaan dakwaan oleh JPU. Dakwaan tersebut biasanya akan dieksepsi oleh Penasehat Hukum terdakwa, dan untuk proses tersebut, biasanya hakim akan menunda sidang untuk waktu seminggu. Setelah mengajukan eksepsi, maka JPU diberi kesempatan untuk menanggapi eksepsi, dan untuknya juga diberi waktu dengan penundaan sidang. Setelah itu, kalau memang harus ada putusan sela, maka hakim akan meminta waktu untuk memberikan putusan sela, yang itu berarti terjadi penundaan sidang lagi.
Bila memang diputuskan bahwa sidang bisa dilanjutkan, maka akan diteruskan dengan pemeriksaan saksi-saksi, yang mana ini belum tentu bisa selesai dalam waktu sekali sidang. Setelah pemeriksaan saksi dan terdakwa selesai, maka JPU akan mengajukan Requsitoir-nya. Requsitoir tersebut akan ditanggapi dengan Pleidooi dari Penasehat Hukum. Tahap berikutnya adalah replik duplik yang bisa terjadi sampai berkali-kali. Setelah semuanya selesai, barulah majelis hakim akan meminta waktu – biasanya satu atau dua minggu – untuk membuat putusan. Setelah dibacakannya putusan, terdakwa diberi kesempatan untuk banding, dimana kalau kesempatan ini tidak dimanfaatkan, maka dengan sendirinya putusan akan dianggap ‘inkracht van gewijsde zack’.
Praktek dari proses persidangan yang sangat prosedural dan formalistis tersebut semuanya mendapat jaminan dari ketentuan mengenai ‘pemeriksaan di persidangan’ yang ada dalam KUHAP. Maka tidak heran, bila kemudian banyak advokat yang sengaja memanfaatkan setiap celah pada hukum acara untuk kepentingan klien. Mereka begitu sibuk bermain di wilayah hukum acara, karena merasa mendapat jaminan dari KUHAP. Penulisan nama yang salah sedikit saja bisa dijadikan masalah. Bahkan pernah ada putusan pengadilan yang pada akhirnya harus dinyatakan batal karena salah identitas terdakwa. Padahal, secara faktual terdakwa nyata-nyata hadir dan diperiksa dalam persidangan. Berdasarkan kenyataan ini, maka jelaslah bahwa dari segi praktek maupun normatifnya, tahap adjudication yang ada dalam hukum acara di Indonesia cenderung pada model due process model.
Sebagai bukti akhir bahwa hukum acara di Indonesia sangat formalistis dan prosedural, Pasal 75 ayat (1) mengharuskan berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang:
a. pemeriksaan tersangka,
b. penangkapan,
c. penahanan,
d. penggeledahan,
e. pemasukan rumah,
f. penyitaan benda,
g. pemeriksaan surat,
h. pemeriksaan saksi,
i. pemeriksaan di tempat kejadian,
j. pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan,
k. pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini.
Pasal 21 ayat (2) menyatakan: penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau surat penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan.
C. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
Dengan melihat penjelasan diatas mengenai tahap pra-adjudikasi maupun adjudikasi, proses peradilan yang ada di Indonesia cenderung kepada model due process model. Ciri-ciri yang menjadi dasar untuk mengatakan kecenderungan ini adalah
a. Terdapat asas “presumption of innocent”, tersangka atau terdakwa tidak boleh dianggap bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,
b. adanya lembaga pra-peradilan sebagai penguji ditaati atau tidaknya prosedur acara yang ada, sehingga menunjukkan betapa pentingnya formalitas,
c. inti dari proses peradilan ada pada pengadilan yang menjadi tempat utama penentuan salah atau tidaknya terdakwa,
d. mengesampingkan atau kurang mementingkan efisiensi, akan tetapi dipatuhinya prosedur yang telah ditentukan, hal ini terlihat dari berbelit-belitnya prosedur yang ada, karena semua proses harus ada berita acaranya.
2. Saran
a. Dengan melihat kecenderungan Indonesia pada due process model yang memiliki banyak kekurangan terutama prosedur yang berbelit-belit, maka perlu dipikirkan mengenai acara pidana di Indonesia juga menitikberatkan pada crime control model. Sehingga hukum acara yang ada (dalam hal ini adalah KUHAP) dalam tataran normatifnya memberikan prosedur beracara yang lebih menitikberatkan pada efisiensi dalam segala bidang antara lain waktu, material (pembiayaan peradilan) dan lain sebagainya.
b. Alasan penulis berpendapat sistem peradilan pidana Indonesia lebih menitikberatkan pada crime control model, karena pada dasarnya terlepas dari pendekatan baik dari crime control model maupun due process model untuk melihat sejauh mana KUHAP memperhatikan HAM, maka dengan telah dicantumkannya hak dari tersangka dan terdakwa, berarti kita telah memperhatikan dan menghormati harkat manusia yang dalam hal ini mempunyai sifat universal, seperti yang termuat dalam ‘The Universal Declaration of Human Rights’ serta ‘International Covenant on Civil and Political Rights’ beserta Opyional Protocolnya, yang terutama termuat dalam Pasal 9 serta Pasal 14 I.C.C.P.R tersebut.” Oleh karena itu, crime control model bukan berarti melanggar HAM, karena masih tetap pada Due Process of Law sebagaimana ditentukan oleh konstitusi.
Jakarta, Desember 2010
ttd
Bambang Yugo Pamungkas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar